Sulawesi Selatan Contoh Nyata Adat dan Agama Berjalan Berdampingan Secara Harmonis

TEMU BUDAYA. Suasana Temu Budaya Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi Budaya Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024. (Foto: Rachim Kallo)

 

------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 04 Januari 2025

 

Temu Budaya Sulawesi Selatan (2):

 

Sulawesi Selatan Contoh Nyata Adat dan Agama Berjalan Berdampingan Secara Harmonis

 

Laporan: Asnawin Aminuddin

(Wartawan Pedoman Karya)

 

Sebuah studi yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2020 menemukan, 80% masyarakat Sulawesi Selatan masih mempertahankan nilai-nilai adat dalam kehidupan sehari- hari. Namun, tantangan globalisasi mengancam pelestarian ini, terutama di kalangan generasi muda.

Oleh karena itu, kebijakan kebudayaan harus diarahkan tidak hanya pada pelestarian tradisi, tetapi juga pada penguatan nilai spiritual sebagai filter terhadap pengaruh budaya asing. Juga harus dibangun rasa bangga dan percaya diri pada identitas budaya Bugis, yang kemudian diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari.

“Dalam konteks ini, saya mengajak semua pihak, baik pemerintah, akademisi, maupun masyarakat, untuk bersinergi dalam menjaga dan memajukan budaya Bugis. Mari kita jadikan nilai-nilai budaya dan adat warisan leluhur sebagai landasan pendidikan karakter, terutama dalam mempersiapkan generasi emas 2045. Libatkan anak-anak muda kita dalam gerakan memasyarakatkan kebudayaan berbasis spiritualitas,” tutur Wakil Ketua DPD RI Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Tamsil Linrung.

Sebagaimana dikatakan oleh pakar budaya Niels Mulder dalam bukunya Mysticism in Java, “Di Indonesia, budaya yang mengakar pada spiritualitas menjadi perekat harmoni sosial, sekaligus penopang ketahanan bangsa.”

Hal ini juga berlaku untuk masyarakat Bugis. Ketika nilai spiritual menjadi pedoman utama, budaya bukan hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang sebagai kekuatan bangsa.

“Sulawesi Selatan adalah contoh nyata bagaimana adat dan agama dapat berjalan berdampingan secara harmonis,” kata Tamsil dalam pidatonya pada pembukaan Temu Budaya Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi Budaya Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024.

Pidato Tamsil Linrung dibacakan oleh Pembina Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulsel (LAPAKKSS), Dr Ajiep Padindang.

Di tengah arus modernisasi, kata Tamsil, kita harus menjaga agar nilai- nilai luhur ini tetap menjadi landasan dalam membangun bangsa yang kuat dan berdaya saing global.

“Karena itu, forum FGD ini (Temu Budaya Akhir Tahun 2024 Sulawesi Selatan, red) adalah langkah strategis untuk menyusun langkah-langkah nyata dalam pemajuan kebudayaan Bugis, sekaligus memperkuat pilar spiritualitas yang menjadi ciri khas kita sebagai bangsa Indonesia,” kata Tamsil.

Anggota DPD RI mengajak masyarakat terus menjaga warisan leluhur agar tetap menjadi sumber inspirasi dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045.

 

Wajah Kebudayaan Sulawesi Selatan 2024

 

Pembina Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulsel (LAPAKKSS) yang juga Pembina Yayasan Sulapa Eppae (YSE) dan Pembina Yayasan Jaringan Advokasi Pembangunan dan Politik (JAPPI), Ajiep Padindang, pada kesempatan tersebut menyajikan dua materi pengantar diskusi.

Materi pertama yaitu “Refleksi Budaya Tahun 2024: Gerakan Pemajuan Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan”, dan materi kedua, “Refleksi Budaya Tahun 2024: Perspektif Industri Kebudayaan Menuju Revolusi Budaya Indonesia Tahun 2045.”

Ajiep mengatakan, Memotret Wajah Kebudayaan Sulawesi Selatan Tahun 2024, mungkin tidak sempurna, bahkan belum lengkap hasil pengambilan gambarnya, karena itu Dialog Budaya Akhir Tahun 2024 ini akan mempercantik atau memperburuk hasil pemotretan.

“Bisa saja saya menggunakan kamera yang dapat mengkamuflase hasil – gambarnya, tapi kalau itu terjadi, maka langkah awal tidak berbudaya sudah saya lakukan (aspek kejujuran sebagai salah satu inti kebudayaan Sulsel),” tutur Ajiep.

Ajiep mengaku potret wajah kebudayaan Sulawesi Selatan, bukan hasil pengambilan gambarnya, melainkan sebuah survei telah dan sedang dijalankan oleh Tim Yayasan Sulapa Eppae’ (YSE) yang dipimpin oleh Jamal Andi SSos MSi (Ketua YSE).

Objek survei mengacu pada aspek-aspek pemajuan kebudayaan Indonesia yang diatur dalam PP dan Perpres. Pengambilan sampel di Kabupaten Gowa, Maros, Kota Makassar, Pemerintah Provinsi (DPRD), dengan berbagai segmen (Unsur Pemerintahan Daerah, Anggota DPRD, Tokoh Masyarakat, Cendekiawan, Budayawan, Seniman, Penggerak Kebudayaan dan Kesenian serta Masyarakat Umum).

“Jumlah responden sangat terbatas tapi dianggap mewakili pendapat sesuai segmennya,” ungkap Ajiep.

Aspek Regulasi Kebudayaan, lanjutnya, dipahami secara parsial. Penjabaran UU No. 5 Tahun 2017 beserta PP dan Perpres, belum banyak dipahami oleh aparat pemerintah daerah, apalagi masyarakat umum.

Karena itu, kata Ajiep, pembentukan Perda Pemajuan Kebudayaan, jangankan Kabupaten dan Kota, Provinsi Sulsel saja, belum juga membahas dan mengesahkan walau Tim YSE dan LAPAKKSS berdasar hasil Kongres Kebudayaan Sulsel, telah mengajukan sejak Juni 2024.

Dokumen Pemajuan Kebudayaan sudah ada pada masing-masing Pemda, seperti diakui sudah masuk dalam RPJPD, RPJMD dan RENSTRA maupun RENJA OPD. Catatan, bahwa Pemda Provinsi, Pemkot Makassar, Gowa dan Maros, serta sejumlah daerah lain, sudah punya Perda tentang Kebudayaan.

Aspek Perlindungan, dipahami secara beragam namun sudah ada kegiatan di semua daerah. Di luar Objek Survey secara langsung, beberapa daerah yang aktif melakukan Perlindungan melalui Penetapan Objek dan Pendaftaran Hak Cipta, seperti di Wajo, Bone, dan lain-lain.

Aspek Pengembangan melalui pengkajian, pendidikan dan pelatihan terutama pada bidang kesenian, sudah berjalan. Tradisi masyarakat dan adat istiadat dipahami sebagai pilar pemajuan kebudayaan, secara umum sudah berjalan dengan berbagai kegiatan, misalnya melalui Pesta Rakyat, Ritual Siklus Kehidupan Masyarakat Sulsel, Peringatan Hari-Hari Besar Kenegaraan, Keagamaan, dan lain-lainnya.

Aspek Pemanfaatan, secara umum dipahami bahwa Objek Pemajuan Kebudayaan termasuk Kesenian (Kesenian Tradisional), merupakan sarana untuk dimanfaatkan dalam bentuk Pendidikan karakter, ekonomi kreatif dan untuk objek kepariwisataan.

Aspek Pembinaan, sekalipun sudah berjalan namun alokasi anggaran dari pemerintah daerah (APBD), masih sangat terbatas. Di luar dari unsur pemerintahan daerah, sangat minim pemahaman terhadap adanya anggaran untuk pembinaan kesenian dan kebudayaan.

“Bahkan pemanfaatan dana Indonesiana dari Kementerian Kebudayaan (Kemendikbudristek) melalui Dana Abadi LPDP, masih sangat kurang diketahui oleh lembaga kebudayaan dan kesenian di daerah,” papar Ajiep. (bersambung)


-----

Tulisan bagian 1: 

Integrasi Budaya dan Agama Kekuatan Utama Masyarakat Sulawesi Selatan

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama