![]() |
ANTOLOGI PUISI. Sejumlah penyair foto bersama seusai acara “Panggung Puisi dan Launching Buku Desir Angin Malino”, di Kafe Masagenae, Jalan Sultan Hasanuddin, Gowa, Sabtu, 25 Januari 2025. |
-----
Sabtu, 25 Januari 2025
Puisi-puisi “Desir
Angin Malino” Ikuti Gaya Pujangga Baru
GOWA, (PEDOMAN KARYA).
Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Penulis Muslim Indonesia (DPP IPMI) menggelar “Panggung
Puisi dan Launching Buku Desir Angin Malino”, di Kafe Masagenae, Jalan Sultan
Hasanuddin, Gowa, Sabtu, 25 Januari 2025.
Acara dibuka oleh Ketum DPP IPMI Muhammad
Amir Jaya, dan dihadiri puluhan penyair, baik penyair yang ada karya puisinya dalam
buku antologi puisi “Desir Angin Malino”, maupun yang tidak ada karyanya.
Sebanyak 47 puisi karya 28 penyair masuk
dalam buku “Desir Angin Malino”. Sebagian penulis diminta membacakan puisinya
dan sebagian pengunjung lainnya yang tidak ada puisinya dalam buku tersebut
diminta memberikan testimoni.
Ke-28 penulis puisi yaitu Andi Marliah,
Andi Ruhban, Andi Rosnawatih, Aslam Katutu, Asmira Viskamira, Asnawin Aminuddin,
Badaruddin Amir, Bukamaruddin, Daeng Mangeppek, Efa Patmawati Halik, Irfan
Akbar.
Irhyl R Makkatutu, Jesi Heny Taroko,
Luthfia Fitriani, Mira Pasolong, Muhammad Amir Jaya, Muliaty Mastura, Nawir
Sulthan, Nur Afni Faradillah, Sri Asfirawati Halik, Sri Gusty, Hj. Sri Rahmi,
St Dahria Azis, Syarif Liwang, Syahrir Rani, Syafruddin Muhtamar, Suradi Yasil,
dan Topan Arief Wibowo.
“Dari 28 penulis, ada yang menulis satu
puisi, ada yang dua puisi, ada yang tiga puisi, dan ada juga yang menulis empat
atau lima puisi,” jelas Amir Jaya.
Penyair dan budayawan Yudhitira Sukatanya yang
diminta memberikan testimoni mengatakan puisi-puisi yang ada dalam buku “Desir
Angin Malino” umumnya menggunakan gaya lama, gaya pujangga baru.
“Puisi-puisi yang ada dalam buku ini
umumnya menggunakan gaya lama, seperti gaya pujangga baru. Kalau yang
begini-begini berlanjut, tentu tidak ad perubahan. Mari kita berhenti menulis
puisi seperti ini, karena puisi seperti ini justru memiskinkan metafora,” kata
Yudhistira.
Penyair dan akademisi Asia Ramli Prapanca
melihat dari sisi lain bahwa puisi-puisi yang ada dalam buku “Desir Angin
Malino”, ada yang berisi relasi antara manusia dengan alam, relasi manusia
dengan Tuhan, dan ada pula puisi yang berisi relasi antara manusia dengan
manusia.
“Tapi tidak banyak puisi yang hubungannya
dengan sejarah,” kata Ram Prapanca.
Penyair Nawir Sulthan yang juga diminta
memberikan testimoni mengatakan, dirinya sudah sering menyampaikan bahwa
kelahiran puisinya, sebenarnya hanya karena kebetulan saja.
“Ya, kebetulan ada waktu, ada kesempatan,
dan ada kemauan. Meskipun demikian, bukan berarti puisi saya mengalir apa
adanya. Namun melalui suatu proses yang demikian ketat. Puisi itu saya baca
berkali-kali, menyeleksi kata demi kata, mengganti bila perlu, dan mengaturnya
sedemikian rupa, sebelum puisi saya anggap selesai. Apakah puisi itu sudah
bagus atau tidak, saya selalu syukuri sebagai karunia Tuhan,” tutur Nawir.
Penyair yang kini menetap di Kabupaten
Maros mengaku dirinya bukan orangnya yang bisa diminta menulis puisi untuk
suatu tema tertentu. Kalaupun kemudian ternyata puisinya ada dalam satu
antologi bersama, semua itu hanya serba kebetulan saja.
“Akan halnya dengan antologi puisi ‘Desir
Angin Malino’, tadinya saya tidak berpikir akan ikut, lantaran keadaan dan
kondisi saya sendiri. Namun mengingat kawan-kawan di Makassar, saya jadi
tergugah. Lalu saya mencoba menulis puisi Malino. Menjadi keuntungan bagi saya,
karena saya beberapa kali berkunjung di tempat yang sangat indah ini sebelumnya,”
papar Nawir.
Penyair lain yang memberikan testimoni yaitu Ishakim, Anil Hukma, dan Bahar Merdhu, sedangkan penyair yang membaca puisi antara lain Andi Marliah, Muliaty Mastura, Efa Patmawati Halik, Andi Ruhban, Andi Rosnawatih, Jesi Heny Taroko, Asnawin Aminuddin, dan Syahrir Rani Patakaki. (win)