-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 01 Januari 2025
Strategi Mutu
& Profesional Pengawas Sekolah Menjadi Guru Pendamping
Oleh: Achmad Ramli Karim
(Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik
APSI Sulsel)
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permenpan
RB) Nomor 21 Tahun 2024 tentang jabatan fungsional guru.
Peraturan ini membawa perubahan signifikan
dalam struktur jabatan di dunia pendidikan, khususnya dalam hal pengawasan
sekolah. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah penghapusan jabatan
fungsional pengawas sekolah, yang kini digantikan dengan jabatan fungsional
guru.
Berdasarkan Permenpan RB Nomor 21 Tahun
2024, jabatan pengawas sekolah, penilik, dan pamong belajar kini digabungkan
menjadi satu jabatan fungsional baru yang disebut sebagai “jabatan fungsional
guru.”
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Dengan adanya integrasi jabatan ini,
diharapkan akan tercipta pengelolaan yang lebih baik dan terkoordinasi antara
berbagai jabatan dalam dunia pendidikan. Tugas-tugas pengawas sekolah yang
sebelumnya meliputi pengawasan dan pembinaan kini akan disesuaikan dengan tugas
baru yang sesuai dengan jabatan fungsional guru.
Meskipun istilah pengawas sekolah dihapus,
banyak tugas pengawas tetap dilanjutkan dalam bentuk tugas sebagai “guru
pendamping satuan pendidikan”. Karena tupoksi utama pengawas sekolah adalah
melakukan pembimbingan, pelatihan, dan pendampingan profesi, berdasarkan
analisis hasil supervidi akademik maupun manajerial.
Adapun tugas pokok dan fungsinya yang
(tupoksi) Pengawas sekolah adalah melaksanakan supervisi akademik maupun
manajerial pada satuan Pendidikan yang menjadi tanggung jawab kepengawasannya.
Selanjutnya melakukan analisis hasil
supervisi dan menyusun rencana tindak lanjut (RTL), untuk menentukan bentuk dan
jenis pembimbingan dan pelatihan yang dibutuhkan.
Namun guru, Kepsek, dan Tendik, serta
komponen Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada satuan pendidikan, tidak bisa
mencapai standar penilaian maksimal disebabkan oleh faktor SDM dan kompetensi
profesional yang kurang dimiliki oleh pengawas pada umumnya.
Akibatnya, pendidikan dan pelatihan
(Diklat) yang dilaksanakan tidak mencapai sasaran, disebabkan oleh tiga faktor
utama, yaitu; (1) Pengawas tidak melaksanakan supervisi dengan menggunakan
format supervisi.
(2) Pengawas tidak melakukan analisis data
hasil supervisi akademik maupun manajerial sehingga tidak ada RTL, dan (3) Pengawas
jarang melakukan pendampingan secara profesional.
Oleh karena itu, kebanyakan pendidik dan
tendik memiliki puluhan bahkan ratusan sertifikat hasil diklat, tetapi tidak
mampu mengukur hasil kinerjanya berdasarkan standar mutu.
Seharusnya seorang Pengawas mampu mengukur
kinerja dan mutu satuan Pendidikan, melalui pembimbing/diklat dan pendampingan
profesional, namun kebanyakan gagal, karena tidak didukung oleh SDM dan
kompetensi profesional, sehingga pengawas sekolah tidak mampu menggenjok mutu
managemen (Manajetial) dan proses pembelajaran (Akademik) pada satuan
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Mayoritas Pengawas sekolah membuat laporan
hasil kepengawasan fiktif. Dapat diduga angka dan persentase hasil supervisi,
diisi sendiri dan tidak berdasarkan analisis hasil supervisi. Hal ini
disebabkan karena ketidakmampuan melakukan teknik analisis hasil kepengawasan
(hasil supervisi), untuk menyusun rencana tindal lanjut (RTL) hasil supervisi.
Salah satu kegiatan kepengawasan
profesional, adalah melaksanakan pembimbingan / pelatihan dan pendampingan
profesional berdasarkan rencana tindak lanjut (RTL). Dimana RTL tersebut
disusun berdasarkan aspek / indikator hasil analisis supervisi yang tidak
mencapai nilai standar supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi
manajerial.
Kelemahan utama dalam jabatan
kepengawasan, adalah pelaksanaan tupoksi pengawas sekolah yang tidak ditunjang
oleh SDM dan kompetensi yang memadai, sehingga tidak mampu mengukur proses
serta prosedure peningkatan kinerjanya.
Oleh karena itu, langkah Kemenpan RB
menghapus Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan mengembalikan kepada Jabatan
Fungsional Guru sebagai pendamping satuan Pendidikan, dapat dipandang sebagai
strategi mutu dan profesional.
Tugas baru tersebut berpeluang untuk
mengukur pencapaian mutu penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan,
karena hanya lewat pembimbingan dan pendampingan profesional, seorang
pendamping mampu meningkatkan mutu managemen serta kinerja Satuan Pendidikan
secara terukur.
SDM dan Kompetensi Pendukung
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui
kegiatan pembimbingan dan pendampingan secara profesional selama ini, pada
umumnya tidak mampu dilakukan oleh Pengawas Sekolah, karena keterbatasan SDM
dan kompetensi yang dimilikinya.
Ada 3 indikator utama yang menentukan
peningkatan kinerja dan mutu penyelenggaraan pada satuan pendidikan, yaitu; (1)
kemampuan guru mengelola proses pembelajaran yang bermutu, (2) adanya jaminan
kompetensi manajerial dan akademik Kepala Sekolah, dan (3) adanya jaminan SDM
serta tindakan profesionalisme Pengawas
dalam melakukan supervisi, pembimbingan dan pelatihan, serta
pendampingan pada satuan pendidikan.
Secara perspektif permasalahan yang
memerlukan solusi adalah mengapa Pengawas Sekolah umumnya tidak mampu melakukan
pembimbingan dan pendampingan profesional untuk meningkatkan mutu managemen dan
mutu proses pembelajaran (akadenik) di Satuan Pendidikan?
Hal ini sangat berkaitan dengan Permenpan
RB Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan kebijakan terkait jabatan fungsional
Pengawas Sekolah menjadi jabatan fungsional Guru sebagai pendamping satuan
Pendidikan.
Menurut hemat penulis, langkah ini sama
dengan langkah-langkah sebelumnya, yang hanya bertumpu pada perubahan kebijakan
regulasinya dan tidak menyelesaikan akar permasalahan dunia pendidikan.
Sementara disadari bahwa permasalahan
utama dunia pendidikan selama ini, adalah rendahnya SDM dan kompetensi tenaga
pendidik dan kependidikan itu sendiri, yang tidak bisa diatasi hanya melalui
pendidikan dan pelatihan (diklat) 30 jam.
Oleh karena itu, permasalahan yang harus
disentuh melalui kebijakan regulasi adalah rekrutmen tenaga pendidik dan
kependidikan (Guru, Kepsek, & Pengawas Sekolah) berbasis kompetensi dan
mutu akademik (SDM). Yang dimulai dari rekrutmen calon guru dari output
Perguruan Tinggi dengan prestasi akademik (IPK) minimal 3,0.
Ada lima indikator analisis yang menjadi
ukuran, sehingga Pengawas Sekolah dianggap tidak mampu menggenjot aspek
managerial dan proses pembelajaran (akademik) yang berbasis kinerja dan mutu.
Pertama, rata-rata pendidik dan tendik
(guru & pengawas), memiliki SDM yang rendah berdasarkan prestasi akademik
(IPK Ijazah) yang dimilikinya. Kedua, kurangnya inisiatif dan kreativitas guru
dan calon pengawas dalam mengelola proses pembelajaran. Ketiga, pendidik dan
Tendik tidak ditunjang oleh SDM dan kompetensi yang memadai dalam melahirkan
model-model pembelajaran yang berorientasi mutu dan profesionalisme.
Keempat, kurangnya kemampuan inovasi
pendidik dan tendik dalam mengelola media dan model-model pembelajaran dan
pembimbingan, dan kelima, ketidakmampuan melakukan analisis hasil kerja dalam
upaya menentukan rencana tindak lanjut (analisis mutu).
Penyebab utama Pengawas Sekolah dianggap
tidak mampu menggenjot aspek manajerial dan akademik yang berbasis kinerja dan
mutu adalah rekrutmen calon guru dan pengawas yang tidak didasarkan pada
kompetensi akademik dan sumber daya manusia (SDM) yang handal.
Akibatnya, peningkatan kinerja pengawas
sekolah melalui pembimbingan dan pendampingan, tidak bisa berhasil dengan
efektif karena tidak ditunjang oleh kompetensi akademik dan sumber daya manusia
yang memadai.
Dengan demikian perubahan jabatan
Fungsional Pengawas Sekolah menjadi Jabatan Fungsional Guru (pendamping satuan
pendidikan) berdasarkan Permenpan RB Nomor 21 Tahun 2024, tidak serta merta
mampu meningkatkan mutu pendidikan pada satuan Pendidikan.
Itu terjadi karena sumber daya manusia
(SDM) dan Kompetensi Paedagogik Guru, merupakan pendukung utama untuk
meningkatkan mutu pendidikan bukan
regulasi yang mengatur tupoksi Guru tersebut.
Oleh karena itu seharusnya rekrutmen calon
Guru dari alumni PT yang memiliki prestasi akademik (IPK) 3,0, ikut
dipertimbangkan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada satuan Pendidikan.
Semoga di tahun 2025 ini, kebijakan sektor
pendidikan membawa perubahan dignigikan dalamnuoaya mencerdaskan kehidupan
bangsa, pembangunan karakter bangsa (character building), dalam rangka
membangun peradaban bangsa.***