-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 21 Februari 2025
Reshuffle Pertama
Kabinet Prabowo
Oleh: Syarifuddin Jurdi
(Dosen Sosiologi Politik UIN Alauddin
Makassar)
Kabar mengenai reshuffle kabinet telah berhembus sejak awal Februari 2025, setelah 100 hari pasca Presiden Prabowo Subiyanto dilantik. Dalam masa 100 hari, sejumlah menteri memperoleh respons negatif dari publik, bahkan ada anggota kabinet yang nilainya jauh di bawah standar berdasarkan penilaian sebagian pengamat dan ahli.
Beberapa kasus
menyertai pemerintahan Prabowo, mulai dari isu Prabowo berada dalam
bayang-bayang Jokowi, demo Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Kementerian
Diktisaintek, soal pagar laut yang sangat mengerikan, bukan hanya yang terjadi
di wilayah Jakarta dan Tangerang, tetapi menyebar di hampir wilayah di
Indonesia lau telah dikapling-kapling oleh oligarki, soal efisiensi anggaran
yang berimbad pada banyak urusan pemerintahan “terhenti”, hingga muncul tagar
#kaburajadulu#.
Serangkaian peristiwa yang menyertai
perjalan 100 hari pemerintahan Prabowo menjadi ujian yang memerlukan kerja
keras dan cerdas untuk merespons persoalan-persoalan aktual yang dihadapi
bangsa, penataan kelembagaan kementerian, mutasi pejabat dan sejumlah langkah
strategis dilakukan untuk menyukseskan program pemerintahan Prabowo. Sebagian
kementerian yang merupakan hasil pemekaran dan badan atau Lembaga yang naik
statusnya menjadi kementerian memerlukan waktu untuk menata kelembagaannya.
Catatan menarik yang akan menjadi sorotan tulisan ini adalah soal yang melanda Kemendiktisaintek, satu kementerian yang dipecah dari Kemendikbud dan Ristek pada pemerintahan sebelumnya, menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kemendiktisaintek dan Kementerian Kebudayaan.
Konsekuensi dari pemecahan ini adalah penataan
kelembagaan dan sumber daya ASN untuk dilakukan reposisi berdasarkan struktur
kelembagaan baru yang dihasilkan dari perubahan itu. Sang menteri Diktisaintek
melakukan mutasi besar-besaran sebagai akibat dari pecahnya kementerian menjadi
tiga yakni Kemendikdasmen, Kemendiktisaintek dan Kementerian Kebudayaan,
meskipun sang ASN secara kelembagaan berada dalam “rumah” Kemendiktisaintek.
Kemendiktisaintek yang dipimpin oleh seorang akademisi dan mantan birokrat era awal reformasi Prof. Dr. Satryo Soemantri Brojonegoro yang pernah menjabat sebagai Dirjen Dikti pada era kepemimpinan Mendiknas Prof. Dr. Yahya Muhaimin hingga memasuki masa purna tugas.
Satryo merupakan menteri senior pada kabinet Prabowo dan memiliki
pengalaman panjang dalam mengelola dan mengurus pendidikan tinggi, tentu
pilihan Prabowo terhadapnya oleh sebagian pihak menyebutnya sebagai pilihan
tepat bila dibandingkan dengan menteri pendidikan sebelumnya, Satryo memiliki
visi memajukan pendidikan tinggi nasional.
Dalam kurung waktu yang sangat singkat, sang menteri melakukan langkah-langkah strategis dengan menata kelembagaan dan penempatan ASN yang menurutnya sesuai dengan kebutuhan organisasi. Namun sayang sekali, niat sang menteri untuk melakukan hal-hal itu, justru menimbulkan gejolak di internal kementerian, karena sikap dan kebijakan sang menteri dianggap otoriter dan arogan.
Sejumlah berita media menyebut gejolak yang muncul dalam kementerian Diktisaintek sebagai reaksi staf Kementerian itu terhadap sikap, kebijakan dan tindakan sang menteri yang justru tidak mencerminkan sikap sebagai seorang pejabat publik yang dibiayai dari pajak rakyat.
Satryo memandang bahwa mutasi ASN sebagai langkah awal untuk
mempercepat proses pembangunan di bidang pendidikan tinggi dan saintek. Hanya
saja, langkah itu menghadapi resistensi yang hebat dengan tumpahnya seluruh ASN
Kemendiktisaintek memprotes sang bos.
Puncak dari gejolak di Kemendiktisaintek adalah melakukan aksi demonstrasi besar-besaran. Sebanyak 235 ASN Kemendiktisaintek menggelar aksi di depan kantornya pada hari Senin 20 Januari 2025. Demo dipicu oleh pemberhentian mendadak seorang pegawai yang dilakukan secara verbal, sejumlah spanduk yang viral di media sosial dan menyebar dengan begitu cepat di berbagai platform media sosial terkait aksi tersebut.
Sejumlah
spanduk terlihat jelas protes itu dilakukan bawahan terhadap atasannya, sesuatu
yang jarang ditemukan dalam tradisi birokrasi Indonesia, bahkan tulisan dalam
demonstrasi itu sangat keras menyentuh pribadi sang menteri, misalnya spanduk
bertuliskan “Institusi negara bukan perusahaan pribadi Satryo dan istri”,
kemudian pada spanduk yang lain bertuliskan “Kami ASN dibayar oleh negara,
bekerja untuk negara, bukan babu keluarga”, tentu ini merupakan pesan yang
menohok untuk siapapun yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan
pribadi, keluarga dan golongan.
Berurusan dengan soal penyalahgunaan kekuasaan ini, dalam salah satu sidang pengadilan yang mendakwah seorang mantan menteri yang melakukan tindak pidana korupsi dan kolusi, terungkap sejumlah fakta menarik selama proses persidangan, diantaranya, sang menteri menurut keterangan sejumlah mantan bawahannya yang menjadi saksi dalam persidangan, menyebut bahwa atasannya itu menggunakan anggaran kementerian untuk kepentingan keluarga, kroni dan kelompoknya, bahkan para staf harus patungan untuk menyukseskan apa yang dikehendaki sang menteri.
Keberanian bawahan itu muncul
justru ketika persoalan masuk di pengadilan, tidak ada keberanian memprotes
ketika tindakan itu dilakukan sang menteri waktu menjabat, ini merupakan
fenomena yang kontras dengan peristiwa pada kemendiktisaintek yang berana
secara terbuka dan vulgar mengkritisi atasannya.
*******
Gejolak yang terjadi pada
Kemendiktisaintek itu memiliki korelasi dengan reshuffle kabinet yang dilakukan
Presiden Prabowo pada sore hari 19 Februari 2025. Analisis yang relevan untuk
melihat mengapa Prabowo hanya mengganti menteri Diktisaintek dan tidak
melakukan reshuffle pada kementerian yang lain, padahal sebagian besar
kementerian memperoleh respons negatif dari publik, termasuk fenomena pagar
laut yang secara langsung ataupun tidak langsung berhubungan dengan sejumlah
anggota kabinet, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian
Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang mengeluarkan dokumen kepemilikan laut.
Presiden masih menolerir untuk “sementara”
beberapa kasus besar yang dihadapi sejumlah menterinya, namun sulit “memaafkan”
sikap dan dan tindakan Satryo sang Mendiktisaintek yang dilawan oleh
bawahannya, suara menggema waktu bawahannya demo yang viral di media sosial
menyebtu sang menteri yang arogan, otoriter dan sewenang-wenang memecat dan
memberhentikan stafnya. Korelasi aksi ASN itu dengan penggantian Satryo sangat
relevan, sementara kementerian lain yang sebenarnya punya masalah yang serius
tidak diganti, karena gejolak dan perlawanan dari dalam tidak ada.
Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa
langkah Prabowo Prabowo melantik Mendiktisaintek yang baru pada sore hari 19
Februari 2025 tidaklah mengejutkan, mengingat pra-kondisi yang terjadi dalam
kementerian itu, pergantian itu merupakan langkah yang sudah memperoleh
dukungan sejumlah kalangan agar menteri yang bermasalah dan memiliki beban
moral dilakukan pergantian. Sang menteri yang diganti bukan tokoh yang baru
belajar tentang pendidikan tinggi, Satryo pernah menjabat sebagai Dirjen Dikti
pada era awal reformasi pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno
Putri.
Lebih dua puluh tahun yang lalu, Satryo merancang perkembangan pendidikan tinggi Indonesia dan meletakkan dasarnya untuk transformasi kampus-kampus Indonesia. Posisi Mendiktisaintek itu sebenarnya merupakan pos yang pernah dipimpinnya lebih 20 tahun yang lalu, meski tidak persis sama, namun fokusnya pada perguruan tinggi dan dinamikanya.
Satryo menjabat sekitar 20 tahun yang lalu, tentu iklim, suasana dan dinamika
sosial politik yang berubah, sang menteri seharusnya menyesuaikan langkahnya
dengan iklim yang berubah, terutama penggunaan media sosial yang massif, setiap
yang viral tentu memperoleh respons cepat dari pemangku kebijakan, slogan no
viral, no justice menjadi satu model baru dalam gerakan sosial di era industri
informasi dewasa ini. Gejolak yang muncul di kementerian Diktisaintek sebagai
bentuk kepemimpinan yang tidak adaptif dengan kondisi makro bangsa yang sedang
berubah, ketidakpekaan sang bos bisa memicu gejolak yang luas.
Dalam konteks itulah kita memahami
kebijakan presiden melakukan pergantian Menteri Diktisaintek sebagai respons
terhadap dinamika sosial masyarakat, terutama dinamika di Kemendiktisaintek.
Pelantikan Prof. Dr. Brian Yuliarto sebagai Menteri Diktisaintek menggantikan
Prof. Satryo yang keduanya berasal dari kampus yang sama yakni Insitute
Teknologi Bandung (ITB) Bandung menjadi langkah awal Prabowo mendorong para
menterinya bekerja serius untuk masyarakat, karena masyarakat memiliki
ekspektasi yang tinggi terhadap Prabowo untuk memperbaiki kondisi bangsa.
Prof. Brian merupakan ilmuwan Indonesia yang cukup produktif dan aktif dalam dunia akademik, ia merupakan ahli pada bidang nanomaterial untuk sensor, energi dan solar PV, bahkan artikelnya pada jurnal bereputasi mencapai 343 karya ilmiah di Scopus, suatu punlikasi yang dahsyat untuk ilmuwan Indonesia, Brian juga merupakan ilmuwan yang memperoleh Habibie Prize 2024 untuk bidang Rekayasa, suatu penghargaan yang diterima oleh ilmuwan yang telah berkontribusi terbaik pada bidangnya, pada 2023, Brian menjadi Top 1 researcher nanoscience and nanotechnology Indonesia, AD Scientific Index Stanford University.
Oleh sebab itu, pergantian menteri
Diktisaintek memberi harapan bahwa presiden Prabowo mengambil langkah dini
untuk membenahi pemerintahannya agar bergerak dan berlaju cepat dalam merespons
perubahan-perubahan besar di lingkungan perguruan tinggi dengan tetap memilih
menteri yang berasal dari kampus.
Wallahu a’lam bi shawab