-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 05 Januari 2025
Temu Budaya Sulawesi Selatan (3):
Transformasi
Kebudayaan dari Zaman Purba Hingga Zaman Revolusi Teknologi Informasi
Laporan: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Pedoman Karya)
Zaman Purba (Zaman Batu), kehidupan
manusia diidentifikasi oleh para arkeolog di Kawasan Kars Maros – Pangkep,
khususnya pada Gua Leang-leang hingga Gua Uhallie di Bontocani, Bone bagian selatan.
Dengan bukti lukisan pada gua, disebutkan
bahwa manusia purba itu sudah cerdas. Bahkan ada benih-benih nilai religius
melalui simbol-simbol gambar binatang dan telapak tangan, apakah sebagai
persembahan, atau jika saja Kuburan Batu di Toraja dan sejumlah situs yang
disebut ‘rumah batu’ karena konon mereka tinggal di situ sebelum keluar tinggal
di pepohonan dan berikutnya sudah mampu membuat rumah, dan seterusnya.
“Hanya saja belum terindentifikasi apakah
mereka sudah menganut sistem keluarga dan kekeluargaan,” kata Pembina Lembaga
Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulsel (LAPAKKSS) yang juga Pembina
Yayasan Sulapa Eppae (YSE) dan Pembina Yayasan Jaringan Advokasi Pembangunan
dan Politik (JAPPI), Ajiep Padindang.
Hal itu ia sampaikan saat memberikan
pengantar diskusi pada Temu Budaya Akhir Tahun 2024 dengan tema “Refleksi
Budaya Sulawesi Selatan Akhir Tahun 2024 Menuju Tahun 2025”, di Gedung MULO
Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Jenderal
Sudirman, Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024.
Dialog Temu Budaya menampilkan beberapa
pembicara yaitu Prof Dr Munsi Lampe MA (Antropolog Unhas, membawakan materi: “Budaya
Religius, Budaya Maritim: Refleksi Budaya Sulawesi Selatan 2024”).
Dr Andi Ihsan SSn MPd (Dekan Seni dan
Desain UNM, dengan materi: “Merajut Tradisi, Menggapai Inovasi”), serta Dr Abu
Haif M. Bilalu MHum (Akademisi UIN, dengan materi: Agama dan Budaya Lokal
Perekat Keberagaman).
Dialog yang dipandu Idwar Anwar SS MHum
(penulis) juga menampilkan beberapa penanggap yakni Rusdin Tompo (Koordinator
Satupena Sulawesi Selatan), Yudhistira Sukatanya atau Eddy Thamrin (sastrawan,
sutradara teater), dan Dr Hasanuddin.
Dua ratusan peserta menghadiri dialog temu
budaya, termasuk beberapa tokoh budaya dan akademisi, seperti Prof Sukardi Weda
(Guru Besar UNM), Prof Amran Razak (Guru Besar Unhas), dan Prof Muhammad Azis (Guru
Besar UNM).
Zaman Berperadaban, Ajiep Padindang
menyebutnya “Zaman Sawerigading”, yang diperkirakan pada abad VI sampai abad
IX, sudah mulai ada tatanan kehidupan berperadaban.
Meskipun masih dianggap hanya mitos,
legenda, sejarah budaya dan sastra, tetapi yang jelas secara arkeologis ada
jejaknya selain yang dianggap legenda Perahu dan lain-lainnya, tetapi Fakta
Kuburan We Cudai di Desa Wecudai di Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo, dan
Makam We Tenri Dio di Selayar, sulit dibantah bahkan bukti jejak peradaban,
apalagi sudah berbentuk kuburan.
Pada Silsilah Raja-Raja Kerajaan Bugis -
Makassar dan Luwu, semua bermula dari To Manurung yang secara sosiologis dan
antropologis, dianggap semua turunan Sawerigading, utamanya anak-anak dari La
Galigo.
“Tradisi masyarakat mulai tertata hingga
lahir apa yang sering saya sebutkan Tradisi Siklus Kehidupan, mulai dari pernikahan–memang
belum ditemukan tata cara pernikahan sebelum fase keberagamaan muncul pada awal
Abad XVI–hamil, lahir, hingga upacara kematian dan sesudahnya. Tradisi memilih kayu
untuk perahu dan rumah, hingga peluncuran perahu hingga masuk rumah. Adat istiadat
terbentuk melalui Sistem Anang dan Wanua,” tutur Ajiep.
Zaman Peradaban Baru, katanya, memang
terjadi pada awal Abad XV dan Abad XVI saat Keberagamaan (Islam dan Kristen
bahkan mungkin juga Hindu yang jejaknya pada Tolotang), sampai dengan Tahun
1945.
Tatanan kehidupan sosial, ekonomi (sudah
mengenal mata uang sendiri pada abad XVII), Pendidikan (Makanre Guru hingga
sekolah formal di awal abad XVIII – Sekolah Agama dan Sekolah Belanda).
“Sistem politik dan pemerintahan sudah
tertata baik, sekalipun kemudian sangat dipengaruhi oleh bangsa-bangsa Eropa,
khususnya Belanda, dengan VOC yang berakhir dengan penjajahan pada awal Abad
XIX,” papar Ajiep.
VOC lahir tahun 1600-an dan bubar tahun
1800-an, tapi kemudian Belanda membentuk sistem pemerintahan, maka terjadilah penjajahan
dan untuk Sulawesi Selatan berawal pada tahun 1905, secara efektif tahun 1908
saat Kerajaan Bone berhasil dikuasai Belanda.
Tahun 1945 sampai dengan Tahun 1998, lanjut
Ajiep, adalah “Fase Transformasi Kebudayaan Lama” kepada “Kebudayaan Baru”
untuk melahirkan peradaban baru, yakni terjadinya secara struktural perubahan
dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya.
“Memang diakui bahwa peradaban baru di bidang
politik dan pemerintahan, sepanjang awal kemerdekaan hingga tumbangnya Orde
Baru, belum mampu membentuk suatu tatanan yang kuat sekalipun Ideologi
Pancasila ditanamkan secara baik sekitar 25 tahun, namun ternyata dapat diobrak-abrik
oleh pengaruh asing melalui Gerakan Reformasi,” ujar Ajiep.
Tahun 1998, katanya, reformasi terjadi
yang sesungguhnya awal revolusi sosial menuju revolusi budaya, sebab di bidang politik
dan pemerintahan memang terjadi perubahan paradigma, sistem dan mekanisme politik
yang justru kemudian melahirkan budaya pragmatisme dengan ciri kehidupan
konsumeris dan transaksional, hampir menghempaskan nilai-nilai religius yang
menjadi akar kearifan kebudayaan
Sulawesi Selatan.
“Perubahan yang fundamental hingga
membentuk peradaban baru dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, tak lain
dipicu oleh kemajuan teknologi informasi yang disebutkan pula sebagai Revolusi
Industri Teknologi,” tutur Ajiep.
Sebagai catatan, kata Ajiep, transformasi budaya terjadi dari waktu ke waktu mulai sejak manusia purba menjadi manusia berperadaban, yang dibentuk oleh faktor pendidikan, keterampilan, sehingga mengubah diri dan mempunyai kemampuan mempengaruhi perubahan bahkan menjadi penggerak perubahan. (bersambung)
.....
Tulisan bagian 1: Integrasi Budaya dan Agama Kekuatan Utama Masyarakat Sulawesi Selatan
Tulisan bagian 2: Sulawesi Selatan Contoh Nyata Adat dan Agama Berjalan Berdampingan Secara Harmonis