Melting Pot Jas Merah IMM Makassar

Mashadi Maili (duduk di depan kedua dari kiri) saat mengikuti Lokakarya Nasional Rancang Bangun Gerakan IMM: Visi 2002, di Malang, Jawa Timur, 28-31 Maret 2002. (ist) 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 09 Januari 2025

 

Cendekia Berpribadi dan Intelektual Organik Mashadi Maili (2):

 

Melting Pot Jas Merah IMM Makassar

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

(Dosen UIN Alauddin Makassar)

 

Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Sulawesi Selatan generasi 80-an dan 90-an sangat akrab dengan satu “markas” yang cukup penting bagi pembentukan karakter, kepribadian dan kekaderannya, yakni Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, di Jalan Gunung Lompobattang, Makassar.

Kantor ini lebih familiar di kalangan aktivis IMM dengan istilah Lombat, singkatan dari nama jalan tersebut. Lombat menjadi pusat kegiatan dan pusat perkantoran bagi organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah, di antaranya Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) / Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Ketiga Ortom ini menempati ruangan masing-masing sebagai sekretariatannya.

Menurut penilaian subjektif saya, Lombat kala itu identik dengan aktivis IMM, merekalah yang paling sering memanfaatkan Lombat sebagai tempat pertemuan, diskusi, bahkan menjadi markas bagi para aktivis IMM untuk istrahat dan tidur. Kebetulan ada beberapa kamar yang tersedia di lantai 2 Lombat yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat istrahat.

Mashadi Maili merupakan salah seorang aktivis IMM yang paling aktif di Lombat. Jauh lebih mudah menjumpai Mashadi di Lombat daripada mencarinya di kos-kosan ataupun kampus tempatnya menuntut ilmu.

Ketika pertama kali saya mengunjungi Lombat pada akhir 1994, kala itu sejumlah pimpinan DPD IMM Sulawesi Selatan saya mulai mengenalnya, seperti Mustaqim Muhallim saat itu beliau menjadi Ketua Umum DPD IMM Sulsel, Kak Usman Lonta, dan pimpinan IMM yang lainnya.

Saya memperoleh sambutan hangat. Bagaimanapun kehadiran saya di area itu menjadi pengalaman pertama dan saya juga menjumpai sang instruktur DAD Mashadi Maili.

Lombat memang menjadi pusat sekretariat Organisasi Otonom (Ortom) tingkat wilayah, namun saya juga mulai mengenal sejumlah nama yang ternyata di antaranya masih sebagai Pimpinan Cabang IMM Kota Ujung Pandang.

Meskipun Lombat sekretariat Ortom wilayah, namun banyak aktivis IMM lintas struktural yang rajin mengunjungi Lombat, bahkan saya yang baru lepas DAD, bukan pengurus komisariat, bukan pengurus korkom, apalagi pengurus cabang, sudah “berani” datang ke jantung para aktivis AMM itu.

Mashadi Maili seingat saya kala itu masih menjadi pengurus cabang IMM Kota Ujung Pandang yang sebenarnya sekretariatnya bukan di Lombat, tetapi berada di Maccini Sawah, tempat kantornya Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Ujung Pandang. Lokasinya lumayan jauh dari Lombat, dari jalur kendaraan umum.

Sebenarnya strategis bagi para aktivis kampus sekitar UMI, Unhas, dan IKIP Gunung Sari, hanya memerlukan sekali naik pete-pete, sementara kampus lain dua kali naik angkot.

Itulah sebabnya mengapa para aktivis IMM Cabang Ujung Pandang lebih sering di Lombat daripada Maccini. Ada beberapa faktor mengapa Lombat memiliki magnet yang kuat bagi para aktivis IMM.

Pertama, Lombat mudah diakses melalui jalur transportasi umum yang melintasi seluruh kampus di Makassar, meski harus menempuh jalan kaki setelah turun dari kendaraan umum (pete-pete), tetapi lokasinya bisa dijangkau oleh mahasiswa Unhas, IAIN/UIN, Unismuh, IKIP/UNM, UMI, dan lain-lain.

Kedua, Lombat memiliki sejarah panjang sebagai markas aktivis Islam, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Islam memiliki kantor yang tidak terlalu jauh dari sekretariat AMM/IMM. Lombat telah menjadi instrumen konsolidasi para aktivis Islam sejak dahulu dan itu menjadi sumber utama kekuatan Lombat memikat para aktivis IMM.

Ketiga, secara kultural, Lombat memiliki magnet intelektual untuk membentuk kepribadian anak-anak muda, selain sekretariat, tempat inilah bersemainya gagasan intelektual IMM dalam merespons masalah-masalah kebangsaan, keummatan dan kemanusiaan.

Aula kantor yang cukup luas, tersedia meja yang cukup lebar dan bisa menampung banyak orang untuk terlibat dalam perbincangan informal mengenai isu-isu aktual kebangsaan. Tersedia fasilitas untuk mandi, tidur dan dapur untuk memasak nasi dan kebutuhan lainnya. Perangkat-perangkat inilah yang memikat para aktivis untuk “betah” di Lombat.

 

Dekat dengan Masjid

 

Keempat, yang utama dari Lombat bagi aktivis IMM/AMM kala itu adalah dekat dengan masjid, setiap waktu shalat masuk, semua penghuni Lombat yang laki-laki segera menuju masjid untuk ibadah.

Ritual keagamaan bagi aktivis IMM kala itu, termasuk Mashadi, terjaga dengan baik kalau berada di Lombat. Tidak mungkin berdiam sendiri di sekretariat ketika waktu shalat masuk dan seluruh kawan yang lain bergegas menuju masjid.

Mashadi Maili dan para aktivis IMM dekade 1990-a dan awal 2000-an menjadikan Lombat sebagai instrumen utama pembentukan kepribadian kader. Pesan Mars IMM mengenai “Cendekiawan Berpribadi” tergambar di Lombat melalui forum diskusi dan dialog, baik formal maupun informal untuk merespons persoalan keummatan, kebangsaan dan kemanusiaan.

Setiap kader IMM yang intensitas perjumpaannya di Lombat tinggi, tentulah mereka yang paling memahami proses transformasi intelektual kader IMM dalam mengisi ruang-ruang diskusi dalam membentuk kader-kader yang memiliki kepekaan dan kepedulian pada dunia kemanusiaan. Tentu isu-isu yang berhubungan dengan persyarikatan Muhammadiyah tetap menjadi perhatian utama.

Sebagai “elite” IMM, Mashadi Maili dengan posisi strukturalnya banyak terlibat dalam ruang pembentukan intelektual kader, baik dalam forum pengkaderan formal maupun keberlanjutan pasca-pengkaderan formal.

Mashadi menurut penilaian saya merupakan sosok yang sangat paham bagaimana model pembinaan kader dilakukan. Tidak berhenti pada pengkaderan formal, tetapi diperlukan kegiatan yang berkelanjutan untuk tetap merawat komitmen dan loyalitas kader.

Dimensi lain yang saya perhatikan dari Mashadi adalah komitmen pada aspek spiritualitas yang terkoneksi kesadarannya dengan masjid sebagai pusat segalanya. Koneksitas dirinya dengan simbol-simbol agama (masjid) mampu menjaga kesadaran spiritualnya untuk tetap istiqamah.

Dalam kesederhanaannya, Mashadi Maili banyak memberi kontribusi bagi penguatan peran kader-kader IMM. Di antara yang paling penting juga adalah keterlibatannya dalam urusan yang berhubungan dengan lokasi kegiatan pengkaderan. Soal ini harus menjadi perhatian saya, karena Mashadi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengurusi pengkaderan IMM.

Pilihan lokasi kegiatan agar tetap terkoneksi dengan tempat ibadah (majsid), seperti kegiatan training IMM sedapat mungkin di masjid atau tempat yang berdekatan dengan masjid. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana bahwa pembentukan cendekiawan berpribadi itu hanya dapat dilakukan dengan kombinasi nilai spiritualitas dan intelektualitasnya terintegarsi, masjid menjadi pusat pembentukan spiritualitasnya melalui kegiatan ibadah dan penguatan nilai spiritualnya, sementara forum-forum kegiatan sebagai tempat pembentukan tradisi intelektualnya.

Dalam sejarah keterlibatan saya pada gerakan ini, sejak bergabung tahun 1994, kegiatan pengkaderan formal selalu dilakukan pada tempat yang berkoneksi dengan masjid. Misalnya masjid Ta’mirul Masajid, menjadi tempat favorit kegiatan IMM Unhas pada awal “rehabilitasi” akibat kevakuman yang panjang.

Ta’mirul Masajid bukanlah tempat yang mudah diakses mahasiswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Meski demikian, minat dan gairah para aktivis generasi 1990-an sangat tinggi. Setiap kegiatan IMM Unhas selalu dipadati oleh para mahasiswa, meskipun dengan akses yang memerlukan beberapa kali naik kendaraan umum.

 

IMM Fisipol Unhas

 

Tempat lain yang selalu digunakan untuk kegiatan IMM Fisipol Unhas adalah Masjid Racing Center. Masjid yang berada di Kompleks Perumahan Dosen UMI. Masjid ini bertetangga langsung dengan rumah intelektual-cendekiawan-akademisi yang menjadi teladan anak-anak muda kala itu, yakni Prof Abdurrahman A. Basalamah. Beliau pernah menjadi Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Sebagai cendekiawan, beliau selalu berjamaah di masjid tempat kegiatan IMM berlangsung, terutama pada ibadah shalat subuh. Pilihan tempat kegiatan yang berdekatan dengan masjid atau dalam arena masjid menunjukkan bahwa koneksitas IMM itu dengan masjid, memadukan atau dalam bahasa yang tren di lingkungan UIN adalah integrasi dan interkoneksi nilai-nilai sipirtualitas dan intelektualitasnya.

Pesan utama yang dikirimkan oleh aktivis IMM Cabang Ujung Pandang kala itu adalah kita bergerak dari masjid ke masjid, berkegiatan yang terkoneksi dengan simbol umat Islam untuk kemaslahatan bersama.

Produk kegiatan dari masjid ke masjid itu banyak yang menjadi intelektual-akademisi. Ada yang menjadi pejabat publik, menjadi politisi, pengusaha dan lain sebagainya.

Salah seorang yang berhasil menjadi pejabat publik produk DAD IMM Fisipol yang bertempat di Racing Center adalah Dr AS Chaidir Syam MH, yang kini menjadi Bupati Maros periode 2020-2025 dan periode 2025-2030. Terdapat beberapa nama lagi aktivis Fisipol Unhas yang ikut pengkaderan kala itu, kini menjadi pejabat publik.

Dalam proses kegiatan IMM Fisipol Unhas, peran Mashadi Maili sangat jelas. Suatu kali Mashadi bertanya kepada saya, kala itu saya sudah selesai studi doktor di UGM, juga baru berpindah mukim dari Yogyakarta ke Makassar setelah proses pindah tugas dari UIN Sunan Kalijaga ke UIN Alauddin Makassar.

Beliau mengatakan; “Bagaimana kalau kita membuat DAD IMM Fisip Unhas. Kita-kita ini yang menjadi instruktur kegiatan”. Itu terjadi sekitar tahun 2012. Beliau kala itu sedang menempuh studi doktor antropologi di Unhas. Beliau merasa dirinya sebagai bagian dari Fisipol Unhas, menyaksikan kegiatan IMM mengalami kevakuman dan tidak aktif lagi seperti dahulu.

Mashadi terpanggil untuk merencanakan kegiatan pengkaderan IMM, meskipun statusnya sudah menjadi dosen di IAIN Gorontalo, dan sudah terlibat dalam struktur pimpinan Muhammadiyah, namun kepeduliannya pada kegiatan IMM tingkat komisariat masih menggelora.

Pesan utama dari ajakan itu adalah kepedulian dan perhatian beliau terhadap eksistensi IMM di berbagai level dan komisariat, terutama di lingkungan dimana beliau berada. Mashadi sebenarnya setengah dari hidupnya adalah produk IMM Fisip, karena istri beliau merupakan kader IMM Fisip yang ikut membesarkan IMM Fisip pada periode kemunculannya tahun 1994/1995, sementara Mashadi sendiri merupakan alumni S2 dan S3 Fisip Unhas.

Mashadi Maili dan istrinya Dr Wahidah Suriani MSi, merupakan pasangan ideal. Keduanya sama-sama kader IMM, sekaligus sama-sama menjadi akademisi pada IAIN Gorontalo. Sangat sedikit kader-kader IMM kala itu yang suami istri menjadi dosen.

Lombat menjadi titik sentral Mashadi dalam hidupnya. Lombat membentuknya menjadi aktivis tanpa pamrih, aktivis yang peduli, aktivis yang memiliki keperibadian yang kritis, aktivis yang memiliki loyalitas tinggi.

Mungkin Mashadi menjadi salah satu di antara sekian aktivsi IMM yang membangun karir aktivisnya dari komisariat hingga level nasional. Lombat dan IMM-lah yang membuka jalan bagi perjumpaannya dengan kekasih hatinya, mempertemukannya menjadi pasangan yang kelak menjadi contoh bagi adek-adek generasinya.

Setelah Mashadi dan Wahidah, banyak kader IMM yang menemukan pasangan hidupnya melalui ikatan, mengikat kehidupan dunia dan akhirat. (bersambung)


------

Artikel bagian 1: 

Cendekia Berpribadi dan Intelektual Organik: Titik Pergulatan Mashadi Maili

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama