-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 14 Januari 2025
Kebakaran Los
Angeles, Azab & Hoax
Oleh: Utteng Al-Kajangi
(Poetra Kajang di Kampoeng New York)
Dalam tiga hari ini saya menerima pertanyaan bertubi-tubi tentang kebakaran di tiga district di Los Angeles, Amerika Serikat. Saking banyaknya sejujurnya hampir merasa kesal dan malas merespon.
Hampir semua mata tertuju ke kota
Hollywood itu dengan ragam konklusi yang disampaikan. Belum lagi berbagai
media, baik media mainstream, apalagi media sosial yang menyampaikan dan
menampilkan informasi yang belum tentu akurat tentang kebakaran itu.
Kenyataannya memang berbagai informasi
yang menyebar ke berbagai penjuru dunia, ada yang benar dan akurat. Tapi tidak
sedikit juga yang termanipulasi, bahkan dengan menggunakan “artificial
intelligence” (AI) untuk menambah dan mendramatisir kejadian yang sesungguhnya.
Baik pada aspek gambar/video maupun pada sisi statemen atau kesimpulan yang
disampaikan.
Semua ini menunjukkan bahwa kita memang
berada di alam informasi (dan misinformasi) yang sangat cepat dan tak
terkontrol. Sekaligus menggambarkan bagaimana media, khususnya media sosial
saat ini mampu menguasai cara pandang (mindset), persepsi dan perasaan, bahkan
keyakinan banyak orang. Orang menyimpulkan dengan perasaan seraya meyakini
tentang sesuatu dari informasi media yang berkeliaran.
Informasi yang tidak akurat (misinformasi)
yang sampai kepada kita, baik secara keseluruhan maupun sebagian itulah yang
disebut hoax. Hoax ini yang rentang menimbulkan keresahan, kesalah pahaman,
bahkan fitnah di tengah masyarakat.
Masyarakat dan dunia Islam diakui menjadi
korban (victim) terbesar dari misinformasi yang (sebagian) memang disengaja
disebarkan untuk membangun persepsi yang salah tentang Islam.
Sebenarnya kemarin saya telah menuliskan
beberapa catatan singkat tentang hal ini di grup-grup WA dan media sosial
lainnya. Catatan itu saya maksudkan untuk merespon banyak pertanyaan yang
sampai ke saya pribadi, maupun lewat media sosial lainnya.
Namun karena masih saja banyak yang
mengotak via WA, media sosial, bahkan menelpon, saya ingin kembali menyampaikan
poin-poin yang sudah pernah saya sampaikan. Yang pasti saya dan keluarga jauh
dari lokasi kebakaran. Kami di New York (Timur) sementara daerah kebakaran di
Barat. Membutuhkan lima jam penerbangan untuk sampai ke daerah itu.
Satu, Negara Bagian (State) California
sesungguhnya kita kenal memang sering mengalami kebakaran hampir setiap tahun.
Hal itu karena daerah ini memang daerah tropis, kering dan berangin kencang.
Dua, beberapa tahun lalu CA (California)
pernah mengalami kebakaran yang lebih luas dan lama, yang menyebabkan lebih
banyak rumah warga yang terbakar. Namun ketika itu tidak terlalu diekspos
karena daerah itu hanyalah perkampungan penduduk biasa dan miskin yang
mayoritasnya dari kalangan Hispanic.
Tiga, kebakaran di LA kali ini mencakup tiga
lokasi. Sebagian lokasi ini kebetulan dihuni oleh para bintang Hollywood
sehingga sangat diekspos dan didramatisir. Eksposur peristiwa ini secara luas
dan besar-besaran ini mengindikasikan adanya “systemic racism” (rasisme sistem)
yang ada dalam masyarakat Amerika. Karena korban kebakaran kali ini adalah
kelas atas dan mayoritas warga putih maka semua harus merasakan kesedihan dan
seharusnya bersimpati dan memberikan dukungan.
Empat, banyak juga eksposur dalam bentuk
video-video yang didramatisir, ditambah-tambah dan dengan komentar yang di
lebih-lebihkan. Bahkan sebagian menggunakan “artificial intelligence” untuk
mendramatisir peristiwa kebakaran itu. Artinya tidak semua yang kita lihat / baca
di berbagai media itu akurat alias hoax.
Lima, sejujurnya saya pribadi tidak
terlalu setuju dengan “penghakiman” bahwa peristiwa kebakaran ini karena
balasan Allah atas peristiwa genosida dan pengrusakan total (total elimination)
di Gaza.
Bagi saya sesuatu yang bersifat “ghoib”
(theological in nature) biarlah itu menjadi ranah Tuhan. Saya teringat waktu tsunami
terjadi di Aceh bagaimana sebagian menghakimi bahwa hal itu terjadi karena
kemungkaran sudah semakin merajalela di tanah Rencong. Suatu penghakiman yang
menurut saya sangat “unethical” (tidak etis) dan senseless (tidak punya
perasaan).
Enam, saya justru semakin tersadarkan
bahwa ternyata Amerika mampu menyihir banyak orang untuk memberikan
perhatiannya, sehingga kebakaran pun menjadi perhatian banyak orang lain yang
sebenarnya tidak punya kepentingan apa-apa. Kalau saja kebakaran ini bahkan
mungkin saja menewaskan ratusan bahkan ribuan orang, seperti yang pernah
terjadi di Bangladesh, apakah dunia akan seheboh ini?
Tujuh, secara agama (Islam) saya juga
mempertanyakan, apakah benar ketika ada orang, bahkan mereka yang tidak
disenangi sekalipun, mendapat musibah, kita dianjurkan bertepuk tangan
bergembira?
Apakah secara etika, Islam mengajarkan
demikian? Saya justru teringat ketika terjadi Tsunami, justru yang hadir ke
Aceh adalah dua mantan Presiden Amerika; Bill Clinton dan George W Bush Jr.
Delapan, tidakkah kita sadari bahwa di
zaman edan keterbukaan media, khususnya media sosial, terlalu mudah dan tanpa
beban ada saja pihak-puhak yang dengan sengaja mengedit foto-foto/video,
didramatisir lalu diviralkan.
Tidak jarang pula video-video itu kemudian
dibumbui pula dengan komentar-komentar
yang menggunakan dalil-dalil keagamaan. Dan dengan itu pula kita merasa telah
menang mengalahkan musuh (baca: Amerika).
Sembilan, dengan melihat kepada perhatian
dan respon luas umat Islam atas peristiwa ini, saya justru curiga jangan-jangan
respons ini adalah bagian dari “inferiority complex” (jiwa inferior) yang
melanda umat saat ini. Sebesar, sehebat dan sepenting itukah Amerika di mata
umat Islam termasuk umat Islam Indonesia?
Akhirnya, catatan saya ini tidak sama
sekali menihilkan pentingnya untuk mengkritisi dengan segala daya yang ada atas
kejahatan Amerika membantu pembunuhan massal dan genosida yang terjadi di Gaza.
Kejahatan kemanusiaan Israel yang didukung penuh oleh Amerika harus terus
dikritisi dan dilawan.
Namun hal itu tidak menutup mata bahwa
Amerika sebagai bangsa (nation), bukan hanya pemerintah (government) memilki
nilai-nilai positif yang perlu diapresiasi. Dua antaranya adalah, satu,
kebebasan beragama bagi Komunitas Muslim termasuk mendakwahkan agama ini.
Dua, bahwa masyarakat memiliki kebebasan
untuk mengkritisi pemerintah atas “blindness” (kebutaan) dan “heartlessness”
(tidak punya hati) atas pembunuhan massal dan genosida di Gaza.
Kami, Komunitas Muslim Amerika memegang
nilai “wasathiyah” atau memilih bersikap tawazun dalam menyikapi semua hal.
Siap kerjasama di atas prinsip saling menghormati (mutual respect).
Dan siap mengkritisi setajam-tajamnya
untuk tujuan perbaikan (constructive criticism). Kami sadar jika perjalanan
kami masih panjang. Jalan-jalan dan jembatan itu harus tetap kami pelihara agar
kami tidak terjatuh ke dalam jurang kebinasaan. Wallahu a’lam!
Jamaica Hills, 12 Januari 2025