-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 16 Januari 2025
Temu Budaya Sulawesi Selatan (9):
Pelaut Bugis –
Makassar Pewaris Budaya Maritim
Laporan: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Pedoman Karya)
Jalur perdagangan dari Pelabuhan Somba Opu
(Kerajaan Gowa) ke Nusantara lainnya dan negara-negara asing sebelum dikuasai
kolonial Belanda, yaitu Manggarai, Timor, Tanimbar, Alor, Bima, Buton, Tomboku,
Seram, Mindanao, Sambuangan, Makao, Manila, Cebu, Kamboja, Siam, Patani, Bali.
Juga pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Pulau
Jawa, Batavia, Ba(n)tam, Palembang, Jambi, Johor, Malaka, Aceh, Banjamasin,
Sukadana, Pasir, Kutai, Berau, dan kota-kota dagang di wilayah Sulawesi dan
Maluku (Cornelis Speelman dalam E. Poelinggomang, 2002).
Komoditas ekspor meliputi rempah-rempah,
kayu cendana, budak, berjenis- jenis produksi India (tekstil: karikam, dragam,
touria godia, bethilles, dan lainnya), produk Cina (porselin, sutra, benang
sutra, emas, perhiasan emas, gong, dan lainnya).
Juga hasil industri rumah tangga penduduk
(parang, pedang, kapak, kain Selayar, kain Bima, dan lainnya) dan produksi
laut, khususnya sisik (kulit penyu), tripang, dan mutiara (Cornelis Speelman
dalam E. Poelinggomang, 2002).
Sementara rute-rute perdagangan dan pelayaran
dari Bandar Somba Opu ke kawasan barat, selatan, dan utara Nusantara setelah
dikuasai Belanda (E. Poelinggomang, 2002), yaitu ke Kalimantan, Sumatera, dan
Dunia Semenanjung Malaka
“Mereka berniaga ke bandar niaga lain
seperti Jailolo Sulu, Banjarmasin, Palembang, Johor, Pahang, dan Aceh,” kata antropolog
Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Munsi Lampe.
Hal itu ia kemukakan saat tampil sebagai
pembicara pada Temu Budaya Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi Budaya
Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO Kantor
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal
Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024.
“Perahu dagang mereka yang mengunjungi
Joilolo datang dari berbagai pelabuhan di pesisir timur Kalimantan, yaitu Kutai,
Pasir, dan Samarinda, Maluku yaitu Ternate, Banda, dan pesisir timur Papua
Barat, serta Sulawesi yaitu Mandar, Kaili, Bone, Gorontalo, Menado, dan Kema,”
sebut Munsi Lampe.
Mereka yang ingin berniaga ke pelabuhan
yang berada dalam pengawasan pemerintah Belanda, lanjutnya, tentu tidak
melakukan pelayaran terobosan ke wilayah yang dilarang pemerintah.
“Juga tidak memperdagangkan komoditi yang
dimonopoli pemerintah seperti rempah-rempah. Daerah pelayaran mereka untuk
memperoleh produksi yang dipasarkan ke bandar niaga adalah Nusa Tenggara,
Maluku Tenggara yakni Kepulauan Aru dan Tanimbar, hingga pesisir utara Benua
Australia,” tutur Musni Lampe.
Mempertahankan Tradisi Pelayaran dan
Tumbuhnya Wawasan Geografi Nusantara
Munsi Lampe mengatakan, setelah Indonesia
merdeka, tradisi pengembaraan pelayaran kembali diproduktifkan oleh para pelaut
Bugis-Makassar sebagai pewaris budaya maritim nenek moyang yang hidup di masa
kolonial dan sebelumnya.
Belajar pari proses sejarah perpolitikan
yang panjang mengenai wilayah Nusantara ini, diketahui telah terjadi perubahan
wawasan kelompok-kelompok pelaut Bugis-Makassar tentang status wilayah perairan
dan daratan Nusantara ini dari masa kolonial dan sebelumnya ke masa
kemerdekaan.
Dari pelaut generasi tua, mereka
memperoleh pengetahuan bahwa di masa lalu, daerah-daerah perairan Nusantara dan
pulau-pulau yang banyak jumlahnya berada dalam klaim kerajaan-kerajaan maritim
berdaulat, yang di antara mereka terjalin hubungan politik dan dagang.
“Dalam masa kemerdekaan, melalui
pengalamannya yang panjang, para pelaut Bugis-Makassar mengetahui bahwa
daerah-daerah perairan dan pulau-pulau yang dilayari dan disinggahi itu telah
terintegrasi dalam satu tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),”
papar Munsi Lampe.
Wawasan yang berkelanjutan bahwa hamparan
perairan Nusantara yang luas dan kota-kota pantai dari pulau-pulau yang banyak
terbentang dari Sabang sampai Merauke tetap menjadi ruang pelayaran dan arena
transaksi ekonomi serta pergaulan antara pelaut, termasuk pelaut
Bugis-Makassar, dengan penduduk setempat yang berasal dari etnis-etnis
berbeda-beda.
Mengenai pengalaman dan pengetahuan pelaut
Bugis-Makassar tentang ruang perairan dan pulau-pulau di bagian barat dan timur
Nusantara, disajiakan contoh kasus rute-rute pelayarannya dengan menampilkan
empat nakhoda Bugis-Makassar yang berpengalaman, yaitu H. Andi Murtala (Nakhoda
Bugis Bira sejak akhir 1950-an), H. Mustadjab (Nakhoda Bugis Bira dari tahun
1956), H. Puang Ambo (Nakhoda Makassar dari Paotere sejak tahun 1964), dan H.
Masruddin (Nakhoda Bira sejak tahun 1972).
Andi Murtala (Mantan Nakhoda, Bugis)
Andi Murtala mulai menjadi nakhoda pada
tahun 1957-1982. Kapal pertama yang dilayarkan ialah pinisi dengan kapasitas GT
500-600 ton. Kapal ini mengangkut barang berupa hasil-hasil bumi seperti beras,
gula, kacang ijo, dan lain-lain ke Kalimantan dan Medan.
Kapalnya mulai mengangkut barang pada
bulan April dan Mei sampai bulan Desember. Kapal yang diawaki anak buah kapal
(ABK/Sawi) sebanyak 10 sampai 12 orang, hanyalah salah satu di antara kurang
lebih 60 buah kapal pinisi dari Bira yang beroperasi di Nusantara ini pada
waktu itu.
Nakhoda Andi Murtala mengisahkan
pengalaman pelayarannya dengan mengatakan, perjalanan pelayaran dimulai dari
Bira (Bulukumba) dengan kapal dalam keadaan kosong / tanpa muatan menuju ke
pelabuhan Ampenan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pulau Sumbawa.
Dari sini pelayaran dilanjutkan ke Pulau
Jawa, yakni ke Surabaya, Pasuruan, Semarang, dan Jakarta. Rute pelayaran
disesuaikan dengan permintaan pedagang (penyewa kapal) yang mendagangkan hasil
bumi seperti tembakau dan kacang-kacangan.
Dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa,
pelayaran biasanya diarahkan ke Pontianak (Kalimantan), kemudian dilanjutkan
lagi ke Jambi, Palembang, dan Lampung (Sumatera) membawa hasil bumi.
“Dari setiap pelabuhan di Sumatera dan
Kalimantan, kapal saya muati dengan minyak kelapa, kayu, dan tapioka (tapioka
dimuat di pelabuhan Lampung) diangkut ke Pulau Jawa, terutama Jakarta sebagai
sentra perdagangan. Seperti yang lainnya, kapal saya juga kerapkali mengangkut
kayu dari Kalimantan ke Bira Bulukumba untuk dijual kepada pengusaha industri
perahu / kapal,” tutur Andi Murtala yang diwawancarai tahun 2010
Berkembangnya jalur transportasi udara dan
laut serta meningkatnya jumlah kapal laut modern yang diimpor, membuat sebagian
besar pelayar yang menggunakan PLM, termasuk kapal Andi Murtala, beralih rute
ke kawasan timur, yakni ke Kendari, Ambon, Timika, dan lain-lain.
Dari Makassar ke daerah tujuan tersebut
kapal-kapal mengangkut semen dan bahan bangunan lainnya. Sebaliknya, dari
daerah kawasan timur kapal mengangkut kayu, yang sebagian besar dibongkar di
Bira Bulukumba untuk dijual kepada pengusaha industri kapal/perahu.
“Beberapa tahun terakhir, rute pelayaran
saya perluas, yakni dari Jeneponto menuju Kalimantan mengangkut garam; dari
Jakarta menuju Kendari mengangkut beras dan pupuk; sebaliknya dari Kendari
menuju Jakarta mengangkut rotan dan kayu; dan dari Surabaya menuju Kendari
mengangkut ikan teri,” papar Andi Murtala.
Kisah pelayaran H. Andi Murtala di atas
menunjukkan pengalaman dan pengetahuannya yang sangat luas tentang ruang laut
dan kota-kota pantai dari pulau-pulau berpenduduk padat di Indonesia bagian
barat dan timur.
“Bagi Andi Murtala, pengetahuan dan wawasan akan kesatuan wilayah perairan dan kepulauan Indonesia lebih banyak tumbuh dari pengalaman nyata dari pada yang diperoleh melalui informasi dan perbincangan dengan orang lain,” kata Munsi Lampe. (bersambung)
.....
Artikel Bagian 8:
Etos Budaya Maritim Sulawesi Selatan Refresentasi Identitas Budaya Maritim Nasional
Artikel Bagian 7:
Pupuk Keberagaman, Biasakan Berembuk