Menjadi Sosiolog, Akademisi, dan Ustadz

Tatjong Mappawata adalah dosen Sosiologi Fisipol Unhas yang mengabdikan dirinya sebagai dosen hingga purnatugas. Selain memiliki nama yang khas, juga memiliki retorika yang khas, sehingga mudah mengenalinya dan tentu setiap mahasiswa yang pernah beliau ajar mudah mengingat gayanya dalam mengajar. 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 15 Maret 2025

 

Menjadi Sosiolog, Akademisi, dan Ustadz 

 

(Mengenang Dr. H. Tatjong Mappawata, MA)

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

(Dosen UIN Alauddin Makassar)

 

Penampilannya sederhana, kelihatan sepintas tidak terlalu mudah untuk tersenyum, meski hatinya sangat baik. Kadang-kadang kalau melewati beberapa mahasiswa di lingkungan FIS untuk menyebut gedung-gedung perkuliahan di Fisipol Unhas, beliau akan menyapa.

Untuk beberapa hal, nampak tidak kelihatan bergaul dengan anak-anak muda, tetapi ketika didekati atau dikunjungi di kediamannya, beliau menerima dengan sangat baik.

Namanya Tatjong Mappawata (pria yang lahir di Bone Sulawesi Selatan). Dari namanya, beliau pasti orang Bugis. Namanya khas dan asli Bugis. Nama orisinal yang belum dipengaruhi oleh kebudayaan lain.

Nama Tatjong Mappawata, Besse, Tenri, Mappatoba, Mapparenta, Ambo, Tunrung, Panrengi, dan lainnya merupakan nama yang menjadi identitas khas Bugis-Makassar. Nama-nama khas itu mempermudah mengenali orangnya, meski belakangan pemberian nama bagi putra-putra pasangan muda generasi X dan milenial mulai bergeser dengan nama-nama yang keren, termasuk nama-nama yang dipengaruhi dialek dan kebudayaan Arab.

Kita mulai bertanya-tanya belakangan ini, apakah masih ada anak-anak gen Z yang namanya khas Bugis-Makassar? Untuk menjawabnya perlu penelitian khusus.

Dr. Tatjong Mappawata adalah dosen Sosiologi Fisipol Unhas yang mengabdikan dirinya sebagai dosen hingga purnatugas. Pada pertengahan dekade 1990-an, Pak Tatjong pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Sosiologi, pas ketika saya mulai menginjakkan kaki sebagai mahasiswa baru di Fisip Unhas.

Beliau menyambut mahasiswa baru dengan gayanya yang khas. Selain memiliki nama yang khas, juga memiliki retorika yang khas, sehingga mudah mengenalinya dan tentu setiap mahasiswa yang pernah beliau ajar mudah mengingat gayanya dalam mengajar.

Sebagai dosen sosiologi, Pak Tatjong memperkenalkan sosiologi kepada mahasiswanya dengan sangat sederhana. Mudah dipahami dan materinya terstruktur. Bahan kuliahnya dibuat dalam bentuk “diktat pribadi” yang hanya beliau yang memilikinya, sementara mahasiswa “harus” mendengarkan dan mencatat dengan baik materi perkuliahan yang disampaikan beliau.

Satu hal penting, beliau menyampaikan buku referensi yang perlu dibaca. Hanya saja tidak semua mahasiswa yang punya minat membeli buku. Saya termasuk mahasiswa yang mengikuti materi perkuliahan “Pengantar Sosiologi” dari beliau. Catatan perkuliahan dengan beliau itu hingga kini saya masih menyimpannya dengan baik.

Setiap materi perkuliahan saya selalu menyediakan buku catatan khusus yang merangkum seluruh mata kuliah yang dipelajari pada semester itu. Kalau halaman buku catatan itu masih banyak kosongnya, maka dilanjutkan untuk kuliah semester berikutnya.

Untuk mengingat dan mengenang beliau, perlu membuka kembali catatan-catatan itu dan terbayanglah bagaimana Pak Tatjong menerangkan materi perkuliahannya. Yang menarik, ketika menerangkan apa itu sosiologi, untuk mengupas ini, beliau mengutip sejumlah sosiolog yang pernah menerangkan soal itu, salah satu di antara tokoh yang sering beliau kutip pemikirannya adalah Pitrim A. Sorokin.

Menurut Sorokin, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial (mencakup gejala ekonomi, agama, moral dan lain-lain), hubungan-hubungan sosial antara individu dengan kelompok, individu dengan individu.

Definisi sosiologi banyak dari berbagai ahli, namun Pak Tatjong menekankan pada definisi Sorokin, karena definisi ini mewakili keseluruhan yang lain dalam memahami sosiologi. Dalam definisi ini, menurut Pak Tatjong, mencakup banyak aspek kehidupan manusia termasuk proses-proses sosial, perubahan sosial, konflik, integrasi, dan lain-lain.

 

Mempelajari Sosiologi Itu Mudah

 

Pertama, sosiologi ilmu yang mempelajari masyarakat, manusia dan kebudayaannya. Karena itu, belajar sosiologi cukup melihat, memahami dan menjelaskan hubungan sosial antar-individu atau kelompok dalam masyarakat.

Bukankah manusia itu lahir dan besar dalam bingkai interaksi yang terus-menerus berkelanjutan antara individu dalam masyarakat. Interaksi itu kadang-kadang sudah terpola berdasarkan kebiasaan dan tradisi masyarakat, karena itu mudah dijelaskan.

Kedua, belajar sosiologi tidak memerlukan perangkat yang rumit seperti istilah-istilah yang sukar dipahami atau konsep-konsep yang sering dipergunakan dalam disiplin ilmu lain. Dalam bahasa lain, memahami masyarakat dengan cara bagaimana mendefinisikan kehidupannya, tugas sosiolog mencatatnya dan kemudian menjelaskannya.

Ketiga, dimensi lain sosiologi yang memerlukan perangkat tertentu yakni ketika menjelaskan interaksi antar-manusia itu mengandung motif, kepentingan dan tujuan tertentu. Meminjam Max Weber bahwa tindakan disebut rasional apabila orang mengerti tujuan dari tindakan itu dan tahu cara, alat, sarana, dan instrumen untuk mencapai tujuan itu.

Setiap tindakan manusia dalam waktu yang berlainan memiliki motif, kepentingan dan tujuan yang tidak selalu sama. Seorang politisi yang kelihatannya baik, saleh dan dermawan, boleh jadi tindakan itu dilakukan, karena ada motif dan kepentingan yang hendak dikejar, yang mungkin berbeda motifnya dengan para dermawan yang membagikan nasi kotak setiap hari Jum’at tanpa harus menunggu momen politik tertentu.

Dalam soal ini, Pak Tatjong telah menanamkan nilai-nilai mendasar dalam memahami sosiologi. Itu diperkuat pada awal mahasiswa memulai kuliah sosiologi.

Sosiologi sendiri dalam perkembangannya memiliki percabangan yang sangat bervariasi. Ada yang secara spesifik pada kajian bidang keagamaan. Untuk disiplin bidang ini telah menghasilkan begitu banyak sarjana yang mengkaji kehidupan keagamaan dengan perspektif sosiologi.

Ibnu Khaldun misalnya, ketika menjelaskan tentang masyarakat yang dibaginya ke dalam dua kategori besar yakni hadharah dan badhawah, sebenarnya tengah menjelaskan nilai-nilai fundamental mengenai masyarakat, yang satu memiliki peradaban tinggi dan yang lain merupakan representasi dari kehdupan yang tingkat peradabannya rendah, hidup nomaden dan sebagainya.

Khaldun menyebut bahwa suatu masyarakat yang kuat dan akan selamat dari penetrasi dan penguasaan pihak lain apabila masyarakat itu memiliki solidaritas sosial yang solid. Khaldun menyebutnya dengan istilah ashobiyah. Istilah ini tidak dimaksudkan sebagai sikap fanatisme kelompok, tetapi solidaritas kemanusiaan untuk membangun peradaban yang unggul.

Teori solidaritas ini kemudian diperkuat oleh Durkheim menjadi solidaritas organik dan solidaritas mekanik. Percabangan lain dalam sosiologi adalah sosiologi politik, sosiologi ekonomi, sosiologi industri, dan lain sebagainya.

 

Ceramah Tarawih

 

Selain sebagai dosen, Pak Tatjong juga untuk beberapa hal dalam soal keagamaan beliau terbuka. Ketika suatu waktu beliau diundang untuk mengisi ceramah tarawih di bulan Ramadhan, beliau menyanggupi untuk mengisinya.

Seingat saya beberapa kali Ramadhan beliau mengisi ceramah tarawih pada Masjid Nurul Hidayah masih di bilangan Tamalanrea. Itu artinya, Pak Tatjong selain mendalami disiplin ilmunya sosiologi, juga mempelajari agama yang dianutnya yakni Islam dan menyampaikan pengetahuannya tentang Islam kepada kaum muslimin melalui mimbar-mimbar masjid.

Kebiasaan beliau mengisi ceramah tarawih itu nampaknya bukan hanya di Masjid Nurul Hidayah, tetapi juga pada masjid yang lain di sekitar kediamannya. Mungkin juga beliau terjadwal mengisi khutbah Jumat atau kegiatan keagamaan lainnya. Untuk hal ini saya belum dapat informasinya.

Spiritualitas umat menjadi satu tema sentral dalam kehidupan kita dewasa ini. Ketika kehidupan manusia semakin materialistik, hedonistik dan konsumersitik, orang kemudian mulai merindukan kembali adanya sandaran spiritual yakni nilai transendensi, tempat berpijak dan bergantung semua yang hidup.

Ketika kehidupan berkiblat pada nilai-nilai materialistik atau kita sebut ketika kesadaran digerakkan oleh materialisme dalam Marxisme mulai mengalami pergeseran dengan hadirnya kembali nilai-nilai transendensi dalam kehidupan manusia, orang merindukan Tuhan.

Wujud kerinduan pada Tuhan itu mulai marak kelompok pengajian, majelis taklim berkembang dan komunitas religius tumbuh dengan baik. Pak Tatjong termasuk di antara manusia muslim yang menjalankan kehidupan yang seimbang antara dimensi spiritual dengan dimensi sosial kemanusiaan.

Beliau mempelajari agamanya. Itu menjadi satu pusat kesadaran spiritual yang membuat hidupnya menjadi tenang, damai dan tidak memiliki beban yang berat, karena spiritualitasnya mampu mengendalikan segalanya yang berdimensi duniawiah.

Pak Tatjong termasuk di antara dosen sosiologi yang diberi Allah SWT umur yang panjang bila dibandingkan sejumlah teman sejawat beliau sudah mendahuluinya. Sebut misalnya beberapa dosen sosiologi yang cukup penting di antara Pak Asma’un Azis (Ketua Jurusan Sosiologi setelah Pak Tatjong, pernah menjadi calon Dekan Fisip Unhas), Pak Ghani Baso, Dr. Darwis sudah beberapa tahun yang lampau mendahului kita semua.

Kemudian menyusul Pak Andi Sangkuru (pernah Wakil Dekan 3 Fisip Unhas), Prof. Maria Pandu (Guru besar yang paling kritis dan pejuang kesetaraan gender). Oh iya, Prof. AR. Hafiedz yang beberapa kali menjabat pimpinan di fakultas dan pascasarjana. Beliau termasuk panjang umurnya. Meninggal tahun 2020 dalam usia 81 tahun.

Selang beberapa waktu kemudian menyusul Prof. Dr. T.R. Andi Lolo (mantan Bupati Tana Toraja, dan mantan Atase Pendidikan di Papua Nugini) pun meninggal dalam usia 80 tahun pada tahun 2022. Masih ada beberapa lagi yang saya lupa namanya. Mari doakan beliau-beliau itu, semoga memperoleh tempat terbaik di sisi Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa.

Kembali ke Pak Tatjong yang secara pribadi mampu mengelola kesadaran sosialnya, kesadaran intelektualnya, dan kesadaran spiritualnya menjadi satu pribadi yang cukup baik diteladani.

Terlepas sisi tertentu dari kebiasaan beliau, yang pasti beliau individu yang tenang, hidup dalam kedamaian hingga akhir hayatnya, dan tidak memiliki obsesi yang tinggi untuk posisi politik atau karier akademik.

Apa yang beliau capai merupakan bentuk kesyukurannya kepada Allah SWT. Nilai dasar inilah yang menuntun beliau dalam beberapa karya penelitiannya memberi perhatian pada kesetaraan, kesejahteraan, dan kemanusiaan.

 

Tepat Waktu

 

Semua murid yang pernah diajar oleh Pak Tatjong pastilah memiliki kesan tersendiri tentang beliau. Bagaimanapun keadaannya, beliau akan selalu menunaikan tugas sebagai dosen sesuai waktunya. Tradisi kuliah tepat waktu kira-kira begitu, beliau selalu melakukannya. Untuk hal ini, saya memiliki kesan pada beberapa dosen Unhas yang cukup tertib waktu.

Suatu kali saya sebagai pengurus organisasi kemahasiswaan tingkat rendah di Unhas mengundang Prof. Dr. Mattulada untuk mengisi acara seminar. Waktunya dimulai pukul 09.00 Wita. Ketika waktu kegiatan tiba, beliau sudah hadir tepat sesuai waktu yang tertera pada undangan, sementara peserta belum ada yang muncul, hanya panitia dan dua tiga lainnya.

Pada kesempatan yang lain, saya pernah juga mengundang Prof. Dr. Halide. Seingat saya, kala itu beliau belum lama pulang dari tugasnya sebagai Atase Pendidikan di Arab Saudi. Kejadiannya sama, waktu kegiatan dimulai pukul 09.00 Wita. Beliau datang sesuai jadwal yang tertera dalam undangan. Ketika sampai lokasi kegiatan tidak menemukan peserta, lalu beliau tinggalkan.

Para aktivis mahasiswa yang membuat program kegiatan pada era 1990-an umumnya menggunakan jam karet. Dalam undangan tertera waktu kegiatan, namun pelaksanaannya sudah diprediksi sendiri oleh panitia ketika membuat undangan. Seharusnya undangannya dibuat saja sesuai prediksi, misalnya Pukul 09.30 atau 10.00, bukan menyebar undangan pukul 08.30, sementara kegiatan molor. Maka ketika berjumpa orang seperti Prof. Mattulada dan Prof. Halide, tentu lain ceritanya.

Untuk tradisi “tepat waktu” ini mahasiswa sosiologi memiliki beberapa teladan yang patut dicontoh. Hemat saya sebagian besar dosen sosiologi cukup tertib dengan waktu. Itu barangkali didasarkan oleh pencerahan dari sang arsitek sosiologi yakni Emile Durkheim, yang kadang-kadang disebut satu dari tiga “Nabi Sosiologi” modern, selain Max Weber dan Karl Marx.

Untuk kajian yang spesifik soal waktu ini bisa baca buku yang ditulis oleh Fuad Ardlin. Judulnya: “Waktu Sosial Emile Durkheim”. Pak Tatjong satu dari sekian orang yang menurut pengalaman pribadi saya yang cukup “tertib” dalam soal waktu ini.

Pada tanggal 13 Maret 2025 pagi, tersebar informasi di Group WA Alumni Sosiologi Unhas dan Group WA IKA Fisip Unhas mengenai meninggalnya Dr. H. Tatjong Mappawata, MA. Dosen sederhana yang hidupnya penuh dengan kedamaian.

Selamat jalan guruku dan orang tuaku. Warisan intelektualmu, keteladananmu dan dedikasimu sebagai pendidik akan selalu menjadi inspirasi bagi para muridmu. Insya Allah engkau akan memperoleh tempat yang mulia di sisi Allah SWT. Allahumagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu, aamiin.***

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama