Pelaut Bugis – Makassar Pewaris Budaya Maritim

TEMU BUDAYA Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi Budaya Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024. (ist)

 

-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 16 Januari 2025

 

Temu Budaya Sulawesi Selatan (9):

 

Pelaut Bugis – Makassar Pewaris Budaya Maritim

 

Laporan: Asnawin Aminuddin

(Wartawan Pedoman Karya)

 

Jalur perdagangan dari Pelabuhan Somba Opu (Kerajaan Gowa) ke Nusantara lainnya dan negara-negara asing sebelum dikuasai kolonial Belanda, yaitu Manggarai, Timor, Tanimbar, Alor, Bima, Buton, Tomboku, Seram, Mindanao, Sambuangan, Makao, Manila, Cebu, Kamboja, Siam, Patani, Bali.

Juga pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Pulau Jawa, Batavia, Ba(n)tam, Palembang, Jambi, Johor, Malaka, Aceh, Banjamasin, Sukadana, Pasir, Kutai, Berau, dan kota-kota dagang di wilayah Sulawesi dan Maluku (Cornelis Speelman dalam E. Poelinggomang, 2002).

Komoditas ekspor meliputi rempah-rempah, kayu cendana, budak, berjenis- jenis produksi India (tekstil: karikam, dragam, touria godia, bethilles, dan lainnya), produk Cina (porselin, sutra, benang sutra, emas, perhiasan emas, gong, dan lainnya).

Juga hasil industri rumah tangga penduduk (parang, pedang, kapak, kain Selayar, kain Bima, dan lainnya) dan produksi laut, khususnya sisik (kulit penyu), tripang, dan mutiara (Cornelis Speelman dalam E. Poelinggomang, 2002).

Sementara rute-rute perdagangan dan pelayaran dari Bandar Somba Opu ke kawasan barat, selatan, dan utara Nusantara setelah dikuasai Belanda (E. Poelinggomang, 2002), yaitu ke Kalimantan, Sumatera, dan Dunia Semenanjung Malaka

“Mereka berniaga ke bandar niaga lain seperti Jailolo Sulu, Banjarmasin, Palembang, Johor, Pahang, dan Aceh,” kata antropolog Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Munsi Lampe.

Hal itu ia kemukakan saat tampil sebagai pembicara pada Temu Budaya Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi Budaya Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024.

“Perahu dagang mereka yang mengunjungi Joilolo datang dari berbagai pelabuhan di pesisir timur Kalimantan, yaitu Kutai, Pasir, dan Samarinda, Maluku yaitu Ternate, Banda, dan pesisir timur Papua Barat, serta Sulawesi yaitu Mandar, Kaili, Bone, Gorontalo, Menado, dan Kema,” sebut Munsi Lampe.

Mereka yang ingin berniaga ke pelabuhan yang berada dalam pengawasan pemerintah Belanda, lanjutnya, tentu tidak melakukan pelayaran terobosan ke wilayah yang dilarang pemerintah.

“Juga tidak memperdagangkan komoditi yang dimonopoli pemerintah seperti rempah-rempah. Daerah pelayaran mereka untuk memperoleh produksi yang dipasarkan ke bandar niaga adalah Nusa Tenggara, Maluku Tenggara yakni Kepulauan Aru dan Tanimbar, hingga pesisir utara Benua Australia,” tutur Musni Lampe.

 

Mempertahankan Tradisi Pelayaran dan Tumbuhnya Wawasan Geografi Nusantara

 

Munsi Lampe mengatakan, setelah Indonesia merdeka, tradisi pengembaraan pelayaran kembali diproduktifkan oleh para pelaut Bugis-Makassar sebagai pewaris budaya maritim nenek moyang yang hidup di masa kolonial dan sebelumnya.

Belajar pari proses sejarah perpolitikan yang panjang mengenai wilayah Nusantara ini, diketahui telah terjadi perubahan wawasan kelompok-kelompok pelaut Bugis-Makassar tentang status wilayah perairan dan daratan Nusantara ini dari masa kolonial dan sebelumnya ke masa kemerdekaan.

Dari pelaut generasi tua, mereka memperoleh pengetahuan bahwa di masa lalu, daerah-daerah perairan Nusantara dan pulau-pulau yang banyak jumlahnya berada dalam klaim kerajaan-kerajaan maritim berdaulat, yang di antara mereka terjalin hubungan politik dan dagang.

“Dalam masa kemerdekaan, melalui pengalamannya yang panjang, para pelaut Bugis-Makassar mengetahui bahwa daerah-daerah perairan dan pulau-pulau yang dilayari dan disinggahi itu telah terintegrasi dalam satu tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” papar Munsi Lampe.

Wawasan yang berkelanjutan bahwa hamparan perairan Nusantara yang luas dan kota-kota pantai dari pulau-pulau yang banyak terbentang dari Sabang sampai Merauke tetap menjadi ruang pelayaran dan arena transaksi ekonomi serta pergaulan antara pelaut, termasuk pelaut Bugis-Makassar, dengan penduduk setempat yang berasal dari etnis-etnis berbeda-beda.

Mengenai pengalaman dan pengetahuan pelaut Bugis-Makassar tentang ruang perairan dan pulau-pulau di bagian barat dan timur Nusantara, disajiakan contoh kasus rute-rute pelayarannya dengan menampilkan empat nakhoda Bugis-Makassar yang berpengalaman, yaitu H. Andi Murtala (Nakhoda Bugis Bira sejak akhir 1950-an), H. Mustadjab (Nakhoda Bugis Bira dari tahun 1956), H. Puang Ambo (Nakhoda Makassar dari Paotere sejak tahun 1964), dan H. Masruddin (Nakhoda Bira sejak tahun 1972).

 

Andi Murtala (Mantan Nakhoda, Bugis)

 

Andi Murtala mulai menjadi nakhoda pada tahun 1957-1982. Kapal pertama yang dilayarkan ialah pinisi dengan kapasitas GT 500-600 ton. Kapal ini mengangkut barang berupa hasil-hasil bumi seperti beras, gula, kacang ijo, dan lain-lain ke Kalimantan dan Medan.

Kapalnya mulai mengangkut barang pada bulan April dan Mei sampai bulan Desember. Kapal yang diawaki anak buah kapal (ABK/Sawi) sebanyak 10 sampai 12 orang, hanyalah salah satu di antara kurang lebih 60 buah kapal pinisi dari Bira yang beroperasi di Nusantara ini pada waktu itu.

Nakhoda Andi Murtala mengisahkan pengalaman pelayarannya dengan mengatakan, perjalanan pelayaran dimulai dari Bira (Bulukumba) dengan kapal dalam keadaan kosong / tanpa muatan menuju ke pelabuhan Ampenan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pulau Sumbawa.

Dari sini pelayaran dilanjutkan ke Pulau Jawa, yakni ke Surabaya, Pasuruan, Semarang, dan Jakarta. Rute pelayaran disesuaikan dengan permintaan pedagang (penyewa kapal) yang mendagangkan hasil bumi seperti tembakau dan kacang-kacangan.

Dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa, pelayaran biasanya diarahkan ke Pontianak (Kalimantan), kemudian dilanjutkan lagi ke Jambi, Palembang, dan Lampung (Sumatera) membawa hasil bumi.

“Dari setiap pelabuhan di Sumatera dan Kalimantan, kapal saya muati dengan minyak kelapa, kayu, dan tapioka (tapioka dimuat di pelabuhan Lampung) diangkut ke Pulau Jawa, terutama Jakarta sebagai sentra perdagangan. Seperti yang lainnya, kapal saya juga kerapkali mengangkut kayu dari Kalimantan ke Bira Bulukumba untuk dijual kepada pengusaha industri perahu / kapal,” tutur Andi Murtala yang diwawancarai tahun 2010

Berkembangnya jalur transportasi udara dan laut serta meningkatnya jumlah kapal laut modern yang diimpor, membuat sebagian besar pelayar yang menggunakan PLM, termasuk kapal Andi Murtala, beralih rute ke kawasan timur, yakni ke Kendari, Ambon, Timika, dan lain-lain.

Dari Makassar ke daerah tujuan tersebut kapal-kapal mengangkut semen dan bahan bangunan lainnya. Sebaliknya, dari daerah kawasan timur kapal mengangkut kayu, yang sebagian besar dibongkar di Bira Bulukumba untuk dijual kepada pengusaha industri kapal/perahu.

“Beberapa tahun terakhir, rute pelayaran saya perluas, yakni dari Jeneponto menuju Kalimantan mengangkut garam; dari Jakarta menuju Kendari mengangkut beras dan pupuk; sebaliknya dari Kendari menuju Jakarta mengangkut rotan dan kayu; dan dari Surabaya menuju Kendari mengangkut ikan teri,” papar Andi Murtala.

Kisah pelayaran H. Andi Murtala di atas menunjukkan pengalaman dan pengetahuannya yang sangat luas tentang ruang laut dan kota-kota pantai dari pulau-pulau berpenduduk padat di Indonesia bagian barat dan timur.

“Bagi Andi Murtala, pengetahuan dan wawasan akan kesatuan wilayah perairan dan kepulauan Indonesia lebih banyak tumbuh dari pengalaman nyata dari pada yang diperoleh melalui informasi dan perbincangan dengan orang lain,” kata Munsi Lampe. (bersambung)

.....

Artikel Bagian 8: 

Etos Budaya Maritim Sulawesi Selatan Refresentasi Identitas Budaya Maritim Nasional

Artikel Bagian 7: 

Pupuk Keberagaman, Biasakan Berembuk


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama