Cendekia Berpribadi dan Intelektual Organik: Titik Pergulatan Mashadi Maili

Sebagai instruktur kegiatan, Mashadi Maili telah terlibat mulai dari level komisariat hingga level DPP (Dewan Pimpinan Pusat) yang mengelola Darul Arqam Paripurna (DAP), sebagai tahap akhir dari proses pengkaderan di IMM.

 

-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 08 Januari 2025

 

Cendekia Berpribadi dan Intelektual Organik: Titik Pergulatan Mashadi Maili

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

(Dosen UIN Alauddin Makassar)

 

Ingatlah… ingat… ingat…

Niat telah diikrarkan

Kitalah cendekiawan berpribadi

Susila cakap takwa kepada Tuhan

Pewaris tampuk pimpinan umat nanti

(Bait Kedua Mars IMM)

 

Cendekiawan berpribadi merupakan identitas gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Hal itu dituangkan dalam Mars IMM yang sangat penting untuk kembali dimaknai sebagai suatu warisan intelektual.

Saya mencoba merenungkan makna dari cendekiawan berpribadi itu sebagai suatu amanah yang harus menjadi simbol yang menggerakkan, simbol perubahan, simbol kemajuan dan simbol transformasi sosial politik masyarakat, bangsa dan negara.

Cendekiawan berpribadi, ya, intelektual yang berpikir kritis, intelektual yang memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik.

Oleh sebab itu, IMM menjadi simbol kebangkitan intelektual kritis yang memiliki komitmen moral untuk mentransformasi kehidupan umat, bangsa dan negara. Dalam diri cendekiawan berpribadi itu bersemayam nilai-nilai ketulusan, kejujuran, keadilan, kemanusiaan dan kebangsaan untuk menghadirkan tatanan sosial yang lebih beradab.

Intelektual ya bermoral, intelektual ya kritis, intelektual ya transformatif, intelektual ya progresif, intelektual ya sensitif terhadap nilai kemanusiaan. Kira-kira inilah yang terkandung dalam cendekiawan berpribadi itu.

Mashadi Maili yang menjadi perhatian dalam catatan ini adalah intelektual yang memiliki nilai-nilai tersebut.

Nilai sebagai cendekiawan berpribadi yang selalu dinyanyikan setiap kegiatan yang diselenggarakan IMM, baik kegiatan dalam pengkaderan IMM formal maupun kegiatan IMM dalam bentuk seminar, mars itu akan selalu menghadirkan satu kesadaran kritis dalam setiap ruang kehidupan para kadernya.

Kader IMM dalam setiap aktivitas keummatannya harus menjadi pelita yang menerangi kehidupan dan memberi cahaya pada setiap sisi kegelapan hidup. Aktivis IMM bukan penjilat apalagi menjadi aktivis bebek dungu yang menghamba pada kekuasaan.

Kader IMM sesuai makna dalam marsnya harus menjadi kekuatan yang meluruskan yang tidak benar dan salah. Artinya, ketika moralitas terpuruk, ketika etika hancur dan ketika kekuasaan yang pongah makin merajalela, maka kader IMM harus meneranginya.

Ketika wacana kritik tenggelam oleh hiruk-pikuk politik yang dimonopoli oleh oligarki, maka IMM harus kritis. Tidak ada dalam rumah besar IMM yang “memperdagangkan” pengaruhnya dengan menyeret IMM dalam urusan politik dan pemenuhan kepentingan ekonomi segelintir orang.

Kader-kader IMM secara kolektif tampil untuk melakukan koreksi dan memperbaikinya. Kader IMM tidak tunduk dan patuh pada kekuatan yang ikut berkontribusi pada kerusakan bangsa dan kemanusiaan.

 

Titik Pertama Masjid Ta’mirul Masajid

 

Pada tahun 1994 bertempat di Kompleks Masjid Tamirul Masajid yang dahulu menjadi markas kegiatan Muhammadiyah Kota Ujung Pandang, untuk pertama kali saya mulai berinteraksi dengan para aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Makassar.

Tahun itu merupakan pertama saya mengikuti kegiatan pengkaderan dasar yang sering disebut dengan Darul Arqam Dasar (DAD) IMM.

Masjid Ta’mirul Masajid merupakan masjid yang melegenda bagi Muhammadiyah Makassar, karena masjid tersebut merupakan markas pimpinan Muhammadiyah ketika KH Fathul Muin Dg. Magading menjadi Ketua Muhammadiyah Kotamadya Ujung Pandang.

Banyak aktivis muda pada masa itu yang mengidolakan beliau sebagai ulama dan tokoh Islam yang istiqamah, karena dalam diri beliau menurut beberapa aktivis yang pernah berinteraksi dengan KH Fathul Muin, terdapat suatu keteladanan yang jarang ditemukan pada sosok ulama kala itu, antara ucapan dan perbuatan, antara kata dan tingkah laku memiliki kesamaan.

Masjid Ta’mirul Masajid juga menjadi melting pot bagi perkembangan organisasi Islam Makassar yang kini menasional. Para murid KH Fathul Muin yang dulu aktif bersama beliau mengambil sikap untuk berpisah dengan Muhammadiyah, karena gerakan Islam tertua ini menyatakan menerima azas tunggal Pancasila, sementara anak-anak muda yang tidak setuju dengan sikap Muhammadiyah menerima azas tunggal menyatakan diri keluar dari Muhammadiyah.

Mereka itu merupakan kader-kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan murid langsung KH Fathul Muin. Kelompok ini awalnya bermula dari Ta’mirul Masajid sebagai pusat pergerakannya dan kemudian berkembang dan menemukan wilayah pergerakannya di Abdullah Daeng Sirua.

Ta’mirul Masajid tempat saya mengikuti DAD IMM merupakan tempat yang memiliki akar sejarah pembentukan kader yang memiliki komitmen dan istiqamah pada jalan dakwah.

Saya pertama kali mulai mengenal Dr Mashadi Maili MSi ketika mengikuti DAD tersebut. Beliau menjadi instruktur pada acara itu bersama sejumlah instruktur lainnya. Instruktur lain pada DAD itu adalah Dr Andi Harun yang kini menjadi Walikota Samarinda.

DAD IMM Fisipol Unhas kala itu dianggap sebagai DAD yang “bergengsi”. Para instruktur yang ditugaskan untuk menangani pengkaderan ini adalah instruktur hebat, termasuk Mashadi Maili.

Mengapa disebut “bergensi”, karena IMM di Unhas secara umum mengalami kevakuman, khususnya Fisipol yang telah lama tidak memiliki kepengurusan dan tidak ada kegiatannya. Jumlah peserta yang mengikuti pengkaderan kala itu mencapai puluhan, lebih dari 30-an orang mahasiswa Fisipol Unhas ikut DAD angkatan kedua.

Demikian pula dengan angkatan pertama, dalam waktu yang singkat jumlah kader baru IMM Fisipol Unhas mengalami peningkatan signifikan.

 

Dari Level Komisariat ke Level DPP

 

Mashadi dikenal sebagai aktivis mahasiswa IAIN Alauddin atau kini lebih populer dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Sebagai aktivis kampus, beliau telah banyak merasakan suka-duka dalam mengelola kegiatan, merencanakan kegiatan dan mengorganisir setiap tahapan kegiatan.

Sebagai instruktur kegiatan, Mashadi telah terlibat mulai dari level komisariat hingga level DPP (Dewan Pimpinan Pusat) yang mengelola Darul Arqam Paripurna (DAP), sebagai tahap akhir dari proses pengkaderan di IMM.

Kembali ke DAD IMM Komisariat FISIP Unhas. DAD dapat terlaksana berkat inisiatif para alumni IPM/IRM yang merasa galau dengan aktivitas mahasiswa Fisipol kala itu, terutama Haidir Fitra Siagian yang menjadi penggerak utama terbentuknya Komisariat IMM Fisipol dan secara progresif menyelenggarakan DAD secara berturut-turut pada akhir 1994, yakni dua kali dengan jumlah peserta setiap angkatan lebih dari 30 orang.

Gebrakan IMM Fisipol Unhas membawa dampak besar bagi geliat aktivis Muhammadiyah di kampus umum. Bagaimanapun, Unhas menjadi kampus yang memiliki pengaruh luas di Indonesia Timur, sementara itu, IMM nyaris tidak berkembang dengan baik pada perguruan umum di hampir seluruh Indonesia.

Di UGM Yogyakarta yang menjadi pusat Muhammadiyah, IMM tidak berkembang dengan baik kala itu. Di UI (Universitas Indonesia) Jakarta, IMM tidak memiliki pengaruh yang luas. Demikian halnya pada kampus-kampus umum lainnya.

Gebrakan IMM Fisipol Unhas itu membawa hasil yang sangat menggembirakan. Ketika IMM Cabang Ujung Pandang melakukan penilaian terhadap komisariat IMM se-Kota Ujung Pandang, maka keluarlah Komisariat IMM Fisipol Unhas sebagai komisariat terbaik atau teladan, mengalahkan komisariat IMM pada perguruan Muhammadiyah seperti Unismuh dan juga IAIN/UIN Alauddin, tempat dimana Mashadi Maili memulai aktivitasnya sebagai kader IMM.

Mashadi yang sudah mengalami transformasi intelektual menjadi referensi kader-kader IMM Ujung Pandang. Mashadi dengan latar belakang keilmuan yang cukup penting bagi wacana keagamaan memberi kontribusi bagi penguatan pergerakan IMM.

Secara pribadi, saya mengalami suasana kebatinan tersendiri dengan Mashadi, ketika saya mengikuti DAD di Ta’mirul Masajid itu. Sebagai calon kader, saya diajari berbagai hal yang berurusan dengan ibadah mahdah, ini yang menjadi daya tarik saya kala itu.

Mashadi sebagai instruktur training menyuruh saya untuk mempraktekkan takbir dalam shalat, kemudian saya melakukan takbir sebagaimana diperintahkan dan sesuai dengan cara saya melakukan takbir shalat.

Oleh beliau, model takbir saya itu tidak sempurna. Katanya: “Kalau begitu cara takbirnya seperti mau meninju Allah”. Kurang lebih begitu bahasa beliau. Saya diajari cara takbir yang benar sesuai tuntunan Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Saya tentu belum mengetahui dan paham apa itu HPT, modelnya seperti apa, apakah itu buku atau kitab khusus mengenai ibadah.

Intensitas komunikasi saya dengan Mashadi meningkat pasca-DAD. Beliau selain sebagai pimpinan IMM Cabang Ujung Pandang, juga menjadi instruktur dalam sejumlah kegiatan IMM yang kala itu sangat padat dan semarak berlangsung pada sejumlah kampus besar di Makassar, seperi IAIN/UIN, Unismuh, IKIP/UNM, Unhas, UMI, dan kampus-kampus lainnya.

Hal yang menarik bagi saya adalah topik pembicaraan seputar masalah-masalah aktual yang sedang terjadi di masyarakat termasuk soal politik kebangsaan, suatu topik diskusi yang relevan dengan disiplin ilmu saya.

Mashadi menjadi salah seorang yang intens dalam soal ini. Mungkin pengaruh diskusi yang sering tersebut, mengubah “keimanan” Mashadi yang semula mendalami masalah filsafat kemudian “hijrah” ke disiplin ilmu-ilmu sosial, akhirnya mengantar beliau menjadi magister dan doktor dalam bidang antropologi. (bersambung)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama