-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 10 Maret 2025
Kisah Nabi Muhammad SAW (5):
Abdul Muthalib Bernadzar
Menyembelih Anaknya dan Menemukan Sumur Zamzam
Penulis: Abu Hasan Ali An-Nadwi
Abdul Muthalib bernadzar, “Kalau saja aku
mempunyai 10 anak laki-laki, kemudian setelah semuanya dewasa, aku tidak
memperoleh anak lagi seperti ketika sedang menggali Sumur Zamzam, maka salah
seorang di antara 10 anak itu akan kusembelih di Ka’bah sebagai kurban untuk
Tuhan.”
Ternyata takdir memang menentukan
demikian. Abdul Muthalib akhirnya mendapat 10 orang anak laki-laki. Setelah
semua anak berangkat dewasa, ia tidak memperoleh anak. Dipanggilnya kesepuluh
orang anak itu, termasuk si bungsu Abdullah yang amat disayangi dan
dicintainya.
“Aku pernah bernadzar untuk menyembelih
salah seorang di antara kalian jika Tuhan memberiku 10 orang anak laki-laki,”
kata Abdul Muthalib.
Kesepuluh anaknya terdiam. Mereka memahami
persoalan itu. Mereka juga melihat kebingungan yang luar biasa di mata ayah
mereka yang berkaca-kaca.
“Namun, aku tidak bisa menentukan siapa di
antara kalian yang harus kusembelih. Oleh karena, aku berniat memanggil juru
qidh untuk menentukannya,” kata Abdul Muthalib.
Di hadapan patung dewa tertinggi Ka’bah,
juru qidh (anak panah) meminta setiap anak menulis namanya masing-masing di
atas qidh. Kemudian, ia mengocok anak panah tersebut di hadapan berhala Hubal.
Nama anak yang keluar adalah Abdullah.
Melihat itu, serentak orang-orang Quraisy
datang dan melarangnya melakukan perbuatan itu.
“Batalkan keinginanmu, Abdul Muthalib!
Mohon ampunlah kepada Hubal supaya kamu bisa membatalkan nadzarmu!” teriak
salah seorang di antara mereka.
Sanggupkah Abdul Muthalib menyembelih anak
kesayangannya, apalagi tidak ada orang yang menyetujui niatnya itu?
Menemukan Zamzam
Malam harinya, dengan tubuh lelah, Abdul
Muthalib tertidur. Tiba-tiba, dalam tidur, dia bermimpi mendengar suara yang
bergema berulang-ulang, “Temukan Sumur Zamzam itu, wahai Abdul Muthalib!
Temukan Sumur Zamzam! Temukan!”
Abdul Muthalib terbangun dengan keyakinan
dan semangat baru. Esoknya, dia mengajak Harits menggali dan menggali lebih
giat. Rasa heran orang-orang Quraisy yang melihatnya berubah menjadi tawa.
“Kasihan Abdul Muthalib, mungkin dia sudah
kehilangan akal sehatnya!” kata mereka satu sama lain.
Suatu saat, ketika mereka sedang menggali
di antara berhala Isaf dan Na’ila, air membersit.
“Air! Harits! Lihat, ada air!” seru Abdul
Muthalib saking kagetnya.
“Ayo kita gali terus, Ayah! Ayo gali
terus!” kata Harits.
Ketika mereka menggali lebih dalam,
tampaklah pedang-pedang dan pelana emas yang pernah ditaruh oleh Mudzaz bin Amr
dahulu. Melihat penemuan itu, orang-orang Quraisy datang berbondong-bondong.
“Abdul Muthalib, mari kita berbagi air dan
harta emas itu!” pinta mereka.
“Tidak! Tetapi, marilah kita mengadu nasib
di antara aku dan kamu sekalian dengan permainan qidh (anak panah). Dua anak
panah buat Ka’bah, dua buat aku, dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu
keluar, dia mendapat bagian. Kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa,” kata
Abdul Muthalib.
Usul ini disetujui. Juru qidh mengundinya
di tengah-tengah berhala di depan Ka’bah. Ternyata, anak panah Quraisy tidak
ada yang keluar. Pemenangnya adalah Abdul Muthalib dan Ka’bah.
Oleh karena itu, Abdul Muthalib dapat
meneruskan tugasnya mengurus air dan keperluan para tamu Mekah setelah Sumur
Zamzam memancar kembali.
Mengingat beratnya tugas itu. Abdul
Muthalib sangat ingin agar dia mempunyai banyak anak laki-laki yang dapat
membantunya.
Pedang dan Pelana Emas
Abdul Muthalib memasang pedang-pedang itu
di pintu Ka’bah, sedangkan pelana-pelana emas ditaruh di dalam rumah suci itu
sebagai perhiasan. (Bersambung)