Filosofi Roti

Sepotong roti mungkin terlihat sederhana. Ia sering diabaikan, dianggap biasa, bahkan remeh. Namun, seperti hal-hal sederhana lainnya, di balik roti tersimpan sejarah panjang, makna mendalam, dan filosofi kehidupan. Roti bukan hanya makanan, tetapi juga simbol dari kerja keras, keberkahan, dan rasa cukup. (int)

 

-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 04 Maret 2025

 

Catatan Ringan:

 

Filosofi Roti

 

Oleh: Andi Afdal Abdullah

(Dokter / Direktur SDM dan Umum BPJS Kesehatan)

 

“الخبز أساس الحياة”

Al-khubz asās al-hayāh : “Roti adalah dasar kehidupan.”

Sepotong roti mungkin terlihat sederhana. Ia sering diabaikan, dianggap biasa, bahkan remeh. Namun, seperti hal-hal sederhana lainnya, di balik roti tersimpan sejarah panjang, makna mendalam, dan filosofi kehidupan. Roti bukan hanya makanan, tetapi juga simbol dari kerja keras, keberkahan, dan rasa cukup.

Kata “roti” dalam bahasa Indonesia berasal dari serapan bahasa Sansekerta, yaitu rotikā, yang berarti makanan berbahan dasar tepung dan air yang dimasak. Dalam bahasa Inggris, bread berasal dari kata dalam bahasa Jerman Kuno, brēad, yang awalnya merujuk pada potongan makanan. Di banyak peradaban, roti memiliki nama yang berbeda-beda, tetapi selalu membawa makna yang sama: makanan pokok, sumber kehidupan.

Di Timur Tengah, kata “roti” sering kali disebut sebagai khubz dalam bahasa Arab. Dalam tradisi Islam, khubz bukan sekadar makanan, tetapi sebuah simbol keberkahan. Rasulullah SAW sendiri sangat menghargai roti. Beliau tidak pernah mencela makanan apa pun, termasuk roti yang bahkan mungkin sudah tidak segar.

Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Hormatilah roti, karena ia berasal dari keberkahan langit dan bumi.” (HR. Abu Nu’aim). Roti, dengan segala kesederhanaannya, adalah perwujudan dari karunia Allah yang turun ke bumi dan diolah dengan tangan manusia.

Namun, roti juga memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Di Mesir kuno, sekitar 5000 tahun yang lalu, roti menjadi salah satu makanan utama yang dibuat dari gandum yang difermentasi secara alami. Teknik ini kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, menjadi dasar dari berbagai jenis roti, mulai dari roti datar seperti naan dan pita, hingga roti yang mengembang seperti yang kita kenal sekarang.

Di setiap peradaban, roti adalah simbol yang universal: ia melambangkan keberlanjutan hidup, kerja keras, dan rasa syukur.

Sebagai makanan pokok, roti juga mengajarkan kita tentang pentingnya kesederhanaan dan rasa cukup. Di dunia yang sering kali penuh dengan kemewahan dan kemegahan, roti hadir sebagai pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari sesuatu yang besar.

Sepotong roti hangat, dengan rasa yang sederhana, mampu memberikan rasa nyaman yang tak tergantikan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW: “Orang yang paling bersyukur adalah mereka yang merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah.” (HR. Tirmidzi).

Namun, roti tidak hanya melambangkan keberkahan, tetapi juga kerja keras. Dalam setiap potongan roti, ada perjalanan panjang yang jarang kita pikirkan. Dimulai dari biji gandum yang ditanam oleh petani, tumbuh dengan bantuan air dan cahaya matahari, dipanen, digiling menjadi tepung, hingga akhirnya diolah menjadi roti.

Setiap langkah ini melibatkan tangan-tangan manusia yang bekerja dengan penuh dedikasi. Roti adalah hasil dari kerja keras kolektif, sebuah pengingat bahwa tidak ada rezeki yang datang dengan sendirinya.

Selain itu, roti juga adalah makanan yang mendamaikan. Di banyak budaya, roti menjadi simbol perdamaian dan persahabatan. Dalam tradisi Arab, misalnya, berbagi roti adalah tanda penghormatan kepada tamu.

Begitu pula di Eropa, istilah “memecah roti” (breaking bread) digunakan untuk menggambarkan momen berbagi yang penuh keakraban. Dalam tradisi Yahudi, roti digunakan dalam ritual keagamaan sebagai lambang persatuan antara manusia dengan Tuhan.

Namun, di balik keberkahan roti, ada pelajaran tentang pentingnya menghargai rezeki. Di zaman modern, makanan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang mudah didapat. Banyak orang membuang makanan tanpa memikirkan betapa sulitnya proses yang diperlukan untuk menghasilkan makanan tersebut.

Roti, dengan kesederhanaannya, mengajarkan kita untuk tidak menyia-nyiakan nikmat. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah satu dari kalian menjatuhkan sepotong makanan, ambillah, bersihkan, dan makan. Jangan biarkan makanan itu untuk setan.” (HR. Muslim)

Dalam roti, kita juga belajar tentang keseimbangan. Ia bukan makanan mewah, tetapi juga bukan makanan yang terlalu sederhana. Roti menjadi pengingat bahwa hidup tidak selalu tentang kelimpahan, tetapi tentang cukup.

Sebagaimana Khalil Gibran menulis: “Sebongkah roti yang dimakan dalam damai lebih baik daripada pesta yang dipenuhi pertengkaran.” Damai dalam kesederhanaan adalah pelajaran besar yang bisa kita ambil dari sepotong roti.

Roti adalah cerminan kehidupan. Ia mungkin terlihat biasa, tetapi di balik setiap gigitannya, ada cerita tentang kerja keras, keberkahan, dan rasa syukur. Maka, lain kali ketika kita memakan sepotong roti, mari berhenti sejenak untuk merenungkan semua tangan yang telah bekerja untuk menghadirkannya di meja kita. Dan yang lebih penting, mari kita syukuri nikmat Allah yang tercermin dalam setiap butir gandum yang diubah menjadi roti.

Mari renungkan firman Allah: “Maka makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepada kalian, dan bersyukurlah atas nikmat-Nya, jika kalian hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. An-Nahl: 114)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama