Mashadi Maili dan Intelektual Organik

Mashadi Maili (kedua dari kiri) bersama teman-temannya seikatan pengurus cabang dan DPD IMM Sulsel 97-98, dari kiri ke kanan Haidir Fitra Siagian, Mashadi Maili, Dahlan Lama Bawa, Andi Afdal, Pantja Nurwahidin, dan Saleha Majid. (ist) 

 

-------

PEDOMAN KARYA

Jumat, 10 Januari 2025

 

Cendekia Berpribadi dan Intelektual Organik Mashadi Maili (3):

 

Mashadi Maili dan Intelektual Organik

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

(Dosen UIN Alauddin Makassar)

 

Istilah intelektual organik diperkenalkan oleh filsuf kontemporer asal Italia Antonio Gramsci, yang menurutnya intelektual organik merupakan sekelompok orang atau individu yang aktif berkontribusi dalam membentuk ide-ide dan pemahaman yang dominan dalam masyarakat.

Intelektual organis adalah mereka yang memiliki kapasitas, kemampuan, keterampilan akademis dalam mempengaruhi proses-proses sosial dalam masyarakat. Itulah sebabnya, istilah intelektual organik selalu mewarnai diskusi mengenai sosok yang memiliki inisiatif untuk menggerakkan.

Gagasan mengenai pembaharuan juga lahir dari para intelektual yang secara aktif memikirkan bagaimana jalannya kehidupan masyarakat. Mashadi Maili ada dalam barisan kelompok intelektual yang memikirkan soal tersebut secara serius.

Sebagai intelektual-akademisi, Mashadi memberikan perhatian pada pembentukan tradisi kritis dalam lingkaran aktivis muda muslim, khususnya Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM).

Perhatian terhadap isu-isu politik, sosial dan kemanusiaan membuat “keimanan” intelektual Mashadi mengalami transformasi, dari perhatian pada filsafat ke persoalan empirik kehidupan umat Islam.

Pasca-menempuh studi S1 pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat IAIN/UIN Alauddin Makassar, Mashadi Maili melanjutkan studi pascasarjananya pada bidang antropologi, bidang yang secara langsung bersentuhan dengan masalah-masalah empirik kehidupan masyarakat.

Secara intelektual, Mashadi mulai mengartikulasikan gagasannya dalam berbagai kajian, studi dan menulis karya akademik untuk menjelaskan persoalan-persoalan masyarakat dengan pendekatan agama.

 

Upacara Kematian Masyarakat Gorontalo

 

Fenomena sosiologi masyarakat Gorontalo yang menjadi perhatian Mashadi Maili sebagai antropolog, menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat tempat dimana ia terlibat secara langsung, yakni berkaitan dengan soal kematian atau upacara kematian pada masyarakat Gorontalo, yang menunjukkan keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan upacara kematian pada etnik atau suku lainnya.

Dalam tradisi masyarakat Gorontalo yang mayoritas beragama Islam, dikenal dengan beberapa tahapan dalam “merayakan” upacara kematian, di antaranya “Molalunga” yakni upacara pemakaman adat Gorontalo yang berlandaskan ajaran Islam. Upacara ini dilaksanakan agar sesuai dengan status orang yang meninggal seperti pemakaman raja, bubato atau tuango lipu.

Dalam tradisi ini dikenal apa yang disebut dengan status sosial seseorang, ibaratnya mirip, meskipun tidak sama dengan apa yang dilaksakan oleh masyarakat adat Toraja.

Kemudian “Tinilo pa’ita” yakni upacara peringatan hari kematian yang ke-40. Upacara ini dilakukan di rumah duka dengan point utamanya adalah permohonan maaf keluarga agar arwah yang telah meninggal memperoleh jalan yang lapang.

Lalu “Mutimualo”, suatu jenis ritual mandi bersama yang dilakukan tepat tujuh hari setelah meninggalnya anggota keluarga dengan misi utamanya adalah menghilang kesedihan keluarga yang berduka.

Kemudian “Bako hati” sebagai media silaturrahim antara keluarga yang berduka dengan tetangga, tamu dan warga dengan Bako hati berwarna putih diberikan kepada pemimpin negeri, sedangkan warna biru diberikan kepada tamu.

Dan terakhir Tahlilan/hileyiya” yakni upacara yang menggunakan simbol-simbol tertentu untuk mendoakan agar roh orang meninggal dapat pergi dari keluarga dengan hati gembira. 

Fenomena upacara kematian ini menjadi perhatian Mashadi Maili. Sebagai akademisi IAIN Gorontalo yang menekuni kajian antropologi agama membangkit semangat intelektual untuk menjelaskan tradisi sosial masyarakat tersebut.

Tradisi keagamaan seringkali menjadi fokus perhatian para antropolog. Sebut saja misalnya Cifford Geertz yang menulis dengan sangat menarik mengenai agama di Jawa yang terkenal dengan The Religion of Java.

Geertz membagi kategori muslim Jawa menjadi Santri, Proyayi dan Abangan. Meski kategori ini menghasilkan perdebatan, tetapi Geertz berhasil “memprovokasi” intelektual Indonesia untuk mendiskusikan hasil temuannya dan kategori yang dibuatnya.

Demikian halnya studi antropologi lain Matrk R. Moodward yang menulis mengenai Islam Jawa dengan judul “Islam in Java Normative Piety and Misticism”. Munir Mulkhan dengan nada yang sama, meski aspek sosiologinya kuat, menulis “Islam Murni dalam Masyarakat Petani”, suatu kajian yang spesifik mengenai pergulatan kelompok modernis Islam di Wuluhan Jember.

Dua karya pertama ditulis oleh sarjana luar Jawa dan tidak terikat secara sosiologis, politis dan budaya dengan objek yang ditelitinya, sementara Mulkhan merupakan putra Jember yang sudah lama meninggalkan daerahnya, tentulah masih memiliki kaitan sosiologis, politis dan budaya, walau temuannya menunjukkan keunikan pada soal ragam corak warga Muhammadiyah di Wuluhan.

Ia menyebutnya dengan istilah Muhammadiyah Ikhlas (Muhlas), Muhammadiyah nasionalis (munas), Muhammadiyah Nahdatul Ulama (Munu) dan Marhaenis Muhammadiyah (Marmud).

Hal yang sama dilakukan oleh Mitsuo Nakamura yang melakukan kajian secara khusus mengenai muslim modernis di wilayah Kotagede pada dekade 1970-an/1980-an.

Dalam konteks kajian demikian itulah Mashadi Maili sebagai sarjana antropologi yang menekuni secara spesifik soal-soal agama memberi perhatian pada fenomena upacara kematian dalam masyarakat Gorontalo.

Mashadi bukanlah warga asli Gorontalo. Posisi intelektualnya itu memberi suatu sikap akademik yang objektif dan netral terhadap fenomena yang diperbincangkan.

Karya penting Mashadi Maili dalam kajiannya mengenai upacara kematian di Gorontalo melahirkan buku yang berjudul: “Sinkretisme Islam dalam Ritual Hileiya (Upacara Kematian Etnik Gorontalo)”.

Karya ini penting dipahami dalam konteks akademik, bukan dalam konteks benar dan salahnya suatu tradisi itu berdasarkan teks keagamaan. Pertanyaan akademik yang selalu muncul ketika memperbincangkan tradisi dan agama adalah soal mengapa suatu masyarakat atau komunitas melakukan kegiatan itu? Bukan memberi justifikasi dalam konteks benar-salah, ada dasar hukumnya atau tidak, adakah contohnya dari nabi atau tidak, dan seterusnya.

Jawaban terhadap pertanyaan mengapa suatu masyarakat melakukan kegiatan itu tentulah bervariasi, tergantung pada konteks historisnya dan kekinian yang dihadapi masyarakat tersebut.

Mashadi Maili masuk dalam ruang perbincangan mengenai mengapa itu dilakukan. Dan untuk memperoleh jawaban, Mashadi melakukan kajian yang komprehensif untuk mencapai arti dan maknanya secara antropologis. Upacara kematian itu menjadi salah satu instrumen merekatkan hubungan sosial dan memperkuat solidaritas antar-warga. (bersambung)


.....

Tulisan bagian 2: Melting Pot Jas Merah IMM Makassar

Tulisan Bagian 1: Cendekia Berpribadi dan Intelektual Organik: Titik Pergulatan Mashadi Maili


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama