“Laut tak suka dikekang.” |
.
----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 24 Januari 2025
Laut Tak Suka Dikekang
Oleh: Armin Mustamin Toputiri
“Jangan membongkar pagar, sebelum Anda
tahu tujuannya, kenapa pagar dipasang.”
EITS, tunggu! Sabar. Mendaras pesan pendek
itu, jangan keburu menggiring opini, ke kasus pagar ilegal di tepi laut
Tangerang sana. Kini, posisi puncak konten, trending issu di republik ini.
Tak usah takjub, pesan itu datang dari
John F. Kennedy. Saya catat, dari buku harian Presiden Amerika Serikat ke-35,
yang populer dengan akronim JFK. Dia menulis; “Do note remove a fence untill
you know why it was put up ini the first place.”
***
Jika didaras, cermat dieja, JFK seolah
tahu kasus tengah hangat dibincang, disoal di republik ini. Pemagaran laut
ilegal di Tangerang. JFK tak ubahnya, mencatat ujaran dilontar Menteri KKP.
“Tunggu, jangan dicabut dulu. Kalau sudah tau siapa memagarnya, kan mudah
menyidiknya.”
Akh, tentu JFK mustahil tahu soal itu.
Toh, jazadnya, sejak 61 tahun lalu ada di alam kubur. Arwahnya, pun telah
berada di alam sana. Jangankan arwah JFK, para pemilik otoritas yang diberi
amanah mengurusi -- “tanah dan air dikuasai oleh negara” Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 – bungkam. Tak tahu. Atau, entah pura-pura tak tahu?
Ajaib. Pagar itu, sekian bulan berdiri.
Jauhnya, 30,16 Km. Mendatangkan jutaan bilah bambu. Kok tak ada yang lihat?
Seluasannya itu ditancap, butuh banyak orang, butuh waktu berhari- hari. Eh,
siapa yang kerja, siapa pula menyuruh, juga tak ada yang tahu. Hmm... “drakor”,
drama Korea.
***
Di tepian pantai, di Tangerang sana, angin
tak ditangkap, badai tak digenggam.
Tanah dan air kita, itulah Tanah Air kita
Indonesia. Paten dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat banyak. Tapi
rupanya, di 537 hektar laut kita itu, sejak 2023 -- di era pemimpin kita
sebelumnya -- wujudnya bagai kue di atas talang. Dipetak-petak, 263 irisan.
Sertifikat HGB, serta SHM-nya, telah dibagi-bagi. Ke sekian pemodal.
Duh, tega ya? Apakah ini -- seperti
diklaim banyak orang -- bagian praktik oligarki? Andai pertanyaan itu dialih ke
ilmuwan politik Northwestern University Amerika, Jeffrey A. Winters, lewat
bukunya “Oligarki” (2011) menjawab; sekira demikian adanya.
Jika Aristoteles, merumus oligarki “rule
by the few”. Bentuk kekuasaan politik, di tangan segelintir orang, kaya.
Berkuasa semata memenuhi hasrat pribadi dan kelompoknya. Maka Winters merumus
oligarki, bagai sebentuk politik pertahanan kekayaan “wealth defence.”
Bagi Winters, oligarki mesti dilihat dua
sisi. Praktiknya, oligarki. Pelakunya, oligan. Jika Anda punya modal besar,
Anda butuh pertahanan kekayaan. Maka, Anda mesti terlibat, merawat stabilitas
politik. Pemilu, misalnya. Sebab krisis politik, malapetaka bagi pertahanan
kekayaan.
Sekira, demikian itukah praktik politik
pemerintahan kita sebelumnya? Para oligan bersekutu dengan kekuasaan politik?
Di buku Oligarki, Winters -- yang menulis sekian buku tentang politik Indonesia
-- menulis; sudah sedemikian itulah praktik oligarki, sejak era Yunani, Romawi,
hingga kini berlangsung di sekian banyak negeri.
***
Coba memahami, kepala saya serasa pening.
Beruntung, di benak saya tetiba melintas kata “ambtenaar”. Ini bukanlah nama
obat pereda pening. Memang tak lazim, banyak yang tak tahu, selain para
penikmat novel karya Pramoedya Ananta Toer.
Ambtenaar, pegawai negeri sipil era
pemerintahan kolonial Belanda. Kini, ASN. Pramoedya, di novel “Bumi Manusia”
misalnya, tajam menyorot, perilaku para ambtenaar itu. Bangsa Eropa tulis Pram,
bertahan lama menjajah negeri ini, bukan karena kuat persenjataan, tapi sesama
kita banyak memilih jadi ambtenaar.
Para ambtenaar, di film Indonesia tema
perjuangan, mereka berstelan putih, helm putih, kumis tebal, sok sibuk, sok
menggertak, ingin dihormati. Ehm, sekian tahun akhir, sosok sama, pelakon
nyaris serupa, tampak depan mata. Pembuka pintu, masuknya kaum oligan di
kekuasaan.
***
Pagar laut ilegal itu, saatnya nanti
dicabut. Seiring waktu, media dan semua kita, kelak melupakan. Asal tahu,
melupakan adalah cara lain memaafkan. Dan siapa pun, berada di kekuasaan khatam
langgam itu. “Toh nanti, publik juga akan lupa”. Modus!
Mungkin itu dalihnya, kenapa JFK, Presiden
Amerika Serikat itu, mau mencatat di buku hariannya, “Jangan bongkar pagar,
sebelum Anda tahu tujuan pagar dipasang”. Agar kita ingat masa lalu, sadar ke
mana kaki hendak melangkah. Kekeliruan tak boleh terantuk di batu yang sama.
Telusur saya, coretan di buku harian JFK –
awal saya kulik seolah dia tahu pagar laut ilegal – rupanya, frasa yang ia
kutip usai mendaras buku “The Things” (1929), karya G.K. Chesterton, penyair
dan dramawan Britania Raya.
Chesterton, tak cara harfiah mengulik soal
pagar, meski popular disebut “Chesterton Fence”. Chesterton di bukunya itu,
berdalih soal peralihan spiritualnya yang mengesankan. Meski, frasa “Pagar
Chesterton” itu, kelak bergulir dan dimaknai pada konteks berbeda. Tak kecuali
oleh saya, pada pagar laut ilegal itu.
***
“Laut tak suka dikekang”, saya pungut dari
novel Rick Riordan, Si Pencuri Petir, “The Lightning Thief” (2008). Saya
jadikan judul catatan ini. Selain diksinya puitis, juga alur kisah novel
petualangan itu, menjerat imajinasi liar saya, pada kasus pengekangan laut di
Tangerang.
Petir milik Dewa Zeus raib. Gaduh. Para
Dewa saling tuding. Atas nama kemaslahatan para Dewa, Percy si anak indigo,
tumbal dituduh mencuri petir itu. Percy tak terima. Ia mencari pencuri petir.
Meski bertaruh banyak monster, bawah laut yang terkekang, Percy merebut petir.
Disetor ke Dewa Zeuz. Perang besar para Dewa di negeri Colombus, batal terjadi.
Ini kisah “Pencuri Petir” ya? Bukan kisah
Pagar Laut. Ini Dewa Zeus ya? Ini di negeri Colombus ya? Jangan ditukar, di
negeri Konoha ya! Hi..hi..hi....
Makassar, 22 Januari 2025