-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 15 Maret 2025
Logika Keboan Karatan
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Ahad pukul 07:22 yang bertepatan dengan
tanggal 23/2/2025, saya menggores diksi ecekan di media sosial online yang
bertopik, Demo Murni Alami, dan lebih kurangnya. Ada beberapa yang inboks, dan
bertanya tentang kondisi saat ini/demo?
Saya balas, ... saya mengawali dengan
diksi canda... belum diterawang tu,.. soalnya lagi di puncak, belum turun
lereng !
Lalu, saya agak serius berkomentar ...
Terlalu dini menilai gosokan demo, itu ada tumpeng tumpangan di pagi hari.
Ngidam demo murni mengalir alami, itu
bertanda rasa mual dikarenakan ada pembuahan maksimal, bukan pembualan akibat
ngiler pada buah mangga muda milik tetangga!
Dan mungkin terlalu galau untuk menilai
pemerintah Prabowo yang belum seumur jagung mesti dipanggang dalam arang hingga
gosong berpanggung.
Tetapi, mesti bening menilai, diakui dan
kini, logis telah cekatan melakukan tindakan nyata, bila ada kaki tangannya
yang sok arogansi gaya dinasti disikatin tanpa kenal buluan.
Semoga demikian juga akan berkelanjutan
dan tentu harapan dengan makin lebih cingklong lagi, dan moga moga bertahan,
setahun baru logis turun gunung.... ! agar tak keburuan dituduhin lagi
berlogika yang bergaya keboan.
Gaya Logika Keboan
Logika keboan yang hanya beradius kubangan
karatan jadi aquarium kelogisan bah diksi Kureyon si Shin-chan saja, mungkin
eloknya memang dihindari di dunia akademisan.
Termasuk, gaya logika ceboan yang
berbudaya kubu-kubuan bah keboan yang justru merusak dinamik akademika yang
berarena pada radius kecemerlangan tingkat tinggi guna menjangkau semesta
jingga di dalam ber-"iqro bismirabbikalladzi kholaq: Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan."QS al-alaq:2 dengan tulen
Bertuhan.
Esensi ketulenan Bertuhan dengan mengkaji
kemestaan di dalam pengabdian sebagai hamba yang “wa mâ khalaqtul-jinna
wal-insa illâ liya'budûn” Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Ku (QS Az-Zariyat:56).
Sekalipun, makhluk ciptaan Tuhan bukan
hanya jin dan manusia saja, namun hewan dan tumbuhan pun menjadi hambaNya
untuk mengabdi kepadaNya sesuai kadar dan durasi kerjanya masing-masing
berlanggam sehingga tak benturan jadi racun.
Sebagaimana diksi diwariskan oleh Buya
Hamka yang berlanggam _ “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup.
Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.” (t.thn).
Langgam Kerja Logika Beracun
Langgam berakademik yang berakar pada “Iqro
bismirabbikalladzi kholaq” sesungguhnya, mesti berprinsip mendasar, di mana
dalam beradu logika mesti dinamik agar radius cerdas dan tangkas menjadi
cingklong menawan.
Namun, di dalam tatakelola mesti dinamis
dengan lentur yang berakar pada humanis romantis yang penuh wela asih sehingga
logika tak berkesan judes gaya robotan karatan yang berbudaya Tarsan bah diksi
Kureyon si Shin-chan saja
Budayakan logika brilian, minimal kebekuan
butiran aliran racun penyumbat saraf kemercerlangan bisa cair bening apa
adanya.
Guna melakoni molekul kecerdasan hidup
berakademika dinamis hingga bermautan pun, supaya tetap dikenang berbinang
kecemerlangan nan mencerahkan keilmuan untuk diwarisin.
Juga menjadi akses Iqro bernafas tulus
yang berlogika tulen yang Berketuhanan yang “... bismirabbikalladzi kholaq” di
dalam mengabdi tanpa apologist domestic demi logistics doang yang akan dikenang!
Dikenang, sekalipun tak bisa diduga pula,
kapan akan berlabuan kuburan menjadi saksi akan aksi denyutan yang kini
sedang/lagi bersirkulasi dahsyat berdasarkan kadar porsinya masing masing.
Entah, sirkulasi denyutan tabungan logika
beracun atau akses lain yang sedang dirasakan, dan hanya sisa waktu
bersalaman tulen.
Bersalaman logika tulen, bukan jua bah
kekalutan kawatan karatan plus bengkokan yang hanya menjadi akses gantungan
sangkar burung doangan, dan atau beridentik dengan logika keboan karatan pula! Wallahu
a’lam.