-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 03 Maret 2025
Catatan Ringan:
Apa yang Menahan
Langit?
Oleh: Andi Afdal Abdullah
(Dokter / Direktur SDM dan Umum BPJS
Kesehatan)
“Allah-lah yang menahan langit dan bumi
agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun
yang dapat menahannya selain Dia. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun, Maha
Pengampun.” (QS. Fathir: 41)
Kita terbiasa melihat langit begitu saja.
Biru saat siang, gelap bertabur bintang saat malam. Kita tidak pernah
benar-benar bertanya: apa yang menahannya tetap di sana? Seorang ilmuwan akan
menjawab, “gravitasi.”
Hukum fisika memastikan bahwa bumi tidak
melayang, planet-planet tidak keluar dari orbit, dan galaksi tidak saling
bertabrakan dalam kekacauan tanpa arah. Tapi pertanyaan yang lebih dalam
adalah: mengapa hukum itu bekerja?
Seorang filsuf mungkin berkata, “karena
keteraturan semesta”. Tapi dari mana keteraturan itu muncul? Mengapa tidak ada
kekacauan total, mengapa atom-atom membentuk pola, mengapa hidup memiliki hukum
yang bisa kita pahami?
Orang-orang terdahulu mungkin menjawab
dengan mitos: langit ditopang oleh tiang-tiang raksasa yang tak terlihat, atau
dijunjung oleh dewa-dewa yang tak henti bekerja. Tapi Al-Qur’an datang dengan
jawaban yang tidak hanya puitis, melainkan juga menohok logika manusia:
Allah-lah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap.
Tauhid bukan sekadar keyakinan bahwa Tuhan
itu satu. Ia adalah kesadaran bahwa seluruh keteraturan semesta ini bukanlah
kebetulan. Bahwa ada tangan tak terlihat yang menata segalanya. Bahwa kita
sendiri, sekuat apapun merasa memiliki kendali, sebenarnya adalah bagian dari
sistem yang jauh lebih besar, lebih teratur, lebih mustahil untuk sekadar ada
tanpa kehendak yang Mahakuasa.
Coba bayangkan dua garis lurus yang
berjalan sejajar. Logika geometri Euclidean mengatakan bahwa jika dua garis
benar-benar sejajar, mereka tidak akan pernah bertemu, sekalipun diperpanjang
hingga tak terhingga. Tapi dalam geometri non-Euclidean, garis-garis itu bisa
bertemu pada titik yang tak terlihat, di luar cakrawala pemahaman manusia.
Begitu juga dengan Tuhan dan dunia. Kita
hidup dalam garis-garis keseharian: bekerja, makan, tidur, berpikir, berusaha.
Tuhan tampak seperti garis lain, jauh, tidak bersinggungan dengan realitas yang
kita alami. Tapi sejatinya, titik pertemuan itu ada, hanya saja berada dalam
dimensi yang belum kita capai.
Setiap kali kita shalat, setiap kali kita
menahan lapar saat puasa, setiap kali kita menutup mata dan bertanya dalam
hati: untuk apa semua ini? —di situlah dua garis itu mendekat.
Kita hidup dalam keteraturan yang
menakjubkan. Planet-planet tidak saling bertabrakan, hukum gravitasi tetap
bekerja, dan kehidupan tetap berlangsung dengan keseimbangan yang luar biasa.
Tetapi, di saat yang sama, kehidupan manusia tampak seperti kumpulan
ketidakteraturan: kegagalan yang tak terduga, kehilangan yang tiba-tiba,
rencana yang berantakan, harapan yang tak selalu berbuah hasil.
Jika Allah bisa menahan langit tetap
tinggi, mengapa kita masih takut bahwa hidup kita akan runtuh? Mungkin
jawabannya ada dalam pemahaman kita tentang kendali. Kita sering merasa bahwa
kehidupan ini ada di tangan kita sendiri—seolah kita yang menentukan segalanya.
Tapi kenyataannya, kita hanya mengatur sebagian kecil dari realitas yang jauh
lebih besar dari diri kita sendiri.
Seorang eksekutif di sebuah perusahaan
besar mungkin merasa bahwa ia memiliki kendali penuh atas organisasinya. Ia
menyusun strategi, menetapkan target, dan memastikan semua berjalan sesuai
rencana. Tapi kemudian datanglah sesuatu yang tak terduga: perubahan regulasi,
krisis ekonomi, pandemi. Semua rencana yang tampak begitu kokoh dalam laporan
keuangan dan tabel proyeksi tiba-tiba menjadi tidak relevan.
Betapa banyak pemimpin yang mendadak
kehilangan arah ketika mereka menyadari bahwa bukan mereka yang menahan langit
organisasi mereka tetap berdiri. Begitu pula dalam kehidupan personal. Kita
sering merasa dunia akan runtuh ketika kehilangan sesuatu: pekerjaan, pasangan,
harta. Padahal dunia tidak pernah bergantung pada satu kehilangan saja. Langit
tetap di sana, matahari tetap terbit, dan hidup terus berjalan.
Kesadaran ini tidak membuat kita menjadi
fatalis—sebaliknya, ia justru memberi kita ketenangan. Kesadaran bahwa ada
sesuatu yang lebih besar yang mengatur segalanya membuat kita bisa menjalani
hidup dengan usaha yang maksimal, tetapi tanpa kecemasan yang berlebihan.
Ada sebuah kisah menarik tentang seorang
ulama yang ditanya oleh muridnya, “Bagaimana caranya agar kita bisa tenang
menghadapi hidup?” Sang ulama tersenyum, lalu mengambil segenggam pasir dan
menggenggamnya erat.
“Lihat tanganku,” katanya. “Saat aku
menggenggam pasir ini terlalu erat, pasir-pasir itu justru keluar dari
sela-sela jari. Tapi jika aku membiarkannya dengan rileks, pasir itu tetap ada
dalam genggamanku.”
Begitulah hidup. Semakin kita merasa ingin
mengendalikan segalanya, semakin kita dilanda kecemasan. Tapi saat kita
berserah, saat kita memahami bahwa ada yang menahan langit tetap tinggi, maka
kita bisa lebih tenang.
Dalam bisnis, dalam organisasi, dalam
kehidupan sosial, prinsip ini tetap berlaku. Ada saatnya kita harus menerima
bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Kita hanya bisa berusaha sebaik
mungkin, lalu menyerahkan hasilnya kepada sesuatu yang lebih besar.
Maka ketika segalanya tampak kacau, ketika
dunia terasa seperti akan runtuh, ingatlah satu hal:
“Allah-lah yang menahan langit dan bumi
agar tidak lenyap.” (QS. Fathir: 41)
Sama seperti Allah menahan langit tetap
tinggi, Allah pula yang juga menahan hati kita agar tetap teguh.
Wallahu a’lam bish showab
LANGIT TAK JATUH
Langit tak jatuh
Langit tetap di sana,
tak bertiang, tak berakar,
tak goyah meski angin berteriak.
Siapa yang menahannya?
Bukan kita, bukan mereka,
bukan tangan yang gemetar
menggenggam dunia terlalu erat.
Hidup seperti langit,
kadang redup, kadang terang,
kadang kita takut runtuh,
padahal tetap berdiri teguh.
Maka lepaskan genggaman,
biarkan Tuhan yang menahan.***