-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 10 Januari 2025
Cendekia
Berpribadi dan Intelektual Organik Mashadi Maili (3):
Mashadi Maili dan
Intelektual Organik
Oleh: Syarifuddin Jurdi
(Dosen UIN Alauddin Makassar)
Istilah intelektual organik diperkenalkan oleh filsuf
kontemporer asal Italia Antonio Gramsci, yang menurutnya intelektual organik
merupakan sekelompok orang atau individu yang aktif berkontribusi dalam
membentuk ide-ide dan pemahaman yang dominan dalam masyarakat.
Intelektual organis adalah mereka yang memiliki kapasitas,
kemampuan, keterampilan akademis dalam mempengaruhi proses-proses sosial dalam
masyarakat. Itulah sebabnya, istilah intelektual organik selalu mewarnai
diskusi mengenai sosok yang memiliki inisiatif untuk menggerakkan.
Gagasan mengenai pembaharuan juga lahir dari para
intelektual yang secara aktif memikirkan bagaimana jalannya kehidupan
masyarakat. Mashadi Maili ada dalam barisan kelompok intelektual yang
memikirkan soal tersebut secara serius.
Sebagai intelektual-akademisi, Mashadi memberikan perhatian
pada pembentukan tradisi kritis dalam lingkaran aktivis muda muslim, khususnya
Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM).
Perhatian terhadap isu-isu politik, sosial dan kemanusiaan
membuat “keimanan” intelektual Mashadi mengalami transformasi, dari perhatian
pada filsafat ke persoalan empirik kehidupan umat Islam.
Pasca-menempuh studi S1 pada Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat IAIN/UIN Alauddin Makassar, Mashadi Maili melanjutkan studi
pascasarjananya pada bidang antropologi, bidang yang secara langsung
bersentuhan dengan masalah-masalah empirik kehidupan masyarakat.
Secara intelektual, Mashadi mulai mengartikulasikan
gagasannya dalam berbagai kajian, studi dan menulis karya akademik untuk
menjelaskan persoalan-persoalan masyarakat dengan pendekatan agama.
Upacara Kematian Masyarakat Gorontalo
Fenomena sosiologi masyarakat Gorontalo yang menjadi
perhatian Mashadi Maili sebagai antropolog, menyangkut tradisi dan kebiasaan
masyarakat tempat dimana ia terlibat secara langsung, yakni berkaitan dengan
soal kematian atau upacara kematian pada masyarakat Gorontalo, yang menunjukkan
keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan upacara kematian pada etnik atau
suku lainnya.
Dalam tradisi masyarakat Gorontalo yang mayoritas beragama
Islam, dikenal dengan beberapa tahapan dalam “merayakan” upacara kematian, di antaranya
“Molalunga” yakni upacara pemakaman adat Gorontalo yang berlandaskan ajaran
Islam. Upacara ini dilaksanakan agar sesuai dengan status orang yang meninggal
seperti pemakaman raja, bubato atau tuango lipu.
Dalam tradisi ini dikenal apa yang disebut dengan status
sosial seseorang, ibaratnya mirip, meskipun tidak sama dengan apa yang
dilaksakan oleh masyarakat adat Toraja.
Kemudian “Tinilo pa’ita” yakni upacara peringatan hari
kematian yang ke-40. Upacara ini dilakukan di rumah duka dengan point utamanya
adalah permohonan maaf keluarga agar arwah yang telah meninggal memperoleh
jalan yang lapang.
Lalu “Mutimualo”, suatu jenis ritual mandi bersama yang
dilakukan tepat tujuh hari setelah meninggalnya anggota keluarga dengan misi
utamanya adalah menghilang kesedihan keluarga yang berduka.
Kemudian “Bako hati” sebagai media silaturrahim antara
keluarga yang berduka dengan tetangga, tamu dan warga dengan Bako hati berwarna
putih diberikan kepada pemimpin negeri, sedangkan warna biru diberikan kepada
tamu.
Dan terakhir “Tahlilan/hileyiya” yakni
upacara yang menggunakan simbol-simbol tertentu untuk mendoakan agar roh orang
meninggal dapat pergi dari keluarga dengan hati gembira.
Fenomena upacara kematian ini menjadi perhatian Mashadi
Maili. Sebagai akademisi IAIN Gorontalo yang menekuni kajian antropologi agama
membangkit semangat intelektual untuk menjelaskan tradisi sosial masyarakat
tersebut.
Tradisi keagamaan seringkali menjadi fokus perhatian para
antropolog. Sebut saja misalnya Cifford Geertz yang menulis dengan sangat
menarik mengenai agama di Jawa yang terkenal dengan The Religion of Java.
Geertz membagi kategori muslim Jawa menjadi Santri, Proyayi
dan Abangan. Meski kategori ini menghasilkan perdebatan, tetapi Geertz berhasil
“memprovokasi” intelektual Indonesia untuk mendiskusikan hasil temuannya dan
kategori yang dibuatnya.
Demikian halnya studi antropologi lain Matrk R. Moodward
yang menulis mengenai Islam Jawa dengan judul “Islam in Java Normative Piety
and Misticism”. Munir Mulkhan dengan
nada yang sama, meski aspek sosiologinya kuat, menulis “Islam Murni dalam
Masyarakat Petani”, suatu kajian yang
spesifik mengenai pergulatan kelompok modernis Islam di Wuluhan Jember.
Dua karya pertama ditulis oleh sarjana luar Jawa dan tidak
terikat secara sosiologis, politis dan budaya dengan objek yang ditelitinya,
sementara Mulkhan merupakan putra Jember yang sudah lama meninggalkan
daerahnya, tentulah masih memiliki kaitan sosiologis, politis dan budaya, walau
temuannya menunjukkan keunikan pada soal ragam corak warga Muhammadiyah di
Wuluhan.
Ia menyebutnya dengan istilah Muhammadiyah Ikhlas (Muhlas),
Muhammadiyah nasionalis (munas), Muhammadiyah Nahdatul Ulama (Munu) dan
Marhaenis Muhammadiyah (Marmud).
Hal yang sama dilakukan oleh Mitsuo Nakamura yang melakukan
kajian secara khusus mengenai muslim modernis di wilayah Kotagede pada dekade
1970-an/1980-an.
Dalam konteks kajian demikian itulah Mashadi Maili sebagai
sarjana antropologi yang menekuni secara spesifik soal-soal agama memberi
perhatian pada fenomena upacara kematian dalam masyarakat Gorontalo.
Mashadi bukanlah warga asli Gorontalo. Posisi intelektualnya
itu memberi suatu sikap akademik yang objektif dan netral terhadap fenomena
yang diperbincangkan.
Karya penting Mashadi Maili dalam kajiannya mengenai upacara kematian di Gorontalo melahirkan buku yang berjudul: “Sinkretisme Islam dalam Ritual Hileiya (Upacara Kematian Etnik Gorontalo)”.
Karya ini penting dipahami dalam konteks akademik, bukan dalam konteks benar dan salahnya suatu tradisi itu berdasarkan teks keagamaan. Pertanyaan akademik yang selalu muncul ketika memperbincangkan tradisi dan agama adalah soal mengapa suatu masyarakat atau komunitas melakukan kegiatan itu? Bukan memberi justifikasi dalam konteks benar-salah, ada dasar hukumnya atau tidak, adakah contohnya dari nabi atau tidak, dan seterusnya.
Jawaban terhadap pertanyaan mengapa suatu masyarakat melakukan kegiatan itu tentulah bervariasi, tergantung pada konteks historisnya dan kekinian yang dihadapi masyarakat tersebut.
Mashadi Maili masuk dalam ruang perbincangan mengenai mengapa itu dilakukan. Dan untuk memperoleh jawaban, Mashadi melakukan kajian yang komprehensif untuk mencapai arti dan maknanya secara antropologis. Upacara kematian itu menjadi salah satu instrumen merekatkan hubungan sosial dan memperkuat solidaritas antar-warga. (bersambung)
.....
Tulisan bagian 2: Melting Pot Jas Merah IMM Makassar
Tulisan Bagian 1: Cendekia Berpribadi dan Intelektual Organik: Titik Pergulatan Mashadi Maili