-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 26 Maret 2025
Menata Hati dari Penyakit Hati
Oleh: Asnawin Aminuddin
Hati adalah cerminan jiwa. Baik atau
buruknya hati akan memengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kebersihan hati, karena hati yang
bersih akan membawa kedamaian dan ketenangan, sementara hati yang kotor penuh
dengan penyakit akan menjerumuskan manusia dalam keburukan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
Yauma laa yanfa'u maaluw wa laa banụn, illaa
man atallaaha biqalbin salīm
“Pada hari ketika harta dan anak-anak
tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(QS. Asy-Syu'ara: 88-89)
Ayat ini menegaskan bahwa hati yang bersih
adalah bekal utama yang akan menyelamatkan kita di hadapan Allah kelak. Namun,
menjaga hati bukanlah perkara mudah, sebab hati sering kali disusupi oleh
berbagai penyakit yang merusak kesucian dan ketulusan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ketahuilah bahwa dalam jasad ada segumpal
daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak maka
rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.”
Ada beberapa macam penyakit hati, antara
lain riya’ (pamer amal), hasad (iri dan dengki), takabur (sombong), dan ujub
(bangga diri).
Penyakit hati pertama, riya’ (pamer amal).
Riya' adalah melakukan ibadah atau kebaikan bukan karena Allah, melainkan untuk
mencari pujian atau pengakuan manusia. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa riya'
termasuk syirik kecil yang dapat menghapus pahala amal.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya orang yang pertama kali
diadili pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang mati syahid. Dia
didatangkan, lalu diperlihatkan nikmat-nikmat kepadanya, dan dia pun
mengakuinya. Allah bertanya: 'Apa yang kamu lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia
menjawab: 'Aku berperang di jalan-Mu hingga mati syahid.' Allah berfirman:
'Kamu berdusta! Kamu berperang agar dikatakan pemberani, dan itu sudah
dikatakan.' Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya hingga
dilemparkan ke neraka. Demikian pula seorang yang belajar ilmu dan
mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an, tetapi niatnya hanya untuk disebut
sebagai orang alim dan qari'. Dan seorang yang bersedekah dengan harta
melimpah, tetapi niatnya agar dikatakan dermawan. Mereka semua tertolak dan
dihukum di neraka." (HR. Muslim, no. 1905)
Penyakit hati yang kedua yaitu hasad (iri
dan dengki). Hasad adalah merasa tidak senang atas nikmat yang diperoleh orang
lain dan berharap nikmat tersebut hilang. Penyakit ini membakar kebaikan
sebagaimana api membakar kayu. Hati
yang dihinggapi hasad tidak akan pernah merasa tenteram, sebab ia selalu merasa
kurang dan tidak puas.
Pada zaman Rasulullah, ada seorang yang
hatinya hasad, yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia adalah pemimpin dari Bani
Khazraj yang juga merupakan pemimpin di kota Madinah. Madinah dulu namanya Yatsrib,
tetapi setelah Rasulullah datang, nama Yatsrib diubah menjadi Madinah.
Rasulullah mengganti nama Yatsrib menjadi
Madinah dengan alasan untuk menciptakan masyarakat yang patuh kepada Allah dan
untuk mengubah kondisi kota yang gelap menjadi terang.
Alasan menciptakan masyarakat patuh kepada
Allah, karena Rasulullah ingin menciptakan masyarakat yang tunduk dan patuh
kepada Allah SWT.
Rasulullah mengganti nama Yatsrib dengan
nama yang lebih baik, sebagaimana kebiasaan beliau saat menemui nama-nama yang
buruk. Penggantian nama tersebut bertujuan mengubah kondisi kota yang gelap
menjadi terang.
Dulunya kerap terjadi pertempuran di kota Yatsrib.
Nama Yatsrib diambil dari kata ats-tsarbu yang berarti kerusakan dan tasrib
yang berarti menghukum seseorang karena telah berbuat dosa.
Di kota Yatsrib inilah dulu, Abdullah bin
Ubay bin Salul, menjadi pemimpin Bani Khazraj, tetapi setelah kedatangan
Rasulullah, pengaruh Abdullah bin Ubay bin Salul menjadi berkurang, karena
itulah ia membenci Rasulullah SAW karena merasa cemburu dan takut kehilangan
pengaruhnya sebagai penguasa di Madinah.
Karena pengaruhnya berkurang, bahkan
berkurang jauh, maka mau tidak mau akhirnya ia memeluk agama Islam. Ia mengaku
beriman kepada Allah SWT, tetapi sebenarnya ia adalah orang munafik. Ia
memendam kebencian dan permusuhan terhadap Rasulullah.
Abdullah bin Ubay bin Salul menyebarkan
propagranda dan api kebencian terhadap kaum Muhajir di hadapan kelompoknya. Ia
bersikap sinis terhadap Rasulullah karena merasa cemburu dan takut kehilangan
pengaruh.
Ia memusuhi Nabi Muhammad dengan cara-cara
halus dan konspiratif. Kisahnya menjadi salah satu penyebab turunnya ayat dalam
Al-Qur'an, yaitu Surat al-Munafiqun ayat 8:
يَقُوْلُوْنَ لَىِٕنْ رَّجَعْنَآ اِلَى الْمَدِيْنَةِ
لَيُخْرِجَنَّ الْاَعَزُّ مِنْهَا الْاَذَلَّۗ وَلِلّٰهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهٖ
وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلٰكِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَࣖ ٨
Wa anfiqụ mimmaa razaqnaakum ming qabli ay
ya`tiya aḥadakumul-mautu fa yaqụla rabbi lau laa akhkhartanii ilaa ajaling qariibin
fa aṣṣaddaqa wa akum minaṣ-ṣaaliḥiin
“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya jika kita
telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang
yang lemah dari padanya’. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi
Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada
mengetahui.
Abdullah bin Ubay bin Salul seorang
munafik, tetapi putranya yang bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul
merupakan salah seorang Sahabat Nabi dan salah seorang dari beberapa sekretaris
Rasulullah dalam penulisan wahyu.
Takabur
Penyakit hati yang ketiga yaitu takabur (sombong).
Sifat sombong menyebabkan seseorang merasa lebih baik dari orang lain. Allah
SWT sangat membenci sifat ini dan mengancam orang yang sombong tidak akan masuk
surga.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk
surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji zarrah.”
(HR. Muslim, no. 91)
Jangankan masuk surga, makhluk yang berada
di surga pun diusir karena kesombongannya dan itulah yang terjadi pada diri
Iblis.
Iblis diusir dari surga karena
kesombongannya, yaitu menolak perintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam,
dengan alasan dirinya lebih mulia karena terbuat dari api, sedangkan Adam dari
tanah.
Iblis, yang dulunya adalah makhluk mulia
di surga, merasa dirinya lebih tinggi derajatnya dibandingkan Nabi Adam. Allah
memerintahkan semua makhluk di surga, termasuk Iblis, untuk sujud kepada Nabi
Adam, namun Iblis menolak perintah tersebut. Iblis beranggapan bahwa dirinya
lebih istimewa karena terbuat dari api, sedangkan Adam dari tanah.
Karena kesombongannya dan penolakan
perintah Allah, Iblis diusir dari surga dan menjadi makhluk yang terkutuk.
Setelah diusir dari surga, Iblis kemudian meminta kepada Allah tangguhan atas
kematiannya sampai dengan hari kiamat. Jadi Iblis masih hidup sejak sebelum
Nabi Adam diciptakan sampai dengan hari kiamat nanti, tetapi ia sudah dijamin
masuk neraka.
Kesombongan Fir’aun
Dalam Surah Asy Syu'ara / 23, ayat 23 -
51: Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?” Musa menjawab: “Tuhan
Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu),
jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”.
Berkata Fir’aun kepada orang-orang
sekelilingnya: “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula): “Tuhan
kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu”.
Fir’aun berkata: “Sesungguhnya Rasulmu
yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila”. Musa berkata: “Tuhan
yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah
Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”.
Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu
menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang
yang dipenjarakan”. Musa berkata: “Dan apakah (kamu akan melakukan itu)
kendatipun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?”
Fir’aun berkata: “Datangkanlah sesuatu
(keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar”.
Maka Musa melemparkan tongkatnya, lalu tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular
yang nyata. Dan ia menarik tangannya
(dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi
orang-orang yang melihatnya.
Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesar
yang berada sekelilingnya: Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir
yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya;
maka karena itu apakah yang kamu anjurkan?”
Mereka menjawab: “Tundalah (urusan) dia
dan saudaranya dan kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan
mengumpulkan (ahli sihir), niscaya mereka akan mendatangkan semua ahli sihir
yang pandai kepadamu”.
Lalu dikumpulkan ahli-ahli sihir pada
waktu yang ditetapkan di hari yang maklum, dan dikatakan kepada orang banyak:
“Berkumpullah kamu sekalian. Semoga kita mengikuti ahli-ahli sihir jika mereka
adalah orang-orang yang menang”
Maka tatkala ahli-ahli sihir datang,
merekapun bertanya kepada Fir’aun: “Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah
yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?”
Fir’aun menjawab: “Ya, kalau demikian,
sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan
(kepadaku)”.
Berkatalah Musa kepada mereka:
“Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan”. Lalu mereka melemparkan tali
temali dan tongkat-tongkat mereka dan berkata: “Demi kekuasaan Fir’aun, sesungguhnya
kami benar-benar akan menang”.
Kemudian Musa menjatuhkan tongkatnya maka
tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu. Maka
tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah), mereka berkata:
“Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun”.
Fir’aun berkata: “Apakah kamu sekalian
beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia
benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti
benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan
memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu
semuanya”.
Mereka berkata: “Tidak ada kemudharatan
(bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami, sesungguhnya
kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena
kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman”.
Ujub (Bangga Diri)
Penyakit hati yang keempat yaitu ujub (bangga
diri). Ujub adalah merasa kagum atas dirinya sendiri, lupa bahwa semua yang
dimiliki adalah karunia dari Allah.
Ketahuilah wahai hamba yang bertawadhu’
–semoga Allah lebih meninggikan derajat bagimu-, bahwa manusia tidak akan
takabbur kepada orang lain sampai dia terlebih dahulu merasa ‘ujub
(membanggakan diri) terhadap dirinya, dan dia memandang dirinya memiliki kelebihan
dari orang lain. Maka dari ‘ujub ini muncul kesombongan.
Dan ‘ujub merupakan perkara yang
membinasakan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tiga
perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa
nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya”. (Silsilah Shahihah,
no. 1802)
Jadi ujub itu adalah sifat sombong tetapi
tidak diungkapkan. Sifat ujub ada dalam diri tetapi tidak ditampakkan.
Menata dan Menjaga Kebersihan Hati
Ada beberapa cara menata dan menjaga
kebersihan hati. Pertama, memperbanyak dzikir dan istighfar. Mengingat Allah
dan memohon ampunan adalah cara terbaik membersihkan hati dari kotoran batin.
Dzikir mendekatkan kita kepada Allah dan menenangkan jiwa.
Kedua, ikhlas dalam beramal. Luruskan niat
hanya karena Allah dalam setiap perbuatan. Keikhlasan akan menjaga amal dari
riya' dan menjadikan setiap perbuatan bernilai ibadah.
Ketiga, menumbuhkan rasa syukur dan
qana'ah. Bersyukur atas segala nikmat Allah mencegah kita dari hasad. Qana'ah
(merasa cukup) membawa ketenangan batin dan menjauhkan hati dari iri hati.
Keempat, memperbaiki akhlak dan bersikap
tawadhu'. Rendah hati di hadapan Allah dan sesama manusia akan mencegah kita
dari sifat sombong dan ujub. Akhlak mulia mencerminkan hati yang bersih.
Cara menghindari ujub: pertama, sadarilah
bahwa semua kelebihan yang dimiliki adalah karunia dari Allah. Kedua, selalu
mengingat Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya. Ketiga, berdoa meminta
perlindungan dari penyakit hati, termasuk ujub. Keempat, berkaca pada
kekurangan diri
Kelima, mencari ilmu dan bersahabat dengan
orang saleh. Ilmu agama membimbing kita membedakan yang benar dan salah.
Bersahabat dengan orang saleh membawa kita ke lingkungan yang baik dan penuh
nasihat.
Menata hati adalah perjalanan panjang yang
membutuhkan kesungguhan dan keikhlasan. Dengan hati yang bersih, hidup akan
terasa lebih ringan, penuh keberkahan, dan mendekatkan kita kepada keridhaan
Allah SWT. Semoga Allah membimbing kita semua untuk memiliki hati yang bersih
dan jauh dari segala penyakit hati. Aamiin.***