Bekerja dengan Lapar

Iya, lapar. Ia teringat bagaimana gurunya dulu berkata bahwa lapar bukan hanya tentang perut kosong, tetapi tentang menguji seberapa besar kendali seseorang terhadap dirinya sendiri. Orang yang bisa menahan lapar, seharusnya bisa menahan marah. Bisa menahan ego. (int)


-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 05 Maret 2025

 

CERPEN

 

Bekerja dengan Lapar

 

Karya: Andi Afdal Abdullah

 

Meja ruang rapat itu panjang, mengkilap, dan sunyi. Hanya suara denting jam dinding dan gesekan bolpoin di atas kertas yang terdengar sesekali. Di ujung meja, Arman mengamati layar presentasi sambil menahan napas.

Ini hari kedelapan Ramadhan, dan tubuhnya sudah mulai terbiasa dengan ritme puasa. Tapi hari ini, lebih dari sekadar menahan lapar, ia harus menahan sesuatu yang lebih sulit—emosi.

Di hadapannya, seorang manajer pemasaran baru saja menyampaikan laporan kuartal pertama. Angka-angka yang muncul di layar tidak sesuai harapan. Target belum tercapai, pasar mulai bergeser, dan perusahaan besar yang dipimpinnya sedang berada di persimpangan jalan.

“Saya pikir strategi ini sudah kita bahas bulan lalu,” kata Arman, suaranya tetap tenang meskipun ia bisa merasakan panas menjalar di belakang lehernya.

Manajer pemasaran itu mengangguk, gugup. “Betul, Pak. Tapi ada faktor eksternal yang tidak kita perhitungkan. Inflasi meningkat, daya beli menurun, dan… yah, tim di lapangan masih berusaha menyesuaikan strategi.”

Arman menekan jari-jarinya ke atas meja, berpikir cepat. Ia ingin berbicara lebih keras. Ingin mengingatkan tim bahwa dalam bisnis, kegagalan bukan sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Tapi sesuatu dalam dirinya menahannya.

Apa itu? Lapar.

Iya, lapar. Ia teringat bagaimana gurunya dulu berkata bahwa lapar bukan hanya tentang perut kosong, tetapi tentang menguji seberapa besar kendali seseorang terhadap dirinya sendiri. Orang yang bisa menahan lapar, seharusnya bisa menahan marah. Bisa menahan ego.

“Baik,” katanya akhirnya, suaranya tetap dingin, tapi tidak tajam.

 “Kita punya dua puluh dua hari sebelum kuartal ini berakhir. Saya ingin proposal revisi dalam tiga hari ke depan. Jangan ada strategi yang hanya mengandalkan tren pasar. Kita harus proaktif, bukan reaktif.”

Ia melihat beberapa kepala mengangguk. Sebagian masih tampak tegang, tapi setidaknya mereka tahu bahwa badai tidak akan meledak hari ini.

Saat rapat berakhir, Arman kembali ke ruangannya. Di mejanya, ada mushaf Al-Qur’an yang sengaja ditaruh di tempat paling atas. Berdampingan dengan berbagai berkas kantor lainnya. Tampaknya belum sempat didarasnya pagi ini. Ia menatapnya sejenak sebelum duduk dengan santai ke kursi dan kemudian mulai membuka mushaf. Satu atau dua ayat baginya cukup untuk menenangkan hati.

Dulu, sebelum menjadi direktur, ia adalah seorang analis muda yang ambisius. Setiap hari penuh dengan kompetisi. Jam kerja Panjang. Dan strategi untuk naik ke posisi yang lebih tinggi. Ia menganggap lapar sebagai kelemahan. Sesuatu yang harus dihindari dengan camilan di laci meja atau kopi yang terus-menerus diminum. Tapi setelah bertahun-tahun, ia menyadari bahwa lapar justru bisa menjadi alat untuk berpikir lebih jernih.

Puasa mengajarkan disiplin, dan disiplin adalah mata uang paling berharga di dunia bisnis. Orang yang bisa menahan diri dari keputusan impulsif akan lebih mampu memimpin. Orang yang bisa bekerja dengan fokus meskipun perut kosong adalah orang yang lebih tangguh.

Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk.

“Pak Arman, saya bisa bicara sebentar?”

Ia mengangkat kepala dan melihat Adi, salah satu staf junior yang baru setahun bekerja di perusahaan.

“Silakan duduk,” kata Arman.

Adi tampak ragu sejenak sebelum berbicara.

“Pak, saya ingin minta maaf. Saya tahu saya bagian dari tim pemasaran, dan saya seharusnya bisa memberikan ide yang lebih baik dalam rapat tadi. Tapi… saya merasa kurang percaya diri.”

Arman menatapnya, teringat dirinya sendiri di awal karier. Seorang anak muda dengan banyak ide, tapi masih ragu apakah suaranya layak untuk didengar.

“Kamu puasa, Adi?” tanyanya.

Adi tampak bingung, tapi mengangguk. “Iya, Pak.”

“Menurutmu, apa tantangan terbesar dari puasa?”

Adi berpikir sejenak. “Mungkin… menahan lapar dan haus?”

Arman tersenyum kecil.

“Itu yang terlihat di permukaan. Tapi yang lebih sulit adalah menahan diri dari ketakutan. Ketakutan akan gagal. Ketakutan akan mengambil risiko. Kalau kita bisa menahan diri dari makan dan minum. Seharusnya kita juga bisa menahan diri dari rasa takut untuk berbicara, untuk mencoba, untuk berani.”

Adi terdiam, mencerna kata-kata itu.

“Kamu punya ide? Sampaikan. Jangan biarkan ketakutan membuatmu diam,” lanjut Arman. “Kalau salah, kita perbaiki. Kalau benar, kita eksekusi. Itu cara kita bertumbuh, baik di dunia kerja maupun dalam kehidupan.”

Adi mengangguk, dan sesuatu dalam matanya berubah. Ia tidak lagi tampak seperti anak muda yang ragu-ragu, tetapi seseorang yang baru saja menemukan keberanian kecil dalam dirinya.

Saat Adi keluar, Arman menarik napas panjang dan kembali ke layar komputernya. Angka-angka di laporan masih sama, tantangan masih ada, dan sore ini masih panjang. Tapi ia merasa lebih ringan.

Bekerja dengan lapar bukan berarti bekerja dengan kelemahan. Kadang, justru di saat kita menahan diri, kita menemukan kekuatan yang selama ini tersembunyi. Dan mungkin, dalam dunia yang penuh dengan ketergesaan dan ketakutan, orang yang bisa menahan lapar dengan tenang adalah orang yang paling mampu bertahan.***

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama