IMM: Perjalanan, Tantangan, dan Keberkahan dalam Perkaderan

 

Saya masih ingat saat pertama kali menjadi asisten instruktur dalam Darul Arqam Dasar (DAD). Sore itu, saya harus memimpin kelas sementara menunggu pemateri yang belum tiba. Awalnya, saya bisa mengendalikan suasana, tetapi setelah beberapa menit, saya mulai kehabisan bahan pembicaraan. Saya tidak ingat persis bagaimana saya mengatasi situasi itu, tetapi yang pasti, itu adalah momen yang menegangkan. - Nurhira Abdul Kadir -



-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 15 Maret 2025

 

IMM: Perjalanan, Tantangan, dan Keberkahan dalam Perkaderan

 

Oleh: Nurhira Abdul Kadir

 

Saya tidak menyadari bahwa hari ketika saya diundang untuk mengisi materi dalam Pelatihan Instruktur Dasar Nasional yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Gowa, Sulawesi Selatan, adalah hari yang spesial. Jumat, 14 Maret 2025, ternyata merupakan peringatan ulang tahun ke-61 IMM.

Tanpa sengaja, saya mengenakan pakaian merah hati. Awalnya, saya hanya ingin menyamakan warna pakaian dengan moderator yang kemungkinan besar akan mengenakan jas merah hati. Namun, ternyata warna ini memiliki makna tersendiri bagi saya.

Sepanjang perjalanan saya di IMM, meskipun telah mengikuti berbagai tahapan perkaderan hingga Darul Arqam Madya (DAM) pada era 90-an, saya tidak pernah memiliki jas merah maroon yang menjadi kebanggaan.

Mungkin, seumur hidup saya tidak pernah mengenakannya. Saya hanya bisa mengagumi senior-senior IMM masa itu—Kak Amirah Mawardi (kini Dekan Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Makassar) dan Kak Fatmawati Rahim (mantan anggota KPU Sulawesi Selatan)—dengan jas merah maroon mereka. Keduanya adalah sosok perempuan yang hingga kini menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Bergabung dengan IMM memberi saya banyak pelajaran berharga di luar akademik. Meskipun pernah menjadi Ketua OSIS di SMP Negeri 1 Sendana dan Wakil Ketua OSIS di SMA Negeri 1 Majene, kemampuan organisasi saya masih minim. Terutama dalam mengelola pertemuan dan diskusi.

Saya masih ingat saat pertama kali menjadi asisten instruktur dalam Darul Arqam Dasar (DAD). Sore itu, saya harus memimpin kelas sementara menunggu pemateri yang belum tiba. Awalnya, saya bisa mengendalikan suasana, tetapi setelah beberapa menit, saya mulai kehabisan bahan pembicaraan. Saya tidak ingat persis bagaimana saya mengatasi situasi itu, tetapi yang pasti, itu adalah momen yang menegangkan.

Situasi semakin menantang ketika pemateri akhirnya datang tetapi tidak segera meninggalkan ruangan setelah sesi selesai. Saya yang sudah kelelahan masih harus tetap menjaga suasana kelas. Saking gugupnya, saya berulang kali mengucapkan terima kasih kepada pemateri, tetapi ia tetap bertahan di ruangan.

Beruntung, masa-masa itu telah berlalu. Kini saya bukan anak-anak lagi, seperti yang dikatakan Chairil Anwar dalam Derai-derai Cemara. Meski perjalanan di IMM penuh tantangan, pengalaman tersebut tetap menjadi salah satu hal terbaik dalam perjalanan akademik saya di jenjang S1.

 

Tantangan IMM Masa Kini

 

Setelah membawakan materi dalam Pelatihan Instruktur Dasar, saya berbincang dengan panitia mengenai tantangan ber-IMM di era saat ini. Mereka mengungkapkan bahwa semakin sulit mengajak mahasiswa untuk bergabung dengan IMM. Bahkan, banyak mahasiswa yang cenderung enggan berorganisasi—apa pun bentuknya.

Salah satu penyebabnya adalah tren di media sosial yang menyebarkan anggapan bahwa berorganisasi tidak lagi menjadi pilihan yang bernilai bagi mahasiswa. Pengalaman magang di perusahaan atau memulai usaha sendiri dianggap lebih menarik bagi calon employer dibandingkan pengalaman berorganisasi.

Selain itu, kondisi kampus juga tidak selalu mendukung pertumbuhan organisasi mahasiswa di luar organisasi resmi kampus. Beberapa perguruan tinggi membatasi mahasiswa baru untuk bergabung dengan organisasi hingga melewati batas Drop Out (DO). Ada pula kebijakan yang melarang mahasiswa bergabung dengan lebih dari satu organisasi, serta aturan yang melarang organisasi berbasis ideologi tertentu masuk ke dalam kampus karena dianggap berpotensi menimbulkan perpecahan.

Tentu saja, hal ini cukup memprihatinkan. Namun, sejatinya tantangan semacam ini bukanlah hal baru bagi IMM. Dari masa ke masa, IMM selalu menghadapi berbagai hambatan yang berbeda. Hanya ketulusan, keikhlasan, dan kegigihan yang membuat IMM tetap menjadi ruang belajar bagi mahasiswa untuk berkembang dalam aspek kedewasaan, akhlak, iman, dan ilmu.

 

Kenangan yang Tak Terlupakan

 

Saya teringat pengalaman mengikuti DAM di Gedung Fort Rotterdam, Makassar, tahun 1998. Karena kelelahan dan mengantuk, saya pernah meminta izin kepada Kak Dahlan Lamabawa (kini Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan), yang saat itu menjadi Master of Training, untuk mundur dari pelatihan dan pulang ke rumah.

Dengan senyum khasnya, beliau menjawab, “Tak apa, Hira, kau boleh berhenti, tetapi kau harus melapor dulu kepada Pimpinan Cabang yang mengirim namamu.”

Mendengar itu, saya akhirnya bertahan dan tidak jadi pulang. Walaupun saya yakin tidak banyak materi yang bisa saya serap karena kelelahan, saya percaya bahwa berkah dari pengalaman itu jauh lebih berharga daripada sekadar pengetahuan yang diperoleh.

 

Pesan untuk Kader IMM

 

Dalam Pelatihan Instruktur Dasar kali ini, saya menyampaikan kepada peserta bahwa mengikuti pelatihan di bulan Ramadan tentu tidak mudah. Saya katakan, tidak apa jika kalian mengantuk dan tertidur karena kelelahan. Tetapi satu hal yang penting: jangan menyerah. Jangan tinggalkan ruangan. Bertahanlah, meskipun hanya untuk merasakan keberkahan dari kebersamaan ini.

Selamat ulang tahun ke-61, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Fastabiqul Khayrat!

 

....

(Penulis: dr. Nurhira Abdul Kadir, MPH., PhD, adalah Ketua Divisi Pelayanan Majelis Pembina Kesehatan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Sulawesi Selatan / Ketua Prodi Pendidikan Dokter FKIK UIN Alauddin Makassar)




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama