Uang Palsu

PAGI-PAGI saya membeli sebungkus rokok surya di warkop Angko Liong dengan selembar uang plastik merah. Bukan main kagetnya. “Hsyys, oe ini nakal. Ini uang palsu,” kata Angko Liong.

 

-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 04 Januari 2025

 

CERPEN

 

Uang Palsu

 

Karya: Muhammad Amir Jaya

 

SIANG bolong. Seorang teman lama datang bertamu ke rumah. Penampilannya tampak nice dengan baju warna biru muda.

Tubuhnya berisi dengan kepala sedikit botak. Sangat jauh berbeda saat masih kuliah dulu. Tubuhnya kerempeng dan brewok.

Namanya Ibrahim. Kelahiran Makassar,  tetapi Ayah dan Ibunya orang asli Tandos.

“Lama sekali saya ingin datang, tapi baru kali ini sempat,” katanya memulai pembicaraan.

“Ada kabar baik?”

“Iya. Makanya saya datang. Penting partner.”

“Apa itu?”

“Begini. Saya ini tim sukses si B, calon walikota. Tolong dibantu.”

“Siap.”

“Oke.”

Sesudah guyon-guyon kecil tentang masa lalu, teman itu minta pamit.

“Saya tidak bisa lama-lama. Nanti saya datang lagi,” ujarnya seperti gaya pejabat.

Ia tak lupa menitipkan sesuatu di atas meja. Amplop coklat.

“Apa ini?” Saya pura-pura bertanya. Saya tahu isinya pasti duit.

“Sedikit,” katanya.

Teman itu pun berlalu dengan mengendarai mobil avanza.

Saya membuka amplop coklat itu. Isinya lumayan. Sejumlah  uang plastik merah dan uang biru. Hitung-hitung ada enam belas lembar. Busyet. Eh, maksud saya, syukur. Ya, syukur.

Hari ini  memang saya lagi kere. Sangat kere. Tidak punya duit. Beli sebungkus rokok saja ngutang di warung Angko Liong.

“Apa itu?” Ttnya istri saya, yang tiba-tiba datang dari belakang.

“Amplop.”

“Darimana?”

“Teman.”

“Untuk siapa?”

“Ya, untuk saya.”

Tanpa banyak cincong lagi, istri saya menarik amplop itu dari tangan saya.

Bukan main girangnya. Matanya membelalak menyaksikan sejumlah lembaran-lembaran plastik merah dan biru. Ia memang tidak pernah menerima uang sebanyak itu dari tangan saya.

Maklum. Saya ini hanya penyair alias pengangguran. Sudah baca puisi, paling panitia acara menyodorkan amplop yang isinya selembar uang plastik. Atau paling tinggi tiga lembar uang plastik. Bahkan lebih banyak menerima ucapan terima kasih dan tepuk tangan setiap saya selesai membaca puisi di sebuah acara.

Istri saya bilang, berhenti jadi penyair. Hanya hebat di media sosial tapi kere.

“Apa itu. Memangnya tepuk tangan mau dimakan!” Istri saya meledek.

Saya diam saja. Memang itu benar. Penyair itu kere. Beli sebungkus rokok saja susah.

Datang ke warkop ditraktir terus. Parah. Hidup jadi penyair.

Istri saya bilang lagi, penyair itu manusia sontoloyo. Penampilannya hebat, isi kantongnya kosong. Puisinya setinggi langit, dompetnya nol.

Begitu istri saya memberi gelar. Atau apalah namanya. Barangkali termasuk ledekan paling kejam di dunia.

Di ledek begitu, saya diam saja. Untuk apa juga membantah. Mau melawan? Buktinya memang seperti itu. Sudahlah. Saya terima saja. Walaupun hati saya juga berontak, penyair itu disebut manusia sontoloyo. Sialan. Saya menggerutu sendiri.

               *

SORE ini istri saya mencatat di kertas selembar. Daftar barang-barang yang ingin dibeli di pasar. Di antaranya; beras satu karung, minyak goreng, indomie satu dos, telur satu rak, kepala ikan, lombok, tomat, garam hingga terasi.

Pokoknys empat belas lembar uang plastik dan dua lembar uang biru, itu akan dihabiskan untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari.

“Ini pembeli rokokmu.” Istri saya menyodorkan selembar uang biru.

Artinya, saya hanya dapat lima puluh ribu rupiah untuk membeli dua bungkus rokok surya kecil.

Sementara istri saya mengantongi satu juta empat ratus lima puluh ribu rupiah.

“Tambah uang bensin.” Saya merengek.

“Awwe, sudah cukup itu untuk rokok dan bensin,” pungkasnya.

“Istri pelit!” Saya berbisik pelan.

Istri saya cuek saja. Tak peduli.

Ia pun buru-buru ganti baju dan siap-siap ke pasar.

Saya duduk sendiri. Termangu.

                    *

SEPULUH hari kemudian, teman saya, Ibrahim, datang lagi ke rumah.

Tidak banyak basa basi. 

“Partner, ini ada uang dua puluh juta. Cari dua puluh suara. Kalau mau lebih, silahkan,” katanya sambil menyerahkan amplop coklat dengan beberapa foto dan poster calon walikota si B.

Saya menerima amplop coklat itu dengan dada berdebar-debar. Sebabnya, nilai uang itu cukup besar.

Selama hidup saya belum pernah memegang uang sebanyak itu.

“Partner, usahakan setiap warga diambil foto copy KTP-nya, sekalian nomor HP-nya,” kata teman saya itu.

“Siap,” jawab saya pelan. Masih dengan dada berdebar-debar.

Sebenarnya saya belum pernah memiliki pengalaman terkait dengan tugas ini. Mencari suara warga untuk memilih calon walikota tertentu. Tetapi saya berpikir, tugas ini bisa saya serahkan kepada sang istri.

“Oke. Saya pamit dulu. Minggu depan saya tunggu data warganya. Jangan lupa fotonya,” kata Ibrahim.

Ia lalu meninggalkan saya dengan dada masih berdebar-debar.

Saya membuka amplop coklat itu. Sejumlah uang plastik merah dan uang biru masih tersegel. Barangkali baru saja diambil dari bank. Nilainya dua puluh juta. Cukup besar. Busyet. Eh, syukur.

“Hari ini saya kaya. Saya kaya.” Hati saya terus berbisik walaupun juga sesekali cemas.

Bagaimana tidak, uang sebesar itu harus dipertanggungjawabkan. Mencari dua puluh suara.

Jika dihitung-hitung secara matematika, setiap satu kepala nilainya satu juta rupiah. Busyet. Mahal bangat.

Otak saya berputar. Satu kepala, cukup saya beri satu lembar uang plastik, pasti sudah gembira. Kalau dua puluh kepala berarti hanya dua juta rupiah. Sisanya ada delapan belas juta rupiah. Gila. Eh, busyet. Saya kaya mendadak.

Saya pun bernyanyi-nyanyi kecil sembari merancang agenda. Bakal menggelar acara panggung puisi, dan mengundang para penyair mapan dan penyair kere. Atau akan mengundang para sastrawan yang selalu mengaku hebat tapi hanya menerbitkan satu judul buku. Itu pun tidak ada ISBN-nya. Wuih!.

Pokoknya, akan buat acara dan mengundang teman-teman, minimal mentraktir makan kepala ikan atau ikan bakar, yang juga merupakan kesukaan saya.

“Apa itu?” Istri saya sejak tadi memerhatikan gelagat saya, yang katanya seperti orang yang baru menang lotre.

“Ini dapat lagi amplop dari teman.”

Istri saya langsung menarik amplop coklat itu dari tangan saya.

Dibukanya perlahan. Dan ia kembali kegirangan. Matanya membelalak menyaksikan sejumlah uang plastik dan uang biru yang masih tersegel. Masih baru.

“Uang ini darimana?”

“Teman.”

“Kenapa banyak sekali?”

“Iya, dikasi.”

“Untuk apa?”

“Ya, untuk cari suara warga. Saya diberi amanah untuk cari dua puluh suara. Pilih si B, calon walikota.”

“Ini orangnya?” Istri saya mengambil foto si B, yang ada di atas meja.

“Iya, itumi orangnya.”

“Oh, begitu. Gampang,” kata istri saya enteng.

Klop sudah. Istri sudah paham.

“Kita kasih saja lima puluh ribu rupiah setiap warga,” kata istri saya.

Rupanya, otaknya lebih encer. Kali-kalinya lebih bagus dari saya.

Pikiran saya, setiap warga dikasih seratus ribu rupiah. Pikiran istri saya justru cukup lima puluh ribu rupiah. Pintar juga.

Seperti beberapa hari lalu, istri saya kembali menulis daftar yang ingin dibeli. Tetapi kali ini bukan lagi daftar kebutuhan pokok. Karena memang belum habis apa yang dibelanjakan beberapa waktu lalu.

Istri saya kini merancang beli baju baru, bedak, alat-alat rumah tangga, tivi, kulkas hingga sepeda. Katanya, ingin olah raga dengan naik sepeda. Busyet.

                *

MALAM ini istri saya membagi-bagikan amplop kepada tiga puluh warga. Mulai dari keluarga dekat dan tetangga. Nilai amplopnya lima puluh ribu rupiah ditambah satu kilo minyak goreng.

Menurut istri saya, keluarga dan tetangga yang diberi amplop dan minyak goreng pada senang dan gembira.

“Terima kasih, Bu Penyair,” kata istri saya menirukan bahasa keluarga dan tetangga.

Istri saya memang dikenal dan biasa dipanggil Bu Penyair. Karena semua warga di kompleks ini, saya dikenal sebagai penyair yang hebat dan terkenal di media sosial. Jadi saya selalu dipanggil Pak Penyair dan istri saya dipanggil Bu Penyair. Busyet. Mereka tidak tahu bahwa penyair itu kere.

Kata istri saya, penyair itu bahasanya setinggi langit, dompetnya nol. Sontoloyo.

“Jadi sudah aman ini, ya,” kata saya.

“Aman. Sudah semua dibagikan.”

Istri saya meyakinkan. Semua sudah terdistribusi dengan baik: amplop dan minyak goreng.

Artinya, tiga minggu yang akan datang, saat pencoblosan calon walikota, si B, aman. Dua puluh suara. Bahkan tiga puluh suara.

Saya pun melaporkan kepada teman, Ibrahim, bahwa dua puluh bahkan tiga puluh suara aman di kompleks ini.

“Terima kasih, partner. Selamat berjuang,” kata teman di balik telepon.

“Iya. Sama-sama.”

                  *

PAGI-PAGI saya membeli sebungkus rokok surya di warkop Angko Liong dengan selembar uang plastik merah. Bukan main kagetnya.

“Hsyys, oe ini nakal. Ini uang palsu,” kata Angko Liong.

Saya terperanjat.

“Apa kau bilang, Angko?” tanya saya penasaran.

“Hayya, ini uang kamu palsu.”

“Apanya palsu. Yang benar saja, Angko.”

“Iya. Ini uangmu palsu. Hayya, oe nakal.”

Saya mengambil kembali uang plastik itu di tangan Angko Liong. Saya periksa. Saya raba baik-baik. Bentuknya sama dengan uang yang biasa saya terima.

“Ini bukan uang palsu, Angko. Asli,” kata saya dengan suara agak lantang.

“Hayya, ini palsu.”

Rupanya, Angko Liong, punya alat mesin untuk mendeteksi uang.

“Matemija.” Hati saya berbisik.

Saya pun pulang ke rumah dengan hati kesal bercampur cemas.

Dari jauh, sekitar seratus meter dari rumah, saya melihat tetangga pada berkerumun di depan rumah.

Mereka berteriak-teriak.

“Bu Penyair, menipu kami. Uangnya, uang palsu!” teriak mereka bergantian.

Matemija. Dada saya bergetar hebat.

Sedetik kemudian, saya lihat istri saya dibawa oleh dua orang berpakaian coklat.

Saya balik haluan. Dan bersembunyi di teras rumah Angko Liong. Dada saya bergetar hebat. Nyaris pingsan.

 

Makassar, 04 Januari 2025

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama