------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 04 Januari 2025
Temu Budaya Sulawesi Selatan (2):
Sulawesi Selatan Contoh
Nyata Adat dan Agama Berjalan Berdampingan Secara Harmonis
Laporan: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Pedoman Karya)
Sebuah studi yang dilakukan oleh Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2020 menemukan, 80% masyarakat Sulawesi Selatan
masih mempertahankan nilai-nilai adat dalam kehidupan sehari- hari. Namun,
tantangan globalisasi mengancam pelestarian ini, terutama di kalangan generasi
muda.
Oleh karena itu, kebijakan kebudayaan
harus diarahkan tidak hanya pada pelestarian tradisi, tetapi juga pada
penguatan nilai spiritual sebagai filter terhadap pengaruh budaya asing. Juga
harus dibangun rasa bangga dan percaya diri pada identitas budaya Bugis, yang
kemudian diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari.
“Dalam konteks ini, saya mengajak semua pihak, baik pemerintah, akademisi, maupun masyarakat, untuk bersinergi dalam menjaga dan memajukan budaya Bugis. Mari kita jadikan nilai-nilai budaya dan adat warisan leluhur sebagai landasan pendidikan karakter, terutama dalam mempersiapkan generasi emas 2045. Libatkan anak-anak muda kita dalam gerakan memasyarakatkan kebudayaan berbasis spiritualitas,” tutur Wakil Ketua DPD RI Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Tamsil Linrung.
Sebagaimana dikatakan oleh pakar budaya
Niels Mulder dalam bukunya Mysticism in Java, “Di Indonesia, budaya yang
mengakar pada spiritualitas menjadi perekat harmoni sosial, sekaligus penopang
ketahanan bangsa.”
Hal ini juga berlaku untuk masyarakat
Bugis. Ketika nilai spiritual menjadi pedoman utama, budaya bukan hanya akan
bertahan, tetapi juga berkembang sebagai kekuatan bangsa.
“Sulawesi Selatan adalah contoh nyata
bagaimana adat dan agama dapat berjalan berdampingan secara harmonis,” kata
Tamsil dalam pidatonya pada pembukaan Temu Budaya Akhir Tahun 2024 dengan tema
“Refleksi Budaya Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”, di
Gedung MULO Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan,
Jl Jenderal Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024.
Pidato Tamsil Linrung dibacakan oleh Pembina
Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulsel (LAPAKKSS), Dr Ajiep
Padindang.
Di tengah arus modernisasi, kata Tamsil, kita
harus menjaga agar nilai- nilai luhur ini tetap menjadi landasan dalam
membangun bangsa yang kuat dan berdaya saing global.
“Karena itu, forum FGD ini (Temu Budaya
Akhir Tahun 2024 Sulawesi Selatan, red) adalah langkah strategis untuk menyusun
langkah-langkah nyata dalam pemajuan kebudayaan Bugis, sekaligus memperkuat
pilar spiritualitas yang menjadi ciri khas kita sebagai bangsa Indonesia,” kata
Tamsil.
Anggota DPD RI mengajak masyarakat terus
menjaga warisan leluhur agar tetap menjadi sumber inspirasi dalam perjalanan
menuju Indonesia Emas 2045.
Wajah Kebudayaan Sulawesi Selatan 2024
Pembina Lembaga Pengembangan Kesenian dan
Kebudayaan Sulsel (LAPAKKSS) yang juga Pembina Yayasan Sulapa Eppae (YSE) dan Pembina
Yayasan Jaringan Advokasi Pembangunan dan Politik (JAPPI), Ajiep Padindang,
pada kesempatan tersebut menyajikan dua materi pengantar diskusi.
Materi pertama yaitu “Refleksi Budaya
Tahun 2024: Gerakan Pemajuan Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan”, dan materi
kedua, “Refleksi Budaya Tahun 2024: Perspektif Industri Kebudayaan Menuju
Revolusi Budaya Indonesia Tahun 2045.”
Ajiep mengatakan, Memotret Wajah
Kebudayaan Sulawesi Selatan Tahun 2024, mungkin tidak sempurna, bahkan belum
lengkap hasil pengambilan gambarnya, karena itu Dialog Budaya Akhir Tahun 2024
ini akan mempercantik atau memperburuk hasil pemotretan.
“Bisa saja saya menggunakan kamera yang
dapat mengkamuflase hasil – gambarnya, tapi kalau itu terjadi, maka langkah
awal tidak berbudaya sudah saya lakukan (aspek kejujuran sebagai salah satu
inti kebudayaan Sulsel),” tutur Ajiep.
Ajiep mengaku potret wajah kebudayaan Sulawesi
Selatan, bukan hasil pengambilan gambarnya, melainkan sebuah survei telah dan
sedang dijalankan oleh Tim Yayasan Sulapa Eppae’ (YSE) yang dipimpin oleh Jamal
Andi SSos MSi (Ketua YSE).
Objek survei mengacu pada aspek-aspek
pemajuan kebudayaan Indonesia yang diatur dalam PP dan Perpres. Pengambilan
sampel di Kabupaten Gowa, Maros, Kota Makassar, Pemerintah Provinsi (DPRD),
dengan berbagai segmen (Unsur Pemerintahan Daerah, Anggota DPRD, Tokoh
Masyarakat, Cendekiawan, Budayawan, Seniman, Penggerak Kebudayaan dan Kesenian
serta Masyarakat Umum).
“Jumlah responden sangat terbatas tapi
dianggap mewakili pendapat sesuai segmennya,” ungkap Ajiep.
Aspek Regulasi Kebudayaan, lanjutnya,
dipahami secara parsial. Penjabaran UU No. 5 Tahun 2017 beserta PP dan Perpres,
belum banyak dipahami oleh aparat pemerintah daerah, apalagi masyarakat umum.
Karena itu, kata Ajiep, pembentukan Perda Pemajuan
Kebudayaan, jangankan Kabupaten dan Kota, Provinsi Sulsel saja, belum juga
membahas dan mengesahkan walau Tim YSE dan LAPAKKSS berdasar hasil Kongres
Kebudayaan Sulsel, telah mengajukan sejak Juni 2024.
Dokumen Pemajuan Kebudayaan sudah ada pada
masing-masing Pemda, seperti diakui sudah masuk dalam RPJPD, RPJMD dan RENSTRA
maupun RENJA OPD. Catatan, bahwa Pemda Provinsi, Pemkot Makassar, Gowa dan
Maros, serta sejumlah daerah lain, sudah punya Perda tentang Kebudayaan.
Aspek Perlindungan, dipahami secara
beragam namun sudah ada kegiatan di semua daerah. Di luar Objek Survey secara
langsung, beberapa daerah yang aktif melakukan Perlindungan melalui Penetapan
Objek dan Pendaftaran Hak Cipta, seperti di Wajo, Bone, dan lain-lain.
Aspek Pengembangan melalui pengkajian, pendidikan
dan pelatihan terutama pada bidang kesenian, sudah berjalan. Tradisi masyarakat
dan adat istiadat dipahami sebagai pilar pemajuan kebudayaan, secara umum sudah
berjalan dengan berbagai kegiatan, misalnya melalui Pesta Rakyat, Ritual Siklus
Kehidupan Masyarakat Sulsel, Peringatan Hari-Hari Besar Kenegaraan, Keagamaan,
dan lain-lainnya.
Aspek Pemanfaatan, secara umum dipahami
bahwa Objek Pemajuan Kebudayaan termasuk Kesenian (Kesenian Tradisional),
merupakan sarana untuk dimanfaatkan dalam bentuk Pendidikan karakter, ekonomi
kreatif dan untuk objek kepariwisataan.
Aspek Pembinaan, sekalipun sudah berjalan
namun alokasi anggaran dari pemerintah daerah (APBD), masih sangat terbatas. Di
luar dari unsur pemerintahan daerah, sangat minim pemahaman terhadap adanya
anggaran untuk pembinaan kesenian dan kebudayaan.
“Bahkan pemanfaatan dana Indonesiana dari Kementerian Kebudayaan (Kemendikbudristek) melalui Dana Abadi LPDP, masih sangat kurang diketahui oleh lembaga kebudayaan dan kesenian di daerah,” papar Ajiep. (bersambung)
-----
Tulisan bagian 1:
Integrasi Budaya dan Agama Kekuatan Utama Masyarakat Sulawesi Selatan