-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 10 Februari 2025
Risalah Islam
Berkemajuan dan Visi Kebangsaan
Oleh: Syarifuddin Jurdi
(Dosen UIN Alauddin Makassar)
Umat Islam ditegaskan dalam al-Qur’an
sebagai masyarakat pilihan yang menjadi saksi sejarah umat manusia, saksi yang
adil yang dapat membedakan mana yang hak dan batil. Konsekuensi dari posisi
sebagai umat pilihan adalah mendorong perubahan pada pencapaian kehidupan yang
menyempurnakan peradaban maju.
Inilah yang menjadi spirit Islam
berkemajuan, yakni umat Islam yang menjunjung tinggi kemajemukan dan
kesetaraan, menyebarkan Islam yang rahmatan lil’alamin.
Muhammadiyah mengemban visi untuk
memuliakan manusia. Ini menjadi tema sentral pergerakan sejak awal
kelahirannya. Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah telah menempatkan
isu kemanusiaan sebagai isu sentral dalam struktur gerakannya. Itu yang
membentuk tradisi dan kebiasaannya dalam tempo lebih dari satu abad
eksistensinya.
Meminjam Pierre Bourdieu bahwa kebiasaan
Muhammadiyah sebagai kolektiva itu membentuk cara berpikir, merasa, melihat,
memahami, mendekati dan bertindak dalam merespons isu kebangsaan.
Kebiasaan merespons, merasakan dan
bertindak menjadi watak kolektif-kelembagaan Muhammadiyah yang mengantarnya
sampai pada pengabdian panjang bagi dunia kemanusiaan dan kebangsaan Indonesia.
Kebiasaan Muhammadiyah mengabdi pada
kemanusiaan universal itulah yang memberi arah bagi ekspansi gerakan, tidak
hanya mengabdi di Indonesia sebagai tempat kelahirannya, kini telah berdiri
sejumlah cabang pada beberapa negara, termasuk berdirinya amal usaha berupa
sekolah dan perguruan tinggi di luar negeri.
Pilihan sebagai gerakan amal, gerakan
sosial kemanusiaan dan kebangsaan, menjadi kekuatan utama Muhammadiyah dan
tidak berpolitik praktis, atau tidak pernah mengubah statusnya menjadi gerakan
politik (partai politik).
Telah ditegaskan KHA Dahlan sejak awal,
pada suatu pertemuan pengurus besar Muhammadiyah sekitar tahun 1918, terjadi
perdebatan yang alot antara pendukung Muhammadiyah sebagai kekuatan sosial
kemasyarakat dengan kubu yang ngotot mengubah Muhammadiyah menjadi partai
politik.
Dalam mengembangkan Muhammadiyah, KHA Dahlan
menghadapi dua keharusan yang sulit untuk dihindari yakni menegakkan dan
mentransformasi Islam yang berkemajuan, serta menghadapi institusi-institusi
kolonial (baik institusi pemerintahnya maupun misi-zending).
Untuk mengamankan pilihan pada Islam
berkemajuan, Muhammadiyah meletakkan gerakannya sebagai gerakan amal, bukan
gerakan pemikiran, sekaligus memilih jalur sosial kemasyarakatan dan bukan
jalur partai politik.
Sementara untuk urusan dan persentuhannya
dengan institusi-institusi kolonial dan politik, Muhammadiyah mengembangkan
hubungan simbiosis mutualism dengan Budi Utomo dan Sarekat Islam. Persentuhan
dengan politik kekuasaan suatu keniscayaan, maka ditempuhkan cara tersendiri
untuk memperjuangkannya tanpa mengubah status dan identitas gerakannya.
Islam sejati yang berkemajuan itu menurut
KHA Dahlan memiliki empat pilar, yaitu pertama, rukun Islam (syahadat, salat,
zakat, puasa, dan haji). Kedua, rukun iman atau teologi Islam. Ketiga, etika. Keempat,
relasi kemanusiaan meliputi amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi)
dan mu’awanah atau tolong menolong (advokasi).
Jadi Islam berkemajuan itu tidak lepas
dari identitas asalnya, tetapi keempat point itu harus menjadi dasar pergerakan
Muhammadiyah dan secara aktif terlibat dalam proyek advokasi sosial
kemanusiaan. Sebagian besar percikan pemikiran KHA Dahlan dan aktualisasinya
untuk Islam berkemajuan itu didukung oleh pemahaman, pengetahuan dan
aktualisasinya.
KHA Dahlan dalam catatannya Tali Pengikat
Hidup Manusia membuat coretan kritis terhadap kecenderungan manusia yang hanya
mementingkan urusan dan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan dan terlibat
dalam urusan sosial kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat primordial.
KHA Dahlan menyebut; “... Kebanjakan
pemimpin-pemimpin belum menuju baik dan enaknja segala manusia, baru memerlukan
kaumnya (golongannya) sendiri, lebih-lebih ada yang hanya memerlukan badannya
sendiri saja, kaumnyapun tiada diperdulikan. Jika badannya sendiri sudah mendapat
kesenangan, pada perasaannya sudah berpahala, sudah dapat sampai maksudnya.
...Begitu juga sudah menjadi kebiasaan orang, segan dan tiada mau menerima
barang apa saja yang kelihatan baru, yang tiada sama dengan yang sudah
dijalani, sebab pada perasaannya, barang yang kelihatan baru itu menjadikan
celaka dan susah, meskipun sudah kenyataan, bahwa orang yang menjalani barang
yang baru itu misalnya mendapat kesenangan dan bahagia. Hal itu terkecuali
orang yang memang sungguh-sungguh berikhtiar buat gunanya kebajikan orang
banyak, dan yang suka memikir-mikir dan merasa-rasakan dengan panjang dan
dalam…”
Kemudian KHA Dahlan memberi peringatan
agar roadmap Islam berkemajuan dapat berkembang dengan baik dan mencakup
seluruh urusan kemanusiaan; “...Peringatan sedikit supaya menjadikan pikiran:
... Orang itu harus dan wajib mencahari tambahnya pengetahuan, jangan sekali
merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apakah pula menolak pengetahuan
orang lain. ...Sehabis-habisnya pendidikannya akal, itulah dengan Ilmoe Manteq
(pembicaraan, yang cocok dengan kenyataannya) semua ilmu pembicaraan harus
dengan belajar. Sebab tidak ada bagi menusia, yang bisa tahu pelbagai-bagai
nama dan bahasa, bilamana tidak ada yang mengajarnya, juga yang mengajar itu mengerti
dari-pada guru-gurunya dan demikian selanjutnya.”
KHA Dahlan menekankan pada pentingnya ilmu
sebagai instrumen kemajuan, terutama ilmu agama. Ali bin Abi Thalib menyebutkan
bahwa pelajarilah al-Qur’an karena ia adalah pelajaran terbaik dan pahamilah
secara keseluruhan karena ia akan bersemi dalam hatimu.
Untuk mempromosikan Islam Berkemajuan
menurut pemikiran KHA Dahlan diperlukan ilmu pengetahuan, tiada sesuatu akan
sukses tanpa ilmu pengetahan. Warga Muhammadiyah harus menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai bekal agar dapat berkontribusi dalam menggerakkan
organisasi yang membebaskan dan mencerahkan menuju masyarakat Indonesia yang
merdeka, maju dan mandiri.
Dalam urusan muamalah yang luas bagi
Muhammadiyah memerlukan ilmu pengetahuan, mengelola amal usaha dan urusan
sosial, kesehatan, dakwah dan lainnya termasuk dalam urusan politik kebangsaan.
Ilmu pengetahuan menjadi sumber utama
untuk membebaskan manusia dari tindakan yang salah, tindakan tanpa arah dan
tujuan. Demikian halnya dalam kehidupan politik, Muhammadiyah mendorong kadernya
berpolitik dengan moral dan akhlak.
Oleh sebab itu, kita dapat mengatakan
bahwa berpolitik yang baik adalah berpolitik dengan menggunakan kemampuan akal
pemikiran, tidak cukup dengan emosi, semangat dan nafsu kuasa semata, tetapi
perlu akal pikiran yang menuntun dan mengarahkannya bahwa politik ditempatkan
sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi
semua. Dalam bahasa Muhammadiyah, bahwa berpolitik merupakan bagian dari dakwah
amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam urusannya dengan soal politik
misalnya, Muhammadiyah menekankan politik yang bersifat substantif. Muhammadiyah
secara sadar memilih jalan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga
secara tidak langsung menggarap aktivitas politik tidak langsung yang bersifat
mempengaruhi proses dan kebijakan pemerintah sebagai manifestasi dari prinsip
dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Sikap Muhammadiyah dalam merespons
kebijakan politik atau ikut memberikan masukan terhadap regulasi dapat
dikategorikan dalam kegiatan politik mempengaruhi pembuatan keputusan publik.
Secara kelembagaan, Muhammadiyah telah
memilih jalur kultural dan tidak berpolitik praktis. Konsekuensi pilihan itu
adalah Muhammadiyah mendorong para kadernya yang terjun ke dunia politik untuk
sungguh-sungguh melaksanakan tugas dan kegiatan politiknya dengan mengedepankan
nilai-nilai utama ajaran Islam.
Di antara nilai keutamaan itu adalah
kejujuran, keadilan, kepedulian, pemihakan pada nilai kemanusiaan dan
integritas pribadi yang menempatkan ajaran Islam sebagai referensi tindakan
politiknya.
Islam berkemajuan mendorong pada
terbentuknya tatanan sosial yang berkeadilan, tatanan yang memihak pada
kemanusiaan dan keadilan. Muhammadiyah secara kritis dan bertanggungjawab
mendorong kekuatan politik dan pemerintah agar sungguh-sungguh menjalankan tugasnya
mewujudkan sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan
cita-cita luhur bangsa dan negara.
Cita-cita yang telah dirumuskan dalam
pembukaan UUD 1945 untuk membentuk negara-bangsa yang berdaulat, adil dan
makmur menjadi niscaya dalam kehidupan alam kemerdekaan.
Dengan sangat baik pembukaan UUD 1945
mengikrarkan; “...Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas..... Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”
Pesan ini sejalan dengan prinsip Islam
berkemajuan yang diimani Muhammadiyah. Suatu keharusan bagi warga negara yang
beriman untuk mendukung dengan sungguh-sungguh Indonesia merdeka.
Dari prinsip politik ini, Muhammadiyah
menerapkan strategi perjuangan politik melalui dua strategi yakni high politik
dan allocative politics. Strategi ini sebagai bentuk konsistensi Muhammadiyah
menjadi gerakan sosial, namun tetap berpolitik dengan cara-cara yang luhur atau
adiluhung tanpa mengejar posisi jabatan serta secara aktif dan kreatif
memperjuangkan agar nilai-nilai Islam dapat dikontribusikan melalui pembentukan
perundang-undangan dan kebijakan pemerintah.
Politik Muhammadiyah untuk sesuatu yang
jauh lebih anggun, bukan politik transaksional serta bukan mengejar jabatan dan
kekuasaan. Wallahu a’lam bi shawab.