-------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 18 Maret 2025
Catatan Ringan:
Klopp dan Warisan yang Tak Terlihat
Oleh: Andi Afdal Abdullah
(Dokter / Direktur SDM dan Umum BPJS
Kesehatan)
Sepak bola, seperti organisasi besar
lainnya, bukan hanya soal strategi dan eksekusi. Ia adalah tentang manusia,
ritme kerja, dan bagaimana semangat kolektif dibangun. Tidak ada yang lebih
membuktikan hal ini selain Liverpool.
Ketika Jürgen Klopp mengumumkan
perpisahannya dari Anfield, banyak yang merasa khawatir. Bukan hanya karena ia
pelatih yang sukses, tetapi karena ia adalah arsitek utama dari kebangkitan
Liverpool setelah bertahun-tahun terombang-ambing dalam mediokritas.
Klopp bukan hanya membawa strategi
gegenpressing yang agresif, tetapi juga mentalitas never give up, semangat
You’ll Never Walk Alone yang tidak sekadar slogan, tetapi menjadi DNA tim.
Namun, sesuatu yang menarik terjadi.
Liverpool tidak limbung. Tidak ada drama, tidak ada kehancuran yang biasa
terjadi ketika sebuah klub besar kehilangan sosok pemimpinnya. Padahal, kita
sering melihat tim-tim besar runtuh ketika pelatih legendaris mereka pergi.
Manchester United setelah Sir Alex Ferguson, Arsenal setelah Arsène Wenger,
atau bahkan Barcelona pasca-Pep Guardiola.
Mengapa Liverpool Berbeda? Jawabannya
sederhana tetapi sering diabaikan: budaya organisasi. Karakter dan value
organisasi yang dibangun.
Klopp membangun sesuatu yang lebih dari
sekadar taktik. Ia membangun ikatan, membentuk karakter, dan menanamkan
mentalitas juara di setiap pemain dan stafnya. Ini bukan sekadar permainan di
atas lapangan, tetapi bagaimana seluruh elemen dalam organisasi memiliki
pemahaman yang sama tentang apa arti menjadi bagian dari Liverpool.
Saat Klopp pergi, Liverpool tidak mulai
dari nol. Tidak ada upaya untuk menghapus masa lalu dan membangun sesuatu yang
baru dari awal. Sebaliknya, mereka melakukan transisi dengan mempertahankan hal
yang paling berharga: warisan budaya itu sendiri.
Arne Slot, yang menggantikan Klopp, tidak
datang untuk merombak segalanya. Ia datang untuk merawat warisan itu. Tim ini
tidak perlu diubah total, hanya dipertajam, diberi sentuhan baru tanpa
menghancurkan fondasi yang telah dibangun bertahun-tahun.
Dalam dunia organisasi, hal seperti ini
adalah anomali. Kita sering melihat perusahaan besar goyah ketika CEO mereka
pergi. Kita menyaksikan bagaimana pergantian kepemimpinan di organisasi
pemerintahan sering kali berujung pada ketidakseimbangan, ketidakjelasan visi,
dan terkadang kehancuran total.
Budaya yang Lebih Besar dari Individu
Salah satu contoh terbaik dari warisan
budaya ini adalah bagaimana para pemain Liverpool tetap menjaga standar tinggi
mereka bahkan setelah kepergian Klopp. Ini bukan hanya soal kepemimpinan di
ruang ganti, tetapi tentang bagaimana semua elemen di dalam klub – dari pemain
senior, staf pelatih, hingga manajemen – memahami bahwa mereka adalah bagian
dari sesuatu yang lebih besar.
Mohamed Salah, Virgil van Dijk, Alisson
Becker, dan para pemain lainnya tetap menjadi pilar utama tim bukan karena
mereka terikat kontrak, tetapi karena mereka percaya pada proyek ini. Mereka
percaya pada budaya yang telah dibangun.
Ini adalah prinsip dasar dalam organisasi
mana pun. Ketika karyawan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar,
mereka tidak akan mudah terguncang oleh perubahan kepemimpinan. Mereka akan
tetap menjalankan peran mereka dengan komitmen penuh, karena mereka tidak
bekerja untuk satu individu, tetapi untuk tujuan yang lebih luas.
Mengapa Banyak Organisasi Gagal dalam
Transisi?
Banyak organisasi gagal dalam suksesi
kepemimpinan karena mereka melihatnya sebagai momen revolusi, bukan evolusi.
Mereka mengubah pemimpin dan menganggap bahwa segalanya harus dirombak, tanpa
mempertimbangkan warisan yang telah ada.
Di sepak bola, kita sering melihat contoh
buruk dari transisi yang gagal. Manchester United pasca-Sir Alex Ferguson
adalah salah satu contohnya. Tidak ada kesinambungan dalam strategi, tidak ada
upaya untuk menjaga budaya yang telah dibangun. Akibatnya, mereka terjebak
dalam siklus kegagalan selama bertahun-tahun.
Sebaliknya, organisasi yang memahami
pentingnya menjaga budaya justru bisa mempertahankan kestabilan meski terjadi
perubahan kepemimpinan. Inilah yang membuat Liverpool tetap kokoh, bahkan
setelah Klopp pergi.
Kepemimpinan yang Tidak Sekadar Instruksi
Kepemimpinan yang sukses bukan hanya
tentang memberi perintah atau merancang strategi. Ia tentang membangun ikatan
emosional, tentang menanamkan nilai-nilai yang akan tetap hidup bahkan ketika
pemimpin itu sudah tidak ada.
Jürgen Klopp bukan hanya seorang pelatih,
ia adalah seorang pemimpin yang memahami bahwa sepak bola adalah tentang
manusia. Ia menciptakan suasana di mana setiap pemain merasa dihargai, di mana
mereka merasa bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar menang atau
kalah.
Di dunia korporasi dan pemerintahan,
pemimpin seperti ini sering kali langka. Banyak pemimpin yang hanya berfokus
pada angka, target, dan hasil jangka pendek, tetapi lupa membangun fondasi yang
lebih dalam: budaya organisasi.
Pelajaran bagi Organisasi Seperti BPJS
Kesehatan
Ambil contoh BPJS Kesehatan, organisasi
besar yang melayani ratusan juta rakyat Indonesia. Di dalamnya, ada ribuan
pegawai dengan tugas memastikan layanan kesehatan tetap berjalan, terlepas dari
siapa yang duduk di kursi manajemen atau direksi atau senior leaders-nya.
Apakah perubahan kepemimpinan bisa
mengguncang sistem? Tentu saja. Namun, organisasi yang matang akan memiliki
mekanisme transisi yang baik, memastikan bahwa nilai-nilai, sistem kerja, dan
budaya tetap terjaga.
Seperti Liverpool, BPJS Kesehatan bukan
hanya tentang individu yang memimpin, tetapi tentang sistem yang lebih besar
dari satu orang. Pergantian direksi atau manajer tidak boleh berarti pergantian
visi yang drastis. Perubahan harus bersifat evolutif, bukan revolusioner,
kecuali dalam keadaan krisis yang mengharuskan perombakan total.
Liverpool mengajarkan kita bahwa kunci
dari transisi yang sukses bukan hanya memilih pemimpin yang tepat, tetapi juga
memastikan bahwa budaya yang telah dibangun tidak hilang begitu saja.
Ini Kuncinya: Warisan yang Tak Terlihat
Apa yang membuat Liverpool tetap kuat
bukan hanya strategi atau pelatihnya, tetapi nilai-nilai yang telah tertanam
dalam tim ini. Nilai tentang kerja keras, kebersamaan, dan mentalitas juara.
Organisasi mana pun, baik itu klub sepak
bola, perusahaan multinasional, atau lembaga negara seperti BPJS Kesehatan,
bisa belajar dari ini. Bahwa warisan yang paling berharga bukan hanya rencana
strategis atau dokumen kebijakan, tetapi budaya yang hidup di dalam organisasi.
Ketika budaya itu kuat, pergantian
kepemimpinan bukan menjadi ancaman, tetapi justru menjadi peluang untuk terus
berkembang.
Klopp pernah bilang: “It’s not about me,
it’s about us. It’s about this club, this city, and these people. We are
Liverpool. And we will always be”. (Ini bukan tentang saya, ini tentang kita.
Ini tentang klub ini, kota ini, dan orang-orang ini. Kita adalah Liverpool. Dan
kita akan selalu menjadi Liverpool).
Dan dalam organisasi mana pun, hal yang
sama berlaku: pemimpin datang dan pergi, tetapi warisan yang sejati adalah yang
tetap hidup di hati mereka yang meneruskannya.
Buat BPJS, kita meyakini, We are BPJS
Kesehatan, and we will always be…..