------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 14 Maret 2025
Catatan Ringan:
Muhammadiyah,
Objektivasi Islam dan Pergeseran Paradigma Kuhn
Oleh: Andi Afdal Abdullah
(Dokter / Direktur SDM dan Umum BPJS
Kesehatan)
“Islam tidak boleh sekadar menjadi
identitas yang dihafal dan dipertahankan secara simbolik, tetapi harus menjadi
nilai yang hidup dalam realitas sosial.” – Kuntowijoyo
Ketika Thomas Samuel Kuhn menulis The Structure
of Scientific Revolutions (1962), ia mengguncang cara dunia memahami
perkembangan ilmu pengetahuan.
Kuhn memperkenalkan konsep pergeseran
paradigma (paradigm shift)—sebuah teori yang menyatakan bahwa ilmu tidak
berkembang secara linier, tetapi mengalami revolusi ketika paradigma lama tidak
lagi memadai untuk menjelaskan realitas baru. Kuhn menunjukkan bagaimana krisis
dalam sains mendorong munculnya paradigma baru yang lebih mampu menjelaskan
fenomena yang terjadi.
Di sisi lain, di dunia Islam, Kuntowijoyo
merumuskan konsep objektivasi Islam, yaitu upaya menjadikan Islam sebagai
sistem nilai yang konkret dalam kehidupan sosial, bukan sekadar sebagai
identitas simbolik atau kumpulan hukum fiqh.
Ia melihat bahwa Islam saat ini mengalami
stagnasi pemikiran, terlalu sibuk dengan persoalan formalisme, sementara
tantangan zaman semakin kompleks. Jika Kuhn berbicara tentang revolusi dalam
sains, Kuntowijoyo berbicara tentang revolusi dalam pemikiran Islam—dari Islam
yang simbolik ke Islam yang substantif, dari Islam yang dogmatis ke Islam yang
fungsional.
Apakah objektivasi Islam bisa dianggap
sebagai pergeseran paradigma dalam pemikiran Islam? Bagaimana konsep perubahan
paradigma Kuhn dapat menjelaskan transformasi Islam yang diusulkan oleh
Kuntowijoyo?
Kuntowijoyo mengkritik bagaimana Islam
sering kali terjebak dalam simbolisme dan romantisme sejarah. Ia melihat bahwa
banyak Muslim lebih sibuk membicarakan identitas Islam—negara Islam, hukum
Islam, pakaian Islam—tetapi melupakan esensi Islam sebagai nilai yang membangun
peradaban.
Kunto menawarkan objektivasi Islam, yaitu
menjadikan Islam sebagai kekuatan yang bekerja dalam sistem sosial dan budaya,
bukan sekadar dalam ruang ibadah atau tataran normatif.
Islam, menurutnya, harus diterjemahkan
dalam bentuk misalnya: pertama, sistem ekonomi yang adil, bukan sekadar
perdebatan halal-haram riba secara tekstual. Kedua, pendidikan berbasis nilai
Islam yang progresif, bukan sekadar pelajaran fiqh di madrasah. Atau ketiga,
etika kerja yang Islami dalam industri dan bisnis, bukan sekadar pemakaian
atribut Islam di tempat kerja.
Dalam konteks ini, Islam tidak cukup hanya
dihafal, tetapi harus dihidupkan dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan ilmu
pengetahuan. Ini adalah upaya mengalihkan Islam dari sekadar norma internal
umat Islam menjadi nilai universal yang bisa diaplikasikan dalam berbagai
sistem sosial, bahkan di masyarakat yang heterogen.
Kunto memberikan pemisalan lain untuk ini.
Sebuah negara tidak perlu menyebut dirinya “Negara Islam” untuk bersikap adil
tapi yang penting adalah apakah negara itu benar-benar menegakkan nilai-nilai
keadilan sebagaimana diajarkan Islam. Demikian juga sebuah sistem ekonomi yang
mencegah eksploitasi buruh bisa lebih Islami daripada sistem ekonomi yang
berlabel syariah tetapi tetap mengeksploitasi pekerja.
Secara gamblang, objektivasi Islam
mengingatkan kita bahwa yang penting bukanlah bagaimana Islam “ditampilkan”,
tetapi bagaimana Islam “bekerja” dalam kehidupan masyarakat.
Paradigma Kuhn: Dari Ilmu Normal ke
Revolusi Ilmiah
Thomas Kuhn dalam The Structure of
Scientific Revolutions menjelaskan bagaimana ilmu berkembang dalam dua tahap
utama yaitu Ilmu Normal atau Normal Science, yaitu misalnya selama ratusan
tahun fisika Aristotelian dianggap sebagai kebenaran mutlak sebelum digantikan
oleh Newtonian Mechanics. Para ilmuwan bekerja dalam paradigma yang sudah
diterima, menggunakan teori dan metode yang dianggap benar oleh komunitas
ilmiah.
Kemudian ada revolusi ilmiah atau
Scientific Revolution yaitu proses ketika anomali mulai bermunculan—fenomena
yang tidak bisa dijelaskan oleh paradigma lama yang akhirnya memicu krisis dan kemudian
memaksa lahirnya paradigma baru.
Ketika fisika Newton tidak bisa
menjelaskan perilaku partikel kecil, lahirlah fisika kuantum sebagai paradigma
baru, shifting paradigm terjadi. Kuhn menegaskan bahwa perubahan besar dalam
ilmu terjadi ketika paradigma lama gagal menjawab tantangan zaman, sehingga
revolusi ilmiah menjadi keniscayaan.
Islam dan Pergeseran Paradigma: Dari Islam
Simbolik ke Islam Substantif
Bagaimana konsep perubahan paradigma Kuhn dapat digunakan untuk memahami objektivasi Islam? Dalam konteks Islam, banyak umat Islam masih terjebak dalam paradigma lama, yaitu paradigma Islam normatif dan simbolik dimana kebanyakan Islam diidentikkan dengan hukum syariah yang kaku tanpa perilaku sosial yang proaktif atau islam semata diletakkan dalam kerangka politik dan negara, tanpa kearifan sosial yang mewarnai.
Tentu saja
paradigma lama ini mengalami akan sangat aneh dan anomali, terutama ketika dihadapkan
dengan realitas modern: Bagaimana Hukum Islam klasik gelagapan menjawab tantangan ekonomi global. Atau
bahkan simbolisasi isalma yang belum linear dengan kondisi masyarakat beradab
dan rahmatan lil alamin.
Dalam perspektif Kuhn, situasi ini memicu
krisis menjadi indikasi perlunya revolusi pemikiran. Disini objektivasi
Islam model Kunto mendorong bentuk
pergeseran paradigma dari Islam lama ke Islam yang lebih relevan dengan
tantangan zaman dan transformatif. Pembahasan Islam halal haram menjadi islam
yang bertranformasi ke diskusi tentang keadilan, equality, sistem moral hingga
nilai nilai sosial.
Muhammadiyah Berkemajuan, Visi Membangun
Islam yang Transformatif
Jika kita mengadopsi pemikiran Kuhn, maka
Islam sempat mengalami fase “krisis paradigma”, di mana Islam simbolik sudah
tidak lagi cukup menjawab tantangan zaman. Objektivasi Islam yang diajukan oleh
Kuntowijoyo adalah bentuk revolusi pemikiran Islam, yang bertujuan menjadikan
Islam sebagai kekuatan transformatif yang bekerja dalam kehidupan sosial.
Islam harus mengalami pergeseran dari
Islam sebagai warisan historis menjadi Islam sebagai sistem nilai yang relevan
dengan dunia modern. Ini tidak berarti mengganti Islam, tetapi
mengaktualisasikan Islam agar sesuai dengan konteks zaman, sebagaimana Islam di
masa Rasulullah yang mampu menjawab problematika sosial dengan solusi yang
aplikatif. Seperti dalam ilmu sains, agama pun harus berkembang dalam makna dan
penerapannya. Bukan untuk diubah esensinya, tetapi untuk lebih dimengerti dan
diimplementasikan dalam dunia yang terus berubah.
Konsep Islam Berkemajuan yang dikembangkan
oleh Muhammadiyah memiliki ruh yang sama dengan gagasan Objektivasi Islam
Kuntowijoyo. Keduanya sama-sama menekankan bahwa Islam tidak boleh hanya
menjadi doktrin normatif atau simbolik, tetapi harus menjadi kekuatan yang
mendorong perubahan sosial, membangun peradaban, dan berkontribusi bagi
kemajuan umat manusia.
Dengan demikian, jika Kuntowijoyo
menawarkan gagasan teoritis tentang bagaimana Islam bisa menjadi sistem sosial
yang objektif, Muhammadiyah telah membuktikan bahwa Islam Berkemajuan bukan
hanya sekadar konsep, tetapi bisa diwujudkan dalam bentuk nyata melalui
pendidikan, kesehatan, dan amal usaha yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Menukil kata kata Kuntowijoyo: “Islam harus hadir di
tengah-tengah masyarakat, bukan hanya dalam wacana dan simbol. Islam bukan
hanya aturan, tetapi juga cara hidup yang membangun peradaban.”
Billahi Fii Sabiilil Haq, Fastabiqul
khayrat.