Pengembangan Isi: Problem Intelektual dan Finansial

Problem yang dihadapi intelektual kita terletak pada sikap meniru dan malas memikirkan bagaimana ilmu sosial dikembangkan. Dalam bahasa yang lain, ilmuwan kita terpesona terhadap perkembangan ilmu sosial Barat. Akibatnya terjadi proses meniru yang melambangkan dominasi itu.

 

-------

PEDOMAN KARYA

Senin, 17 Februari 2025

 

Membincang Kembali Ilmu Sosial Indonesia (2-habis):

 

Pengembangan Isi: Problem Intelektual dan Finansial

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

(Dosen Sosiologi Politik UIN Makassar)

 

Rujukan ilmu sosial modern yang paling otoritatif adalah hasil studi dan karya sarjana Barat. Hingga kini tradisi itu masih hidup. Tak bisa dipungkiri bahwa karya mereka menunjukkan kualifikasi yang sangat mendalam mengenai suatu kondisi masyarakat tertentu yang menjadi objek kajiannya.

Untuk menghasilkan karya monumental, mereka secara sungguh-sungguh melakukan riset demi memperoleh informasi tentang suatu keadaan dan masyarakatnya.

Misalnya ketika Pierre Bourdieau melakukan studi pada masyarakat Aljazair, ia perlu waktu yang cukup lama untuk bisa menghasilkan karyanya yang kemudian terkenal dengan konsep Habitus yang secara spesifik menjelaskan kondisi masyarakat itu. Karya tersebut kemudian dapat dipergunakan secara luas untuk memahami masyarakat pada tempat yang lain.

Demikian halnya sarjana yang jauh sebelum itu, yakni Clifford Geertz, melakukan penelitian pada masyarakat Mojokuto di Kediri yang menghasilkan magnun opusnya Geertz yang terkenal dengan The Relgion of Java, yang membagi masyarakat Jawa dalam tiga kategori yakni Santri, Priyayi, dan Abangan. Hasil studi ini menimbulkan perdebatan di kalangan sarjana sosial Indonesia.

Ketekunan dan kesungguhan menjadi point utama yang dimiliki sarjana Barat dalam melakukan penelitian yang menghasilkan karya monumental. Belakangan para Indonesianis melakukan kajian yang sama mengenai kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia, khususnya pasca Orde Baru.

Studi yang paling banyak mengenai umat Islam dan munculnya kelompok ekstrimis yang mempromosikan aksi kekerasan, kemudian, hal menarik yang diteliti sarjana Barat mengenai perkembangan Indonesia adalah soal Pemilihan Umum (Pemilu) yang berlangsung sangat demokratis dan bisa disebut sebagai demokrasi liberal yang luar biasa maju.

Kandidat terpilih ditentukan oleh dukungan pemilih yang signifikan pada daerah pemilihannya, sehingga Pemilu Indonesia melampaui segalanya dalam soal perebutan pengaruh.

Hingga muncul ungkapan bahwa politisi Indonesia sudah kehilangan basis moralitas dan etikanya ketika mereka maju dalam gelanggang politik memperebutkan dukungan suara pemilih. Etika dan moralitas tidak lagi menjadi pertimbangan dalam aktivitasnya mempengaruhi warga negara dalam kegiatan Pemilu.

Problem ilmu sosial Indonesia pada produksi ilmu pengetahuan itu sendiri yang menjadi rujukan pembelajaran di kampus-kampus yang menyelenggarakan pendidikan sosial humaniora.

Hal ini kontras dengan upaya sarjana Barat dalam memproduksi pengetahuan yang otoritatif sebagai bahan rujukan dalam pembelajaran ilmu sosial humaniora. Teori-teori sosial Barat berkembang dengan luarbiasa, bahkan upaya menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh sejumlah penerbit terkemuka agar mempermudah akses bacaan mahasiswa dan intelektual Indonesia terhadap teori-teori sosial Barat.

Perkembangan tersebut menurut Farid Alatas sebagai akibat langsung dari perkembangan teknologi informasi serta dorongan kuat untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial di Barat, akibat perkembangan itu dipandang sebagai fenomena Barat.

Ilmu-ilmu sosial yang berkembang dan dipelajari di lembaga pendidikan (kampus) di Indonesia, termasuk juga negara-negara dunia ketiga merupakan ilmu sosial yang dihasilkan oleh sarjana Barat dari hasil pembacaan terhadap masyarakat mereka.

Dominasi Barat dalam disiplin ilmu sosial humaniora suatu keniscayaan, bahkan pada dekade 1980-an, Syed Hussein Alatas menyebut dengan captive mind yang didefinisikan sebagai pikiran meniru yang tak kritis, terdominasi sumber-sumber eksternal, yang menyimpang dari perspektif independen.

Alatas menyebut sumber eksternal datang dari ilmu sosial dan humaniora Barat yang tiruan tak kritisnya memengaruhi semua unsur aktivitas ilmiah, seperti pemilihan masalah, konseptualisasi, analisis, generalisasi, deskpripsi, eksplanasi dan interpretasi.

Secara substansi, pengetahuan yang dihasilkan sarjana Barat merupakan hasil pengkajian terhadap dinamika sosial politik masyarakatnya.

Menurut Farid Alatas, produk ilmu pengetahuan yang dihasilkan sarjana Barat merupakan produk masyarakat Barat. Produk itu yang serta merta diikuti oleh sarjana kita, Farid menyebut sebagai sesuatu yang mendorong itu terjadi, karena adanya masalah internal intelektual-akademisi negara berkembang.

Lebih dalam lagi ia menyebut bahwa sarjana kita telah terpuaskan dengan meniru apa yang berkembang di Barat, seperti menerapkan teknik yang dipelajari dari buku-buku yang ditulis oleh sarjana Amerika dan Eropa dalam menjelaskan dan persoalan empiris atas masalah yang kebanyakan dirumuskan oleh ilmuwan Barat.

Problem yang dihadapi intelektual kita terletak pada sikap meniru dan malas memikirkan bagaimana ilmu sosial dikembangkan. Dalam bahasa yang lain, ilmuwan kita terpesona terhadap perkembangan ilmu sosial Barat. Akibatnya terjadi proses meniru yang melambangkan dominasi itu.

Dalam pemilihan isu, masalah dan objek kajian selalu memotret yang berkembang dalam kajian ilmu sosial Barat. Sikap saling mengintip, meniru dan berbagi pengetahuan pada prinsipnya sesuatu yang wajar dilakukan untuk memperkuat ilmu sosial secara umum, namun apabila sikap itu tidak disertai dengan sikap kritis dan selektif, tentu akan membawa dampak bagi mandegnya perkembangan ilmu sosial kita.

Studi yang dilakukan oleh Selo Soemardjan mengenai perubahan sosial di Yogyakarta merupakan studi yang tidak saja penting bagi bangunan tradisi ilmu sosial Indonesia, tetapi diperlukan adanya lapisan intelektual kita yang berkontribusi langsung dalam kajian yang sama.

 

Penghargaan Rendah

 

Lebih dari satu abad perkembangan ilmu sosial Indonesia, jarang mendengar ahli yang otoritatif mengenai kekhasan studi ilmu sosial, kecuali beberapa nama yang telah disebutkan sebelumnya. Sementara referensi studi sosial politik dan ekonomi yang paling menggemparkan justru dihasilkan oleh sarjana asing yang meniliti tentang masyarakat Indonesia.

Budaya intelektual yang kritis dan penghargaan kepada sesama intelektual yang masih rendah menjadi salah satu sebab mengapa ilmu sosial tidak banyak mengalami kemajuan. Penghargaan terhadap ide dan gagasan di antara ilmuwan sosial sendiri masih rendah, bahkan tradisi intelektual kita justru membanggakan hasil pemikiran Barat.

Itu menjadi satu tren tersendiri di kalangan intelektual kita. Dalam diskusi kelas misalnya, para pelajar dan mahasiswa serta dosen selalu menyebut dengan kalimat “menurut ini dan itu”, yang dimaksud adalah sarjana Barat yang dikutip menjadi suatu kebanggaan tersendiri.

Pangkal soal yang kita hadapi adalah “kemalasan” yang akut. Para akademisi yang meminati studi sosial politik, ekonomi dan hukum jumlahnya sangat banyak, tetapi di antara yang banyak itu, berapa persen yang memiliki kesungguhan dalam mengembangkan ilmu dengan serius. Tentu jumlahnya tidak mencapai setengah dari total akademisi yang mengajar di berbagai kampus hingga pelosok di negeri ini.

Kalaupun ada yang melakukan riset, publikasi hasil riset, menulis makalah seminar, menghasilkan artikel jurnal, memproduksi buku dan lain sebagainya, merupakan keniscayaan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk kepentingan laporan kinerja, untuk kenaikan jabatan akademik atau lainnya, sementara yang secara serius melakukan pekerjaan itu tanpa memperhitungkan konsekuensi lain selain pengembangan ilmu dari jumlah tersebut, tidak sebanyak institusi yang menyelenggarakan pendidikan pada bidang sosial humaniora.

Memang harus diakui bahwa penghargaan terhadap Barat tidak terlepas dari perasaan inferior dan juga akibat kondisi ekonomi bangsa yang masih bergantung pada Barat. Sebagian besar mereka yang menempuh pendidikan di Barat pada umumnya dibiayai oleh negara-negara Barat. Konsekuensinya, mereka memiliki tingkat independensi yang lemah.

Sejumlah riset (penelitian) yang dilakukan oleh para akademisi dan intelektual kita dibiayai oleh negara-negara Barat, dana untuk riset yang disediakan oleh negara-negara maju jauh lebih memadai dari dana yang disediakan negara sendiri.

Prestise yang dilekatkan pada publikasi di jurnal Amerika dan Eropa misalnya jauh lebih tinggi, juga kualitas universitas Barat dan ketekunan para intelektual Barat untuk melahirkan karya-karya yang bermutu menjadi semakin kuat tingkat ketergantungan kita pada ilmu sosial Barat.

Dukungan riset perguruan tinggi untuk para dosennya sangat terbatas, sebagian ada yang berkisar pada angka-angka minimal dan tidak memadai untuk menghasilkan karya akademik yang bermutu. Kesannya hanya menggugurkan kewajiban riset semata, anggaran minim, tuntutan administrasi sangat tinggi, peneliti disibukkan oleh pelaporan penggunaan dana riset yang ribet daripada sungguh-sungguh menghasilkan riset berkualitas.

Bisa dilakukan pengecekan secara teliti, berapa alokasi dana riset yang diberikan masing-masing kampus kepada para dosennya. Tentu akan muncul angka-angka yang cukup menggelitik. Sementara Barat siap menggelontorkan dana riset yang besar untuk waktu yang cukup agar menghasilkan karya akademik yang bermutu.

Ilmu sosial Indonesia mengikuti pola pengembangan ilmu sosial Barat, bahkan menurut Alatas, antropologi Indonesia telah terhegemoni oleh diskursus kolonial, khususnya antropologi Amerika.

Sejumlah karya antropolog tentang masyarakat Indonesia justru dihasilkan mereka. Untuk menyebut sarjana Barat yang paling produktif menulis tentang Indonesia dan apa yang mereka tulis menjadi sumber referensi penting demi memahami masyarakat Indonesia.

Para antropolog yang kontribusi intelektualnya cukup penting, di antaranya Clifford Geertz, Mitsuo Nakamura, dan Robert W. Hefner, untuk menyebut beberapa nama di antara peneliti asing yang menulis tentang Indonesia.

Hanya saja, apa yang telah dirumuskan oleh para antropolog asing tersebut tidak secara serius dikembangkan oleh para antropolog Indonesia. Pada bidang ini, kita memiliki sejumlah sarjana antropolog yang menonjol, karya-karya intelektual mereka cukup penting digunakan karya antropologi Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan atau sejarawan seperti Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo.

Demikian pula bidang-bidang yang lain, tingkat ketergantungan pada Barat masih tinggi. Selain perasaan inferior, masalah lain adalah ketekunan dalam riset, persoalan ekonomi bangsa yang belum berpihak pada produk riset yang berkualitas dan tradisi akademik yang terbatas.***

 

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama