-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 13 Januari 2025
Temu Budaya Sulawesi Selatan (7):
Pupuk Keberagaman,
Biasakan Berembuk
Laporan: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Pedoman Karya)
Islam masuk ke bumi Nusantara dengan
proses gradual (perlahan namun pasti). Islam masuk ke bumi Nusantara dengan
strategi tepat, akurat dan membumi lewat cara bijak, santun, damai, melalui
proses akulturasi agama dengan budaya lokal setempat hingga agama Islam
diterima tanpa kekerasan.
Contoh Sunan Bonang di Tuban Jawa Timur.
Beliau berdakwah melalui kesenian agar bisa menarik masyarakat untuk memeluk
Islam. Lagu Wiji atau Tombo Ati ini karya beliau dengan menambah unsur Islami.
“Sunan Bonan mengubah nama-nama dewa
dengan nama-nama malaikat. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya persuasif terhadap
penganut ajaran Hindu dan Buddha yang telah lama dipeluk sebelumnya,” papar akademisi
UIN Alauddin Makassar, Abu Haif M. Bilalu.
Hal itu ia sampaikan pada Temu Budaya
Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi Budaya Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024
Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember
2024.
Abu Haif yang dosen Sejarah Peradaban
Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alaudin Makassar, mengatakan, Sunan
Kudus (ahli Tafsir, Fikih, Ushul Fikih, Tauhid, Hadis serta Logika) memiliki
toleransi beragama dengan mendekatkan Agama Hindu, Buddha dengan Islam.
“Beliau menghargai Agama Hindu. Agama
Hindu sangat menghargai sapi. Sunan Kudus melarang Kurban Sapi waktu itu tapi
ganti dengan kerbau,” kata Abu Haif.
Sunan Kalijaga menyebarkan Islam dengan
menggunakan media wayang kulit di wilayah Demak, Jawa Tengah. Lagu Wiji atau
Tombo Ati unsur-unsur Islamnya yaitu (1) membaca Al-Qur’an, (2) shalat 5 waktu,
(3) berkumpul dengan orang-orang shaleh, (4) puasa sunnah, dan (5) dzikir.
Dapat dipahami artinya agama dan budaya
sebagai simpul utama dalam membangun misi Islam rahmatan lil’alamin (kasih
sayang bagi semesta alam).
“Konsep ini perintah agama dengan tujuan
untuk mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia dan alam semesta,”
kata Abu Haif.
Membangun Keberagaman
Perspektif historis Nabi Muhammad telah
mengakui pentingnya membangun keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah
dibuat oleh Nabi Muhammad bersama suku-suku Muslim, Yahudi / Qainuqa, Nadhir,
Quraidzhah, Nasrani. Piagam atau konstitusi ini tujuannya untuk mempersatukan
berbagai golongan yang ada di Madinah agar penduduknya dapat hidup berdampingan
dengan damai.
“Dengan Piagam Madinah, ada kebebasan
beragama, kebebasan menyatakan pendapat, keselamatan harta benda, larangan
melakukan kejahatan, metode penyelesaian perselisihan secara damai. Artinya,
Nabi Muhammad melalui Piagam Madinah menghargai keberagaman yaitu adanya
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat seperti suku, agama, budaya, keyakinan, dan
lain-lain,” tutur Abu Haif.
Piagam Madinah, lajutnya, hakekatnya menghargai
keberagaman, memungkinkan kelompok-kelompok
mempertahankan identitas tradisi mereka, membangun masyarakat yang kaya secara
budaya, mendorong kebebasan berekpresi beragama dan berpendapat, mendorong dialog,
saling pengertian dan kerja sama antara berbagai kelompok.
“Juga menghormati setiap individu tanpa
melihat latar belakangnya, bersikap terbuka terhadap perbedaan yang ada, tidak
memaksakan kehendak, saling membantu, dan tidak mengejek keyakinan, agama, ras
dan budaya lain,” urai Abu Haif.
Contoh kasus, ada Sahabat menampar orang
Yahudi. Orang Yahudi tidak menerima perlakuan sahabat ini, maka ia pun menemui
Nabi Muhammad dan melaporkan perlakukan sahabat. Mendengar aduan orang Yahudi
tersebut, Rasulullah pun marah kepada Sahabat.
“Artinya Nabi Muhammad memberi petunjuk
kepada kita bahwa betapa pentingnya memupuk keberagaman dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Keberagaman artinya adanya variasi atau perbedaan
dalam suatu kelompok atau komunitas, seperti perbedaan budaya, suku, agama,
bahasa gender, antar-golongan, dan lain-lain,” kata Abu Haif.
Memupuk Keberagaman
Dalam konteks ke-Indonesia-an, lanjut Abu
Haif, Pancasila mengandung nilai-nilai yang hendaknya dapat diterapkan dalam
kehidupan sosial masyarakat, yaitu menghargai perbedaan: agama, budaya, suku
dan bahasa, bersikap toleran menyangkut perilaku untuk menghormati/menghargai
perbedaan, menjaga kerukunan antar-umat beragama.
Juga menghindari diskriminasi SARA (Suku,
Agama, Ras dan Antar Golongan) artinya kemanusian yang berkeadilan sosial, membantu
sama lain tidak saling menjatuhkan, menjalin kebersamaan, musyawarah, dan persatuan.
Biasakan Berembuk
Guna memperkuat agama dan budaya lokal sebagai
perekat keberagaman, Abu Haif mengusulkan agar memasukkan dalam kurikulum keagamaan
di semua lembaga pendidikan, baik muslim maupun non-muslim bahwa Islam adalah agama
rahmatan lil alamin, sehingga pemuda dan pemudi bisa terhindar dari
radikalisme, karena sudah memiliki pemahaman agama yang mendalam.
Kita juga sebaiknya membiasakan berembuk
sebagai budaya lokal dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Bung Karno
mengatakan, musyawarah ata berembuk merupakan tradisi gotong royong untuk
memecahkan masalah. Karena kesejatian bangsa Indonesia berdiri ialah atas
gotong royong dan saling bantu membantu lintas suku dan agama.
“Sudah seharusnya kita semua turun tangan mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal bangsa. Nilai belas asih, saling menghargai perbedaan, membiasakan berpikir yang benar dan kritis, itu semua merupakan budaya lokal sebagai benteng dari radikalisme agama,” kata Abu Haif. (bersambung)
.....
Artikel Bagian 6: