Epithumia


Plato membagi jiwa manusia menjadi tiga bagian: logos (akal), thymos (semangat), dan epithumia (nafsu keinginan). Dari ketiganya, Epithumia adalah yang paling rendah dan paling liar. Ia adalah hasrat yang muncul dari tubuh, mendorong manusia untuk mencari kenikmatan fisik, kekayaan, dan pemenuhan keinginan duniawi lainnya. 


------

PEDOMAN KARYA

Selasa, 11 Maret 2025

 

Catatan Ringan:

 

Epithumia

 

Oleh: Andi Afdal Abdullah

(Dokter / Direktur SDM dan Umum BPJS Kesehatan)

 

Dalam Republik, Plato membagi jiwa manusia menjadi tiga bagian: logos (akal), thymos (semangat), dan epithumia (nafsu keinginan). Dari ketiganya, Epithumia adalah yang paling rendah dan paling liar.

Ia adalah hasrat yang muncul dari tubuh, mendorong manusia untuk mencari kenikmatan fisik, kekayaan, dan pemenuhan keinginan duniawi lainnya. Jika tidak dikendalikan, epithumia akan menjerumuskan seseorang ke dalam ketidakadilan, ketidakpuasan, dan kehidupan yang hanya mengejar kesenangan sesaat.

Namun, apakah nafsu itu harus diberangus? Tidak. Plato mengajarkan bahwa kuncinya bukan meniadakan epithumia, tetapi menundukkannya di bawah bimbingan akal (logos), sebagaimana seorang kusir mengendalikan dua ekor kuda dalam alegori jiwa.

Alegori kusir dan dua ekor kuda dalam filsafat Plato terdapat dalam dialog Phaedrus. Dalam alegori ini, jiwa manusia diibaratkan sebagai sebuah kereta kuda bersayap (chariot), yang dikendalikan oleh seorang kusir (charioteer). Kereta ini ditarik oleh dua ekor kuda yang memiliki sifat berbeda.

Pertama, kuda putih. Kuda putih melambangkan thymos (semangat, keberanian, kehormatan). Kuda ini mulia, jinak, dan mudah dikendalikan. Ia ingin membawa kereta menuju ke atas, mendekati dunia ide dan kebenaran.

Kedua, kuda hitam. Kuda hitam melambangkan epithumia (nafsu, keinginan duniawi, kesenangan). Kuda ini liar, keras kepala, dan sering menarik kereta ke bawah, menuju kesenangan indrawi yang tidak terkendali.

Ketiga, kusir. Kusir dalam alegori ini melambangkan logos (akal dan rasionalitas). Peran kusir adalah mengendalikan kedua kuda agar bergerak harmonis ke arah yang benar, yaitu menuju dunia ide dan kebijaksanaan.

Dalam konteks kebahagiaan, alegori ini menunjukkan bahwa manusia harus bisa mengendalikan nafsunya (epithumia), menyalurkan semangatnya (thymos) ke arah yang benar, dan menjadikan akal (logos) sebagai pemimpin utama dalam kehidupannya.

Islam juga mengajarkan bahwa manusia diberi nafsu sebagai ujian. Allah berfirman:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah: 23)

Maka, bagaimana kita bisa mengendalikan tiga jenis nafsu terendah manusia—yakni nafsu makan, nafsu harta, dan nafsu syahwat—agar hidup lebih selaras dan bermakna?

 

Nafsu Makan: Dari Hedonisme ke Kesadaran

 

Di zaman modern, industri makanan telah mengeksploitasi epithumia manusia dengan menawarkan kelezatan yang berlebihan. Kita sering makan bukan karena lapar, melainkan karena dorongan emosional—stres, bosan, atau sekadar kebiasaan.

Plato akan menyarankan pendekatan logos: kesadaran dan disiplin dalam makan. Islam pun mengajarkan bahwa makan bukan sekadar kenikmatan, tetapi juga ibadah. Rasulullah ï·º bersabda:

“Tidaklah manusia memenuhi suatu wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika harus lebih, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara.” (HR. Tirmidzi)

Mengendalikan nafsu makan berarti mengembalikan hubungan kita dengan makanan kepada keseimbangan: makan untuk kesehatan, bukan untuk sekadar memanjakan lidah.

 

Nafsu Harta: Dari Keserakahan ke Kecukupan

 

Dorongan untuk memiliki lebih banyak harta adalah bagian dari epithumia yang paling kuat. Banyak orang menghabiskan hidupnya mengejar kekayaan tanpa batas, seolah-olah kepemilikan materi akan membawa kebahagiaan sejati.

Plato membayangkan masyarakat ideal di mana para pemimpin tidak memiliki harta pribadi yang berlebihan, karena kekayaan cenderung merusak karakter dan membelokkan seseorang dari jalan keadilan. Islam pun menegaskan bahwa cinta berlebihan terhadap harta dapat melalaikan manusia:

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1-2)

Namun, Islam tidak menolak harta. Justru, harta bisa menjadi sarana untuk kebaikan jika dikelola dengan bijak. Rasulullah ï·º bersabda:

“Tidaklah seseorang dari kalian kecuali akan ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya bagaimana ia mengamalkannya, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan, serta tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan.” (HR. Tirmidzi)

Maka, solusi dari nafsu harta adalah zuhud, bukan dalam arti meninggalkan dunia, tetapi dalam arti tidak menjadikan harta sebagai tujuan utama kehidupan.

 

Nafsu Syahwat: Dari Hedonisme ke Cinta yang Lebih Tinggi

 

Syahwat adalah bentuk epithumia yang paling mendalam. Ia dapat membawa manusia ke kebahagiaan, tetapi juga ke kehancuran. Plato membahas konsep cinta dalam Symposium dan Phaedrus, di mana ia membedakan antara cinta yang berbasis syahwat (eros) dan cinta yang lebih tinggi yang mengarah pada kebijaksanaan dan kebaikan (agape dan philia).

Mengendalikan nafsu ini bukan berarti menekan atau meniadakannya, tetapi mengarahkan energi syahwat menuju hal yang lebih tinggi. Islam mengajarkan bahwa syahwat memiliki tempatnya, yaitu dalam pernikahan yang halal:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar-Rum: 21)

Rasulullah ï·º juga bersabda:

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu akan menjadi perisai baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam kehidupan modern, ini berarti menumbuhkan relasi yang sehat, membangun keintiman berbasis penghormatan dan komitmen, bukan sekadar mengikuti dorongan sesaat.

 

Jalan Keselarasan

 

Plato mengajarkan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang mampu mengendalikan dirinya. Jiwa yang harmonis adalah jiwa yang dipimpin oleh logos, dibantu oleh thymos, dan dikendalikan dari dominasi epithumia. Islam mengajarkan hal yang sama, bahwa manusia harus menjaga keseimbangan antara akal dan nafsunya agar tidak terseret ke dalam kesesatan.

Allah berfirman:

“Dan adapun orang-orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40-41)

Mengendalikan tiga nafsu terendah ini bukan berarti menolaknya sepenuhnya, tetapi menempatkannya dalam proporsi yang benar. Makan dengan kesadaran, mencari harta dengan keseimbangan, dan mencintai dengan kebijaksanaan—itulah kunci kehidupan yang adil dan bermakna.

Maka, pertanyaannya bukanlah apakah kita memiliki nafsu, tetapi siapa yang mengendalikan siapa: apakah kita mengendalikan epithumia, atau justru kita menjadi budaknya?***



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama