Masihkah relevan diksi siap kalah dan siap menang dengan fenomena lebih dari separuh daerah yang mengikuti pemilihan kepala daerah serentak mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi? |
------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 15 Januari 2025
OPINI:
Siap Menang vs Siap
Kalah
Oleh: Usman Lonta
Diksi siap kalah dan siap menang menghiasi
pemilihan-pemilihan kepala daerah serentak yang digelar 27 November 2024. Satu
bulan yang lalu, KPU telah mengumumkan para pemenang berdasarkan perolehan
suara terbanyak.
Hasil pemilihan kepala daerah yang telah
diumumkan oleh KPU tidak secara otomatis diterima oleh kandidat yang kalah. Menurut
humas Mahkamah Konstitusi, sebanyak 309 perkara yang telah diregistrasi.
Masihkah relevan diksi siap kalah dan siap
menang dengan fenomena lebih dari separuh daerah yang mengikuti pemilihan
kepala daerah serentak mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada
baiknya saya mengajukan pertanyaan berikut, yaitu apakah pemilihan kepala
daerah serentak sudah sepi kecurangan yang berpotensi melukai keadilan public?
Kedua pertanyaan tersebut akan menjadi
uraian dalam tulisan ini. Pertama, bahwa diksi siap kalah siap menang adalah
merupakan kontrak sosial antara peserta Pilkada (kandidat) dan penyelenggara Pilkada
(KPU dan Bawaslu).
Kontrak sosial seperti ini sudah lazim
dilakukan pada setiap even Pemilu di Indonesia. Problem yang sering menjadi
dasar ketidakpuasan dalam Pemilukada adalah kecurangan. Kecurangan yang
dijadikan gugatan adalah maraknya pelanggaran Pemilukada, misalnya dugaan money
politic, dugaan keterlibatan aparat, baik ASN, TNI, maupun Polri yang secara
nyata dilarang dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada.
Diskursus yang menarik adalah kebiasaan
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengadili dan memutus perkara sengketa Pemilukada
adalah berdasarkan hasil perhitungan secara berjenjang.
Pelanggaran Pemilukada berupa kecurangan
tidak mempengaruhi atau tidak dijadikan pertimbangan, kecuali jika ditemukan
bahwa pelanggaran tersebut bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).
Kerumitan pembuktian TSM sebagai alat
bukti yang diajukan oleh para kandidat yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi
merupakan problem tersendiri dalam siding sengketa Pemilukada.
Implikasinya adalah adanya perbedaan
pandangan antara kandidat, penyelenggara Pemilu, dan bahkan hakim konstitusi
terhadap definisi TSM. Belum ada alat uji validitas suara yang diperoleh dengan
cara yang benar, dan suara yang diperoleh melalui kecurangan.
Beda dengan survey ( menggunakan
sampling), ada uji validitas terhadap sampel dan instrument yang digunakan yang
disebut dengan reliabilitas. Apakah di masa depan alat bukti TSM ini bisa
menggunakan metode survey yang basisnya adalah sampling? Silahkan dikaji oleh
pembuat undang-undang.
Apabila alat bukti TSM masih seperti ini,
saya menduga bahwa Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan perkara yang selisihnya
tidak signifikan. Putusannya melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dengan pertimbangan bahwa hasil
PSU tersebut berpotensi mengubah hasil Pemilukada.
Kedua, dengan maraknya dugaan kecurangan Pemilu
yang mengitari Pemilukada kali ini seperti yang diajukan pada pertanyaan kedua
di atas, maka penyelenggara Pemilu, aparat; baik Aparat Sipil Negara, TNI,
maupun kepolisian, kiranya menghindari hiruk-pikuk penentuan kepemimpinan di
tingkat daerah.
Toh TNI dan polri tidak signifikan
keterlibatannya dalam urusan pemerintahan daerah. Atau perlu revisi UU Pilkada,
tentang definisi kecurangan. Yaitu suara yang diperoleh secara benar, akan
dianggap batal jika ada suara tambahan dari hasil kecurangan yang memenangkan Pemilukada
tersebut.
Berlaku hukum: nila setitik merusak susu
sebelanga. Demikian pula sanksi tegas terhadap aparat dan penyelenggara Pemilu
jika ditemukan bukti keterlibatannya untuk memenangkan kandidat tertentu.
Kembali ke diksi siap kalah vs siap
menang. Diksi tersebut sejatinya dipahami secara filosofis dan sosiologis oleh
peserta Pilkada dan seluruh timnya. Makna kemenangan yang dimaknai secara
filosofis adalah kandidat terpilih akan dilantik menjadai kepala daerah pada daerah
tersebut.
Dia akan memimpin masyarakat, baik yang
memilihnya maupun yang tidak memilihnya. Dia adalah kepala daerah untuk semua,
bukan kepala daerah pemilihnya apalagi kepala daerah tim suksenya.
Dengan pemahaman seperti inilah kepala
daerah tertuntun untuk menegakkan keadilan, membangun kesejahteraan Bersama.
Hasil Pilkada meskipun menang signifikan, tidak ada satu kepala daerah pun yang
memenangkan 100 persen.
Oleh karena itu kepala daerah terpilih
harus sadar bahwa di balik kemenangan ini, masih ada masyarakat yang tidak
menghendaki dirinya sebagai pemimpinnya. Selisih yang tidak memilihnya adalah
alat kontrol dalam menyelenggarakan pemerintahan. Bukan dengan menyuruh mencari
daerah lain, karena ungkapan tersebut merupakan arogansi kekuasaan.
Secara sosiologis, bahwa betapa beragamnya
masyarakat yang dipimpinnya. Mulai dari orang yang menyanjungnya sampai orang
yang paling tidak menyukainya. Anggap saja bahwa sanjungan dan pujian tidak
akan menjadikanmu burung yang bisa terbang, tidak akan meninggikan nobilitimu
dan kehormatanmu.
Nobility dan kehormatan akan ditentukan
oleh karakter seseorang termasuk karakter kepemimpinan. Demikian pula
masyarakat yang tidak senang, dan mengkritikmu, bahkan membencimu sekalipun.
Anggap saja sebagai vitamin atau suplemen yang akan menambah energi dalam
menjalankan tugas pemerintahan. Jangan temukan kekuranganmu dari sahabat
dekatmu, tapi sesekali dengarkanlah dari musuhmu tentang hal buruk
pemerintahanmu.
Wallau ‘a’lam bishshawab
Sungguminasa, 15 Januari 2025