------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 07 Maret 2025
Kisah Nabi Muhammad SAW (3):
Lahirnya Abdul Muthalib Kakek Rasulullah
Penulis: Abu Hasan Ali An-Nadwi
Mencuri dan merampok saat itu adalah hal
yang biasa. Hanya sebagian kecil saja orang yang tidak pernah melakukannya.
Perampok pun bukan cuma mengincar harta dan benda, tetapi juga orang yang
dirampok. Perampok biasa menjadikan orang-orang yang telah dirampoknya menjadi
tawanan dan budak belian.
Saat itu, perilaku bangsa Arab amat kejam,
sampai melewati batas perikemanusiaan. Anak-anak perempuannya sendiri mereka
bunuh. Ada yang dikubur hidup-hidup ke dalam tanah, ada pula yang ditaruh dalam
tong dan diluncurkan dari tempat yang tinggi. Mereka malu jika mempunyai anak
perempuan.
Mereka juga suka menyiksa binatang. Jika
seseorang mati, keluarganya mengikat unta di atas kuburan dan tidak memberikan
makan serta minum sampai si unta mati. Mereka beranggapan unta itu kelak akan
menjadi tunggangan si mati.
Musuh yang tertangkap diperlakukan sangat
kejam. Mereka biasa mengikat musuh pada seekor kuda dan membiarkan kuda
tersebut berlari sehingga orang yang diikat itu mati terseret-seret. Telinga
atau hidung musuh yang kalah dijadikan kalung, serta tengkoraknya dijadikan
tempat minum arak.
Orang jahiliyah juga tidak mengenal sopan
santun. Mereka biasa berkeliling Ka’bah tanpa memakai pakaian. Begitulah
kebiasaan orang-orang Arab saat itu.
Mereka adalah bangsa yang maju
perdagangannya, pandai membuat perkakas, membuat obat, ahli astronomi, serta
mahir bersyair. Namun mereka juga mempunyai kebiasaan buruk.
Dalam urusan makan dan minum pun, tidak
ada yang dilarang. Segala macam binatang boleh dimakan. Binatang yang sudah
mati pun disayat dagingnya, dibakar, dan dimakan. Mereka juga suka meminum
darah, binatang, dan makanan darah yang dibekukan.
Al Muthalib
Suatu hari, Hasyim pergi berdagang menuju
Syam. Ketika melewati Yatsrib, (di kemudian hari disebut Madinah), Hasyim
melihat seorang wanita baik-baik dan terpandang.
“Siapakah wanita itu?” tanya Hasyim kepada
orang-orang Yatsrib.
“Dia adalah Salma binti Amr. Suaminya
telah tiada. Kini dia seorang janda.”
Mendengar itu, Hasyim melamar Salma dan
Salma pun menerimanya. Mereka lalu menikah. Hasyim tinggal di Yatsrib beberapa
lama. Ketika Salma mengandung, Hasyim melanjutkan perniagaannya. Namun, itulah
kali terakhir Salma melihat suaminya karena Hasyim tidak pernah kembali lagi.
Ia meninggal dunia di Palestina.
Salma melahirkan seorang anak laki-laki
yang kemudian diberi nama Syaibah. Sementara itu, sepeninggal Hasyim,
kedudukannya sebagai pemuka masyarakat Mekah dipegang oleh adik Hasyim yang
bernama Al Muthalib.
Al Muthalib juga seorang laki-laki
terpandang yang dicintai penduduk Mekah. Orang-orang Quraisy menjulukinya
dengan sebutan Al Fayyadh yang berarti Sang Dermawan.
Suatu hari, dia mendengar bahwa Syaibah,
keponakannya yang tinggal di Yatsrib, sedang tumbuh remaja.
“Aku harus menemuinya,” pikir Al Muthalib.
“Dia adalah anak kakakku. Dulu ayahnya
adalah pemuka Mekah, maka dia harus pulang untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya
menggantikan aku.”
Ketika Al Muthalib bertemu Syaibah di
Yatsrib, dia tersentak, “Anak ini benar-benar mirip Hasyim.”
“Mari Nak, ikut Paman ke Mekah,” peluk Al
Muthalib.
“Tetapi, jika ibu tidak mengizinkan pergi,
aku akan tetap tinggal di sini,” jawab Syaibah
Syaibah
Nama Syaibah diberikan karena ada rambut
putih (uban) di kepalanya sejak dia kecil. Selain Syaibah, Hasyim telah
memiliki empat putra dan lima putri yang tinggal di Mekah.
Abdul Muthalib
“Tidak. Aku tidak akan membiarkannya
pergi,” jawab Salma.
“Dia buah hatiku satu-satunya. Wajahnyalah
yang senantiasa mengingatkan aku akan wajah ayahnya,” lanjut Salma.
“Aku juga menyayangi Hasyim,” kata Al
Muthalib,
“Bukan cuma aku, tetapi penduduk kota
Mekah juga menyayanginya. Mereka pasti akan senang sekali menyambut kedatangan
putra Hasyim. Begitu melihat wajah anak ini, rasa sayangku timbul kepadanya.
Seolah-olah aku melihat Hasyim hidup kembali dan berdiri di hadapanku,” ungkap
Al Muthalib.
Dia kemudian melanjutkan, “Izinkan aku
membawanya pergi. Sesungguhnya Mekah adalah kerajaan ayahnya dan Mekah adalah
tanah suci yang dicintai oleh seluruh bangsa Arab. Tidakkah pantas putramu
pergi ke sana dan melanjutkan pemerintahan ayahnya?”
Salma memandang Syaibah dengan mata
berkaca-kaca. Hatinya ingin agar putra satu-satunya itu tetap tinggal di
sisinya. Namun, ia tahu masa depan Syaibah bukan di Yatsrib, melainkan di
Mekah. Akhirnya, ia pun mengangguk, “Baiklah, kuizinkan ia pergi.”
Dengan amat gembira, Al Muthalib mengajak
keponakannya itu pulang. Syaibah duduk membonceng unta di belakang pamannya.
Ketika mereka tiba di Mekah, orang-orang
menyangka bahwa anak yang duduk di belakang Al Muthalib adalah budaknya.
“Abdul Muthalib (Budak Al Muthalib)! Abdul
Muthalib!” panggil mereka kepada Syaibah.
“Celaka kalian! Dia bukan budakku, dia
anak saudaraku, Hasyim!” kata Al Muthalib.
Namun, orang-orang telanjur menyebutnya demikian sehingga akhirnya nama Syaibah pun terlupakan. Setelah itu, dia dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Dia kelak menjadi kakek Nabi Muhammad ﷺ. (Bersambung)
......
Kisah Bagian 4:
Abdul Muthalib Yakin Sumur Zamzam Masih Ada
Kisah Bagian 2: