-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 03 Januari 2025
Temu Budaya Sulawesi Selatan (1):
Integrasi Budaya dan
Agama Kekuatan Utama Masyarakat Sulawesi Selatan
Laporan: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Pedoman Karya)
Lembaga Pengembangan Kesenian dan
Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS) menyelenggarakan kegiatan Temu Budaya
Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi Budaya Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024
Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024.
Temu Budaya dibagi dua kegiatan, yaitu “Dialog
Budaya” pada siang hari dan “Pertunjukan Seni dan Dialog Kesenian” pada malam
hari.
Sekretaris LAPAKKSS, Rachim Kallo,
mengatakan, sub tema yang diangkat berdasar pada momentum kegiatan yaitu “Refleksi
Budaya Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”. Temu Budaya bertujuan merefleksikan
capaian dan tantangan dalam pemajuan dan pelestarian budaya selama tahun 2024.
“Dari temu budaya ini kita akan menyusun
langkah strategis menuju pemajuan kebudayaan dengan mendorong peningkatan
apresiasi dan partisipasi masyarakat di bidang budaya dan seni lokal, serta
memperkuat sinergi dan kolaborasi antar-stakeholder kebudayaan di Sulsel, pada
tahun 2025 nanti,” urai Raka, sapaan akrab Rachim Kallo.
Dialog Temu Budaya menampilkan beberapa
pembicara yaitu Prof Dr Munsi Lampe MA (Antropolog Unhas, membawakan materi: “Budaya
Religius, Budaya Maritim: Refleksi Budaya Sulawesi Selatan 2024”).
Dr Andi Ihsan SSn MPd (Dekan Seni dan
Desain UNM, dengan materi: “Merajut Tradisi, Menggapai Inovasi”), serta Dr Abu
Haif M. Bilalu MHum (Akademisi UIN, dengan materi: Agama dan Budaya Lokal
Perekat Keberagaman).
Dialog yang dipandu Idwar Anwar SS MHum
(penulis) juga menampilkan beberapa penanggap yakni Rusdin Tompo (Koordinator
Satupena Sulawesi Selatan), Yudhistira Sukatanya atau Eddy Thamrin (sastrawan,
sutradara teater), dan Dr Hasanuddin.
Dua ratusan peserta menghadiri dialog temu
budaya, termasuk beberapa tokoh budaya dan akademisi, seperti Prof Sukardi Weda
(Guru Besar UNM), Prof Amran Razak (Guru Besar Unhas), dan Prof Muhammad Azis (Guru
Besar UNM).
Pada malam hari dilanjutkan pertunjukan seni
dan dialog kesenian yang menampilkan tiga pembicara yaitu Dr Halilintar Latif
(akademisi UNM), Dr Nurlina Syahrir MHum (akademisi UNM), dan Andi Mahrus (budayawan,
penyair, kritikus sastra), dengan moderator Dr Rahma M, MSn (dosen seni tari
UNM).
Temu Budaya dibuka oleh Pembina LAPAKKSS Dr
Ajiep Padindang yang juga memberikan materi pengantar diskusi, dengan dua
materi, yaitu “Refleksi Budaya Tahun 2024: Gerakan Pemajuan Kebudayaan Daerah
Sulawesi Selatan”, dan “Refleksi Budaya Tahun 2024: Perspektif Industri
Kebudayaan Menuju Revolusi Budaya Indonesia Tahun 2045.”
Ajiep yang mantan Anggota Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD RI) juga membacakan Pidato Wakil Ketua DPD RI Bidang
Perekonomian dan Pembangunan, Tamsil Linrung.
Syara’ dan Kitabullah
Tamsil Linrung dalam pidatonya mengatakan,
Sulawesi Selatan adalah tanah yang kaya. Bukan hanya sumber daya alamnya,
tetapi juga kaya dengan nilai-nilai budaya.
Masyarakat Bugis sebagai unsur penting
dalam khazanah etnis di Sulawesi Selatan, telah mewariskan peradaban yang sarat
dengan keunikan adat istiadat, yang menariknya berasimilasi secara harmonis
dengan nilai spiritualitas Islam.
Dalam bukunya, The Bugis, Christian Pelras
mencatat bahwa masyarakat Bugis-Makassar memiliki etos maritim dan etos kerja
keras yang ditopang oleh nilai-nilai agama. Pelras menekankan bahwa Adat yang
bersendikan syara’, syara’ yang bersendikan Kitabullah telah menjadi filosofi
hidup masyarakat Bugis sejak abad ke-17.
“Hal ini menegaskan bahwa integrasi budaya
dan agama telah menjadi kekuatan utama masyarakat Sulawesi Selatan dalam
membangun identitas di panggung sejarah,” kata Tamsil.
Nilai-nilai seperti sipakatau (saling
memanusiakan), sipakainge (saling mengingatkan), dan sipakalebbi (saling
memuliakan), sejatinya adalah refleksi nyata dari prinsip ukhuwah Islamiyah
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam masyarakat Bugis, kata Tamsil, nilai-nilai
ini telah menjadi pedoman moral yang mengatur interaksi sosial, menegaskan
makna hidup yang menghormati kemanusiaan dan keadilan.
Budaya dan Spiritual
Budaya dan spiritualitas, lanjut Tamsil,
merupakan energi pembangunan. Pengalaman sejarah bangsa-bangsa maju seperti
Jepang dan China, merupakan bukti otentik bahwa sinergi antara budaya dan
spiritualitas dapat menjadi energi yang luar biasa untuk pembangunan.
Jepang, misalnya, melalui prinsip wa
(harmoni) yang berakar pada tradisi Shinto dan nilai-nilai Zen Buddhisme, telah
membangun etos kerja yang mengedepankan disiplin, kerjasama, dan penghormatan
terhadap alam.
“Nilai-nilai ini tidak hanya menjadikan
Jepang sebagai salah satu negara termaju di dunia, tetapi juga memberikan
kekuatan soft diplomacy melalui konsep omotenashi atau keramahan yang otentik,”
tutur Tamsil.
Hal serupa dapat dilihat di China, di mana
nilai-nilai Konfusianisme seperti li (kesopanan) dan ren (kemanusiaan), menjadi
fondasi sosial yang menggerakkan bangsa ini menjadi kekuatan ekonomi global.
Data dari World Economic Forum menunjukkan
bahwa pada tahun 2023, Jepang dan China termasuk dalam 10 besar negara paling
inovatif di dunia, dengan indeks budaya dan etos kerja yang tinggi sebagai
salah satu pilar kunci.
Resep dari keberhasilan kedua yang
dicontohkan tersebut adalah kemampuan mereka untuk mensinergikan budaya dan
spiritualitas sebagai fondasi nilai, tanpa kehilangan identitas mereka.
“Bahkan, identitas tersebut menjadi
kekuatan soft diplomasi yang memperkuat posisi mereka dalam percaturan
internasional,” kata Tamsil.
Diplomasi Maritim
Diplomasi maritim masyarakat Bugis, kata
Tamsil, merupakan mata air sumber inspirasi. Refleksi atas pengalaman ini
membawa kita pada sejarah gemilang masyarakat Bugis. Dalam dunia maritim,
manusia Bugis dikenal sebagai pelaut ulung yang berani membelah samudera hingga
ke ujung dunia yang baru. Berbagai misi diemban mengarungi lautan. Mulai dari
berdagang, menjalin hubungan diplomasi, hingga dakwah menyebarkan nilai-nilai
ke-Islam-an.
“Kapal pinisi, yang telah diakui UNESCO
sebagai warisan budaya dunia, bukan semata alat transportasi, tapi manifestasi
budaya dan adat, simbol teknologi maritim, juga lambang dari semangat
kebersamaan, keuletan, dan inklusivitas masyarakat Bugis terhadap dunia,” papar
Tamsil.
Diplomasi
maritim masyarakat Bugis, sebagaimana terekam dalam berbagai catatan sejarah,
menunjukkan bahwa identitas budaya yang kuat tidak hanya mampu bertahan dalam
arus globalisasi, tetapi juga menjadi kekuatan untuk membangun jejaring lintas
negara. Dalam konteks modern, semangat ini dapat diterjemahkan ke dalam
penguatan soft diplomacy Indonesia melalui budaya.
“Ketika kita berbicara tentang pemajuan
kebudayaan Bugis menuju Indonesia Emas 2045, maka kita tidak hanya berbicara
tentang pelestarian adat istiadat. Lebih dari itu, kita berbicara tentang
revitalisasi nilai-nilai spiritual yang melekat dalam budaya Bugis untuk
menciptakan bangsa yang berkarakter dan berkepribadian unggul,” tutur Tamsil.
Presiden Prabowo Subianto dalam misi pembangunannya
telah menempatkan aspek kebudayaan pada posisi istimewa.
“Karenanya, beliau membentuk Kementerian Kebudayaan. Hal itu ditempuh untuk menekankan pentingnya kebudayaan sebagai ‘jiwa bangsa’ yang tidak boleh tercerabut dari akar spiritualitasnya. Presiden Prabowo sering menegaskan bahwa bangsa besar bukan hanya dilihat dari infrastrukturnya, tetapi juga dari moralitas dan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasinya,” kata Tamsil. (bersambung)
-----
Tulisan bagian 2:
Sulawesi Selatan Contoh Nyata Adat dan Agama Berjalan Berdampingan Secara Harmonis