--------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 15 Maret 2025
Catatan Ringan:
Dunning Kruger
effect, post-Truth, dan Kekacauan Akal Sehat
Oleh: Andi Afdal Abdullah
(Dokter / Direktur SDM dan Umum BPJS
Kesehatan)
“Ketika orang bodoh menganggap dirinya
pintar, di situlah bencana terjadi.” (Aristoteles)
Suatu hari di sebuah warung kopi di kota
Makassar, beberapa orang aktivis mahasiswa duduk bersama, membahas topik yang
sedang viral di media sosial: dampak vaksin terhadap kesehatan manusia.
Dengan penuh keyakinan, salah seorang
menegaskan, “Aku baca di internet, vaksin itu mengandung zat yang bisa merusak
otak. Banyak orang yang setuju! Bahkan sudah ada dokter dari USA yang bilang
begitu di YouTube!”
Teman-temannya, yang tidak terlalu
mendalami isu tersebut, mengangguk-angguk setuju. Argumentasi orang tersebut
tampak meyakinkan. Ia berbicara dengan penuh percaya diri, menyebutkan
angka-angka yang terdengar ilmiah, dan mengutip sumber yang menurutnya kredibel.
Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, “dokter” yang ia maksud bukanlah ahli
imunologi, melainkan seorang influencer yang gemar menyebarkan teori
konspirasi.
Fenomena seperti ini terjadi setiap hari,
di warung kopi, di grup WhatsApp keluarga, di media sosial, bahkan dalam
diskusi publik yang lebih luas. Orang-orang seperti di atas merasa memiliki
pemahaman mendalam tentang suatu isu hanya karena telah membaca beberapa
artikel di internet atau menonton video singkat di TikTok.
Mereka berdebat dengan para pakar,
meremehkan penelitian bertahun-tahun, dan lebih percaya pada narasi yang
menarik dibanding fakta yang berbasis bukti. Inilah yang disebut sebagai Efek
Dunning-Kruger, ketika orang yang tidak kompeten dalam suatu bidang justru
paling percaya diri dalam mengomentari bidang tersebut.
Dunning-Kruger Effect adalah bias kognitif
yang terjadi ketika seseorang dengan sedikit pengetahuan atau keahlian, merasa
yakin bahwa mereka memahami suatu bidang lebih baik dari pada yang sebenarnya.
Efek ini pertama kali diteliti oleh
psikolog David Dunning dan Justin Kruger pada 1999. Mereka menemukan bahwa
individu yang memiliki keterampilan rendah dalam suatu bidang tidak hanya buruk
dalam melakukan tugas tertentu, tetapi juga buruk dalam mengenali keterbatasan
mereka sendiri.
Dengan kata lain, semakin seseorang tidak
tahu, semakin ia yakin bahwa dirinya tahu. Sebaliknya, orang yang benar-benar
ahli justru lebih sadar akan keterbatasan ilmunya, sehingga mereka cenderung
lebih rendah hati dalam menyatakan pendapat.
Persis ketika seorang yang baru beberapa
bulan belajar bermain catur dan mengalahkan teman temannya se RT, kadang sudah
punya kepercayaan diri bahwa dirinya sudah bisa menandingi seorang master catur
dunia.
Di era media sosial, Dunning-Kruger Effect
mendapatkan panggung terbaiknya. Semua orang memiliki akses untuk berbicara,
semua orang bisa beropini, dan semua orang bisa mengklaim sebagai “pakar”.
Seorang ibu rumah tangga yang baru membaca
satu artikel tentang ekonomi bisa dengan lantang mengkritik kebijakan moneter.
Seorang mahasiswa yang baru belajar filsafat bisa dengan percaya diri
mengkritik para pemikir besar. Dan seorang influencer dengan jutaan pengikut
bisa dengan mudah memengaruhi opini publik tanpa memahami dasar-dasar ilmu yang
ia bicarakan. Influencer akan lebih mendapatkan legitimasi kebenaran ketimbang
para pakar yang mendalami hal tertentu selama puluhan tahun lamanya.
Fenomena “sok tahu” di era media sosial
ini semakin diperparah dengan munculnya post-truth — kondisi di mana kebenaran
tidak lagi ditentukan oleh fakta dan bukti, tetapi oleh seberapa sering suatu
narasi diulang-ulang dan seberapa banyak orang yang mempercayainya.
Dalam dunia post-truth, yang penting
bukanlah apakah sesuatu itu benar, tetapi apakah sesuatu itu bisa membuat orang
percaya. Perasaan dan opini lebih berkuasa dibandingkan data dan logika. Jika
cukup banyak orang meyakini bahwa bumi itu datar, maka narasi itu menjadi “kebenaran”
bagi komunitas tertentu, meskipun semua bukti ilmiah menunjukkan sebaliknya.
Salah satu contoh paling nyata dari
post-truth adalah penyebaran hoaks di media sosial. Dalam hitungan menit,
sebuah berita palsu bisa menyebar ke jutaan orang, dan meskipun kemudian
terbukti salah, dampaknya sudah terjadi. Masyarakat sudah terlanjur percaya,
dan koreksi terhadap berita palsu tersebut sering kali tidak mendapatkan
perhatian yang sama besarnya.
Yang lebih berbahaya, post-truth
menciptakan echo chamber, sebuah kamar ekoik di mana orang hanya berinteraksi
dengan informasi yang mengonfirmasi kepercayaan mereka sendiri. Jika seseorang
percaya bahwa perubahan iklim itu hoaks, algoritma media sosial akan terus
memberinya konten yang memperkuat keyakinan tersebut. Akibatnya, mereka semakin
yakin bahwa keyakinannya benar, meskipun bertentangan dengan realitas.
Keadaan makin parah ketika berbagai
logical fallacy menjadi senjata utama bagi mereka yang merasa paling tahu,
meskipun hanya memahami permukaan sebuah isu. Orang-orang dengan kepercayaan
diri tinggi sering kali menggunakan argumentum ad populum—meyakinkan bahwa
sesuatu benar hanya karena banyak orang mempercayainya. Mereka juga kerap
menggunakan strawman fallacy, mendistorsi argumen lawan agar lebih mudah
diserang, atau false dilemma, seakan-akan hanya ada dua pilihan ekstrem tanpa
ruang untuk diskusi yang lebih dalam.
Lebih parahnya, diskusi yang sehat sering
kali dikacaukan oleh ad hominem, serangan terhadap pribadi alih-alih membantah
argumen secara substansi. Ditambah dengan anecdotal fallacy, di mana pengalaman
pribadi dianggap lebih sahih daripada data ilmiah, wacana publik semakin jauh
dari kebenaran yang berbasis bukti. Berbagai sesat pikir ini membuat banyak
orang lebih percaya pada narasi emosional dibandingkan fakta objektif.
Ketika post-truth mendominasi dan
Dunning-Kruger Effect merajalela, masyarakat lebih mudah menerima informasi
yang sesuai dengan keyakinan mereka, meskipun keliru. Media sosial mempercepat
penyebaran mis-informasi, dan tanpa kesadaran kritis, banyak orang justru
semakin terjebak dalam lingkaran bias dan kekeliruan logis yang mereka anggap
sebagai kebenaran mutlak.
Dampak Sosial dan Solusi
Kombinasi antara sok tahu, post-truth, dan
logical fallacy menciptakan masyarakat yang penuh dengan kebingungan. Kebenaran
menjadi relatif dan opini bisa lebih kuat daripada data. Berbagai konsekuensi
berbahaya, seperti tajamnya polarisasi sosial yang membagi masyarakat dalam
kubu-kubu bahkan kutub ekstrem.
Menurunnya nilai dari ilmu pengetahuan, penelitian
dan fakta ilmiah tumbang oleh narasi yang lebih menarik di media sosial dan
akhirnya keputusan publik yang buruk akibat
kebijakan dibuat berdasarkan opini yang tidak berdasar. Hasilnya tentu
sangat merugikan bagi semua.
Untuk melawan fenomena ini, literasi media
dan informasi harus menjadi fondasi utama, memastikan setiap orang mampu
memilah kebenaran dari kebohongan. Skeptis yang sehat wajib ditanamkan, bukan
sekadar curiga, tetapi mempertanyakan setiap klaim dengan akal kritis dan bukti
yang jelas.
Menghargai pakar adalah keharusan, bukan
karena mereka tak pernah salah, tetapi karena pendapat mereka berdiri di atas
landasan ilmu dan metodologi yang jauh lebih kuat dibandingkan opini
serampangan.
Jika kita ingin menyelamatkan akal sehat,
inilah langkah yang harus diambil—dan tidak ada alasan untuk mengabaikannya.
Menghindari bias konfirmasi dengan sering
membaca sudut pandang yang berbeda akan menghindari jebakan ekokamar.
Walhasil, selayaknya kita berhati-hati
agar tidak terjebak dalam jebakan sok tahu, jebakan post-truth, dan jebakan
logical fallacy. Jangan sampai kita menjadi seperti cerita di warung kopi, yang
berbicara lantang tetapi tidak memahami apa yang sebenarnya ia bicarakan.
Mari mulai dengan belajar rendah hati,
akui sebagai pembelajar dengan tulus, sampaikan bila kita belum tahu banyak,
sebab tidak ada salahnya untuk tetap belajar dan terus rendah hati. Seperti
kata Socrates, “Kesadaran akan ketidaktahuan adalah awal dari kebijaksanaan.”***