Pemangkasan Anggaran: Benarkah untuk Efisiensi?

 



PEDOMAN KARYA

Ahad, 23 Februari 2025


Pemangkasan Anggaran: Benarkah untuk Efisiensi?

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

Dosen Sosiologi Politik UIN Alauddin Makassar

 

 

Memasuki seratus hari pemerintahan Prabowo-Gibran mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Melalui Inpres ini, Presiden mengarahkan sejumlah pejabat negara, mulai dari para Menteri Kabinet Merah Putih hingga kepala daerah yang baru dilantik pada 20 Februari 2025 untuk melaksanakan langkah-langkah efisiensi anggaran di berbagai sektor. Poin utama dari arahan Inpres tersebut, yaitu penetapan target efisiensi anggaran sebesar Rp306,69 triliun, terdiri atas Rp 256,1 triliun dari anggaran kementerian/lembaga, Rp 50,59 triliun dari transfer ke daerah. Presiden menginstruksikan terkait dengan pembatasan belanja non-prioritas, kepada kepala daerah (Gubernur, bupati, dan wali kota) diminta untuk membatasi belanja seremonial, studi banding, dan perjalanan dinas, dengan pengurangan perjalanan dinas hingga 50%.

Gelombang efisiensi berlanjut pada gelombang kedua yang sangat menyentuh hampir seluruh program kementerian dan lembaga, bahkan tidak ada anggaran yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan program, berprogram tanpa anggaran, para dosen dan peneliti melakukan riset tanpa dukungan biaya, sifatnya mandiri. Aspek yang paling banyak dalam pos anggaran biasanya untuk keperluan perjalanan dinas, yang kadang-kadang tidak terlalu jelas output dan outcome dari kegiatan perjalanan dinas. Selain itu, efisiensi juga menyasar belanja honorarium serta kegiatan pendukung yang tidak memiliki output terukur juga dibatasi. Dalam instruksinya, Presiden mengarahkan seluruh kementerian/lembaga untuk fokus pada kinerja pelayanan publik.

Fennomena yang lain adalah pemotongan anggaran Badan Layanan Umum (BLU) bagi kampus-kampus yang berstatus PTN Berbadan Hukum dan PTN BLU, anggaran yang diperoleh dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun ikut dipotong dalam skema efisiensi. Hal yang unik dalam skema efisiensi ini adalah pemotongan anggaran pada kementerian dan lembaga mencapai 256,1 triliun, sementara transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp. 50,6 triliun, umumnya meliputi belanja operasional seperti belanja barang dan jasa maupun belanja modal. Kalau mencermati kecendrungan penghematan anggaran pemerintahan sebelumnya terbaca dengan baik seperti subsidi dan kompensasi energi dalam 4 tahun terakhir (2021—2024) rata-rata mencapai Rp. 319 triliun per tahun.

Dalam skema efisiensi itu, anggaran yang tidak termasuk belanja rutin yakni gaji pegawai dan bantuan sosial (Bansos) aman dari pemotongan, artinya ASN, PPPK dan pegawai pemerintahan lainnya tidak perlu khawatir, termasuk Bansos yang secara langsung menyentuh masyarakat juga sesuai dengan perencanaan awal, tanpa ada pemotongan, diluar dua hal itu dalam Inpres No. 1 Tahun 2025 terkena pemotongan yang signifikan. Kebijakan efisiensi ini cukup baik dalam beberapa hal diantaranya menjaga agar fiskal tetap dalam kondisi ideal dan pembiayaan pemerintah tidak lagi tergantung pada hutang luar negeri yang semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat pemborosan anggaran yang dilakukan oleh instansi pemerintah, sebagai kasus rutin setiap tahun, setiap kementerian, lembaga dan pemerintah daerah ketika memasuki bulan September sampai Desember ramai-ramai menyelenggarakan kegiatan di berbagai hotel, studi banding, perjalanan dinas dan lain sebagainya, tujuannya agar penyerapan anggaran bisa maksimal, meskipun apa yang dikerjakan itu tidak memberi dampak dan nilai manfaat secara langsung untuk kesejahteraan rakyat.

Program utama yang berurusan dengan masyarakat menjadi prioritas yang harus diperjuangkan pemerintah seperti pendidikan gratis yang mencakup segmen masyarakat yang lebih luas, termasuk kemungkinan memperbesar bantuan beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu agar mereka dapat mengakses pendidikan dengan baik. Kemudian soal kesehatan yang selalu menimbulkan kegaduhan dan kritik publik yang sudah lama harus menjadi kajian dan perhatian pemerintah, mengingat beban masyarakat yang berhubungan dengan BPJS sangat tinggi, masyarakat seperti dipaksa membayar iuran atau semacam “pajak” yang dipaksakan agar mereka memperoleh layanan kesehatan dasar, meskipun prosedur untuk memperoleh layanan dasar itu sangat birokratis. Hal ini, sejalan dengan orientasi umum pemerintahan Prabowo yang memberi perhatian pada lima sektor yakni sektor pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, penurunan prevalensi stunting, dan ketahanan pangan, termasuk kontribusi pemerintah daerah dalam mencapai delapan Quick Win Prabowo. 

Inpres dengan jelas menyebut agar transfer ke daerah (TKD) senilai 50,59 triliun merupakan jumlah yang signifikan, pemerinrah daerah yang mengandalkan TKD tentu akan mengalami persoalan tersendiri, tentu efisiensi pada hampir semua program menjadi pilihan agar pelayanan publik tetap maksimal, meski biaya rutin mengalami pemangkasan. Langkah pemerintah memotong sejumlah alokasi anggaran yang dianggap tidak produktif bagi publik merupakan langkah positif dengan langkah-langkah yang juga produktif, kebijakan ini bisa dianggap sebagai peringatan dan shock therapy bagi kementerian, lembaga dan pemerintah daerah agar efektif, efisien dan produktif dalam merumuskan rencana kegiatan.

Inpres menghasilkan polarisasi yang luas di masyarakat, bagi masyarakat sipil memandang bahwa kebijakan tersebut sebagai langkah strategis untuk pengalokasian anggaran secara tepat sasaran, memangkah biaya rutin, honorarium, pertemuan/rapat/koordinasi dan perjalanan dinas bisa dilakukan tanpa biaya yang besar. Kita masih ingat ketika awal pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengambil kebijakan yang sama dengan melakukan penghematan, aparat pemerintah dilarang melakukan pertemuan di hotel-hote, bisa memanfaatkan aula kantor dan ruang pertemuan yang tersedia di lingkungan untuk penghematan, namun toh akhirnya kebijakan tersebut hanya awalnya saja, setelah itu justru jauh lebih parah dari periode sebelumnya.

Pengalaman periode pertama pemerintahan Jokowi 2014-2019 dapat digunakan Prabowo untuk menyiapkan perangkat yang tepat agar efisiensi menjadi sumber baru kekuatan fiskal dan ekonomi nasional.

 

Bagaimana Faktanya?

Pada awal pembentukan kabinet Prabowo-Gibran muncul sejumlah kritik tajam berkaitan dengan postur kabinet yang sangat gemuk, jumlah menteri, wakil menteri, pejabat setingkat menteri, kepala badan, kepala lembaga dan staf khusus jumlahnya mencapai ratusan orang, menteri dan wakil menteri saja mencapai lebih dari seratus orang, ini merupakan jumlah yang sangat besar bila dibandingkan dengan kabinet periode-periode sebelumnya, misalnya satu kementerian memiliki dua pos wakil menteri. Kondisi tersebut menyebabkan kritik kepada Prabowo, mengingat masing-masing pejabat memiliki konsekuensi pembiayaan, baik biaya rutin, gaji, tunjangan, biaya program dan lain sebagainya akan sangat membebani fiskal negara. pada point ini, Prabowo sebenarnya tidak memiliki agenda yang tegas mengenai efisiensi anggaran.

Fakta gemuknya pejabat yang dilantik presiden memicu banyak hal termasuk inefisiensi anggaran, potensi pemborosan dan bahkan kebocoran anggaran, ini meminjam bahasan presiden yang selalu menyebut istilah inefisiensi dan kebocoran. Satu fenomena menarik pada awal kabinet dilantik, salah seorang menteri setelah dilantik, melakukan rapat internal kementeriannya dan mengidentifikasi sejumlah hal, sang menteri berkesimpulan bahwa anggaran kementeriannya sangat keci, maka ia mengusulkan agar anggaran pada kementeriannya dinaikkan, semula anggarannya sekitar 64 miliar yang tercantum dalam postur APBN diusulkan oleh sang menteri menjadi 20 triliun, usulan kenaikan anggaran yang sangat luarbiasa. Semua menteri yang baru memiliki agenda dan program yang memerlukan dukungan pembiayaan, konsekuensi dari kabinet yang gemuk adalah program yang banyak dan dukungan anggaran yang besar.

Kebijakan lain terkait penggunaan anggara negara adalah pengangkatan tenaga ahli, staf khusus dan perangkat pendukung lembaga-lembaga negara yang jumlahnya sangat fantastis, pada 22 Oktober 2024 Presiden Prabowo mengangkat sejumlah penasehat khusus dan utusan khusus presiden, selain pos yang telah tersedia pada kantor kepresidenan, juga ditambah dengan pos-pos baru yang jumlahnya jauh lebih besar. Kalau dilakukan pemetaan yang lebih teliti, kita akan menemukan pemborosan anggaran negara yang luarbiasa, hal ini bisa dilihat dalam postur tenaga ahli, staf ahli, staf khusus dan lain sebagainya yang jumlahnya ratusan orang atau bahkan ribuan orang, misalnya masing-masing anggota DPR RI yang jumlahnya 580 orang memiliki lima orang tenaga ahli ditambah dua orang staf, apabila dijumlahkan keseluruhannya mencapai sekitar 4000-an orang, suatu jumlah yang sangat besar yang dibebankan kepada anggaran negara. Pertanyaan sederhana, untuk kebutuhan dan keperluan apa maisng-masing anggota DPR harus memiliki 5 orang Tenaga Ahli dan 2 orang staf?

Akhirnya, kita harus menyebut bahwa efisiensi atau pemangkasan anggaran masing-masing kementerian, lembaga dan TKD tetap memiliki dampak positif untuk menyehatkan fiskal negara, mengurangi inefisiensi dan kebocoran sebagaimana yang sering disebutkan Presiden Prabowo. Oleh sebab itu, kebijakan penghematan tidak mengurangi efektivitas anggaran bagi pertumbuhan ekonomi. Aspek lain yang harus menjadi perhatian adalah realokasinya harus tepat sasaran yakni diarahkan pada program yang memberikan multiplier effect lebih tinggi bagi perekonomian nasional.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama