Pelaut harus menjaga hubungan kekal dengan langganan dengan sikap jujur, menepati janji, dan hati-hati agar supaya tidak terjadi kerugian material dan nonmaterial di antara kedua belah pihak. (int) |
-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 17 Januari 2025
Temu Budaya Sulawesi Selatan (10):
Pelaut Harus
Jujur, Menepati Janji dan Hati-hati
Laporan: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Pedoman Karya)
Pelaut lainnya yang punya pengalaman
panjang mengelilingi pulau-pulau di Nusantara yaitu H. Mustadjab (mantan
Nakhoda, Bugis). Pada tahun 1956, H. Mustadjab memulai karier sebagai ABK di
dunia pelayaran.
Pada mulanya dia menjadi tukang masak yang
dilakoninya selama 5 tahun. Setelah itu, statusnya meningkat menjadi ABK, dan
akhirnya menjadi nakhoda pada tahun 1974. Mengenai pengalaman melayarkan
kapalnya di bagian timur dan barat Nusantara, diceritakan sebagai berikut:
“Saya memimpin pelayaran pinisi 'Bunga
Harapan'. Pelayaran dimulai dari pelabuhan Bira Bulukumba dengan jumlah ABK
sebanyak 15 orang menuju Pulau Sumbawa. Dari tempat tersebut, kami menuju
Pelabuhan Ampena Lombok (ditempuh selama 1 sampai 2 hari). Dari sini perjalanan
dilanjutkan ke Gresik (ditempuh selama 2 hari) untuk mengangkut semen ke
Surabaya (ditempuh selama 1 hari),” tutur H. Mustadjab.
Dari Surabaya, pelayaran menuju Pelabuhan
Wengapu Sumbawa membawa genteng (ditempuh selama 1 minggu). Berikutnya menuju
pelabuhan Labuan Bala, terus ke Pelabuhan Badas (Sumbawa) untuk mencari muatan.
Dari Sumbawa, kapal Bunga Harapan menuju
Jakarta mengangkut hasil bumi
berupa kacang ijo dan kacang kedelai (ditempuh selama 7 hari). Perjalanan ini
berlangsung dalam musim timur.
Setelah muatan dibongkar, pelayaran
diteruskan ke Pulau Bangka Belitung mengangkut barang campuran (ditempuh selama
4 hari). Dari tempat ini, pelayaran diarahkan ke Pelabuhan Kalimas Surabaya
untuk mengangkut pasir pantai 40 kubik sebagai bahan dasar pembuatan gelas
(ditempuh selama 4 hari).
Dari Surabaya perjalanan dilanjutkan ke
Kota Samarinda, Kalimantan Timur, mengangkut barang campuran dengan berat 50-60
ton. Dari Samarinda, Bunga Harapan kembali ke Bira Sulawesi Selatan mengangkut
kayu bahan bangunan kapal/perahu.
Di Bira, kata H. Mustadjab, kapal
diistrahatkan selama dua atau tiga bulan (Januari-Maret:), kemudian
dioperasikan kembali mulai dari bulan April melalui rute-rute yang relatif sama
dengan yang sebelumnya.
“Dari perbincangan dengan Nakhoda
Mustadjab dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan wawasannya tentang ruang
perairan dan pulau-pulau di Indonesia, terutama bagian barat, adalah cukup luas,”
kata antropolog Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Munsi Lampe.
Hal itu ia kemukakan saat tampil sebagai
pembicara pada Temu Budaya Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi Budaya
Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO Kantor
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal
Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024.
“Bagi Nakhoda Mustadjab, rezeki kita ada
pada pedagang di setiap pulau. Mereka menunggu untuk menyewa kapal, pelautlah
yang mencarinya, kemudian mereka menentukan tempat tujuan kapal, dan seterusnya,”
papar Munsi Lampe.
Pelaut, menurut Mustadjab, harus menjaga
hubungan kekal dengan langganan dengan sikap jujur, menepati janji, dan
hati-hati agar supaya tidak terjadi kerugian material dan nonmaterial di antara
kedua belah pihak.
“Patuh pada ajaran agama Islam,
menurutnya, merupakan pedoman hidup bagi aktivitas pelayaran,” kata Munsi Lampe.
Puang Ambo (Nakhoda, Makassar)
Kisah pelaut berikutnya yaitu Puang Ambo,
seorang nakhoda asal Makassar. Puang Ambo yang berkedudukan di kawasan
Pelabuhan Paotere Makassar mulai berlayar dari tahun 1964 dan masih aktif
hingga tahun 2010.
Kota-kota yang dilalui kapalnya ialah
Kolaka, Buton, Bima, Kupang, Ambon, Sorong, Biak, Surabaya, Denpasar, Sumbawa,
Lombok (kawasan timur Indonesia), Balikpapan, Samarinda, dan Pontianak (kawasan
barat Indonesia).
Pengalaman berlayar dan kota-kota yang
disinggahi serta barang-barang dagangan yang dimuat diceritakan olehnya berikut
ini:
“Rute pelayaran saya ialah dari Pelabuhan
Paotere Makassar ke Kolaka, Buton, Bima, dan Kupang mengangkut hasil bumi untuk
bahan makanan, terutama terigu dan beras, dan bahan bangunan, terutama semen.
Di ketiga daerah tersebut kapal saya memuat berbagai jenis hasil bumi untuk
diangkut ke Surabaya atau kembali ke Makassar,” tutur Puang Ambo.
Dari Makassar dan Surabaya kapal
mengangkut berbagai jenis hasil bumi, barang campuran, dan semen diangkut ke
Samarinda, Pontianak, dan Banjarmasin. Barang-barang yang sama juga dibawa ke
Ambon, Sorong, dan Biak.
“Sebaliknya dari ketiga tempat tersebut,
kapal memuat hasil bumi terutama coklat dan cengkeh. Pedagang pemilik
barang-barang tersebutlah yang menyewa kapal, saya bersama ABK pengangkut
barang dari satu kota pelabuhan ke kota-kota pelabuhan lainnya di Indonesia ini,”
kata Puang Ambo.
Berbeda dengan kedua kelompok awak kapal
Nakhoda Andi Murtala dan Mualim Mustadjab, pengetahuan kelautan dan kepulauan
Puang Ambo lebih banyak diarahkan pada kawasan Timur dari pada kawasan Barat
Indonesia.
“Meskipun demikian, Puang Ambo mengakui dan bersyukur atas pengalamannya menjelajahi lautan, mendatangi kota-kota pelabuhan, dan bergaul dengan orang-orang Indonesia dari berbagai suku-bangsa selain Bugis-Makassar,” kata Munsi Lampe. (bersambung)
.....
Artikel Bagian 9: Pelaut Bugis – Makassar Pewaris Budaya Maritim