-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 20 Januari 2025
Temu Budaya Sulawesi Selatan (11):
Perahu Buatan Bira
Tanpa Mesin Berlayar ke Australia
Laporan: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Pedoman Karya)
Selain H. Mustadjab, Puang Ambo, dan Andi
Murtala, pelaut lain yang punya segudang pengalaman yaitu Masruddin. Pria Bugis
ini mulai berlayar pada tahun 1962 dengan status Anak Buah Kapal (ABK)/Sawi.
Kapal yang diikuti bertipe perahu layar pinisi, yang dinakhodai Andi Murtala.
Pada mulanya dia menjadi tukang masak,
kemudian lama kelamaan meningkat menjadi ABK atau Sawi. Seperti halnya pelaut
lainnya dari Bira, Masruddin selama masih berstatus ABK juga telah mendatangi
cukup banyak kota pelabuhan di Indonesia, baik di kawasan barat maupun timur.
Karena prestasinya meningkat memungkinkan dia diangkat menjadi Mualim II (Wakil
Nakhoda) mendampingi Nakoda Andi Murtala pada tahun 1972.
“Pengalaman berlayar dan pengetahuan
kelautan dan kepulauan Masruddin meningkat pesat ketika melakukan pelayaran ke
luar negeri sebanyak tiga kali, yakni dua kali ke Darwin Australia dan sekali
ke Tokyo Jepang membawa perahu tradisional pesanan dari Bira Bulukumba untuk dimasukkan
ke museum nasional kedua negara tersebut,” tutur antropolog Universitas
Hasanuddin (Unhas), Prof Munsi Lampe.
Hal itu ia kemukakan saat tampil sebagai
pembicara pada Temu Budaya Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi Budaya
Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO Kantor
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal
Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024.
Pelayaran pertama dan kedua ke Darwin
Australia masing-masing membawa perahu tipe padewakang “Hati Marege” dan pinisi
“Pinisi Nusantara”, berikutnya ke Tokyo Jepang membawa perahu tipe padewakang “Damar
Sagara.”
“Puncak karir Masruddin dicapainya ketika
terangkat menjadi Kapten Kapal di tahun 1990. Dia dipercayakan memimpin kapal
Pinisi untuk pesiar milik perusahaan industri pariwisata di Bali,” kata Munsi
Lampe.
Untuk gambaran rute perlayaran ke
Pelabuhan Darwin Australia, dikisahkan oleh Masruddin bahwa pada tahun 1984, dirinya
bergabung dengan awak perahu layar Padewakkang “Hati Marege” mendampingi Kapten
Andi Mappagau.
Perahu buatan Bira tanpa mesin ini
dilayarkan ke Pelabuhan Darwin dalam bulan Desember 1984 untuk dimasukkan ke
dalam Museum Nasional Australia di Darwin.
Hati Marege diberangkatkan dari Pangkalan
Hasanuddin menuju Australia melalui beberapa tempat di Indonesia bagian timur
seperti Bira (ditempuh selama 3 hari dari Makassar), Pelabuhan Maumere Flores
(ditempuh selama 2 hari dari Bira), Pulau Kisar NTT (ditempuh selama 2 hari
dari Pulau Kisar), dan terakhir pelayaran langsung ke Pelabuhan Darwin
Australia (ditempuh selama 20 hari).
Rute pelayaran tersebut ditentukan atas
permintaan beberapa turis Australia yang ikut dalam rombongan karena ingin
melihat beberapa pulau yang menarik. Sesampai di tempat tujuan, semua awak
perahu disambut oleh pemerintah Australia, sementara Hati Marege langsung
dimasukkan ke dalam Museum. Mereka diinapkan di hotel selama 47 hari kemudian
di pulangkan ke Indonesia dengan pesawat terbang.
“Dari kisah pengembaraan pelayarannya di
perairan Indonesia, diketahui bahwa Masruddin adalah salah seorang pelaut Bugis
yang kaya dengan pengalaman dan pengetahuan wilayah perairan dan pulau-pulau di
Indonesia bagian barat dan timur. Bahkan pengetahuannya melampaui Nusantara ini
keluar negeri, yakni Australia melalui perairan bagian selatan antara Indonesia
dan negara tersebut. Demikian halnya ke Jepang melalui pelayaran yang sangat
jauh di perairan ketiga negara kepulauan Indonesia, Pilipina, dan Jepang,”
tutur Munsi Lampe.
Wawasan Kepulauan Pelaut Bugis – Makassar
Sebetulnya semua pelaut Bugis-Makassar,
termasuk para ABK atau Sawi, telah memiliki wawasan yang luas tentang
pulau-pulau dan kota-kota pantai lainnya di bagian barat dan timur Indonesia.
Pengetahuan dan wawasan kelautan dan
pulau-pulau tersebut juga diperoleh para pelaut melalui perbincangan dengan
pelaut lainnya, pengalaman melihat peta di atas setiap kapal, dan informasi
melalui media massa, terutama tayangan TV dan pemberitaan radio.
“Bagi mereka, pengalaman dan pengetahuan
serta wawasan yang diperoleh melalui interaksi secara langsung dengan orang-orang
lain, yang dianggapnya sebagai kekayaan tak ternilai, tidak akan habis, dan
sangat membanggakan,” kata Munsi Lampe.
Aktivitas pelayaran pelaut-pelaut
Bugis-Makassar yang berulang kali dari satu pulau ke pulau-pulau lainnya telah
terpetakan dalam ingatan mereka (cognitve maps). Mereka mengetahui letak-letak
pulau-pulau dan jarak di antara pulau-pulau serta waktu tempuh masing-masing.
Mereka menghapal nama-nama wilayah
perairan, pulau-pulau, dan kota-kota pantai yang pernah disinggahi atau tinggal
sementara di situ. Bahkan hingga batas-batas tertentu, mereka mengenal
karakteristik fisik lingkungan alam laut dan daratnya.
Munsi Lampe mengatakan, ada sebagian di
antara mereka secara relatif mengetahui batas-batas antara wilayah perairan
Indonesia dan perairan negara-negara lainnya, seperti, Malaysia, Filipina,
Papua Timur, Australia, dan Timor Timur/Timor Leste. (bersambung)