Timnas Indonesia–Australia: Antara Identitas dan Kecintaan Terhadap Bangsa

Sepak bola bukanlah sekadar permainan, tetapi juga memiliki dampak sosial yang signifikan. Berdasarkan teori sport and identity yang dikemukakan oleh Maguire (1999), olahraga berperan dalam memperkuat identiti kolektif serta membangun rasa kebersamaan dalam suatu komunitas. Dalam konteks ini, sepak bola menjadi sarana yang menyatukan dan mempererat hubungan di antara warga Indonesia yang tinggal di Australia. - Haidir Fitra Siagian -


-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 21 Maret 2025


Timnas Indonesia–Australia: Antara Identitas dan Kecintaan Terhadap Bangsa
 

Oleh: Haidir Fitra Siagian


Sepak bola bukan sekadar olahraga, tetapi juga cerminan identitas dan kecintaan terhadap bangsa. Bagi diaspora Indonesia di Australia, setiap pertandingan Timnas melawan negara tempat mereka tinggal menjadi lebih dari sekadar laga di lapangan hijau.  

Demikian pula halnya dengan pertandingan sepak bola antara Timnas Indonesia dan Timnas Australia di Sydney, Kamis, 20 Maret 2025, yang berakhir dengan hasil yang cukup "menyedihkan”, setidaknya bagi putraku yakni kekalahan bagi pasukan Garuda. 

Akibat kekalahan ini, peluang tim kebanggaan ini, masuk putaran final Piala Dunia nanti menjadi semakin tipis, jika tidak ingin mengatakan hilang sama sekali.

Walau bagaimana pun, seperti sering diungkapkan para orang tua, setiap peristiwa tetap saja ada pelajaran berharga yang bisa kita petik. "Pelajaran" dalam konteks ini tentunya tidak merujuk pada pelajaran akademik semata. 

Lebih dari itu adalah pada insight, pemahaman, atau nilai kehidupan yang dapat dipetik. Salah satunya adalah bagaimana pertandingan ini menjadi momen luar biasa yang memperlihatkan semangat dan solidariti diaspora Indonesia di Australia.

Stadion Allianz di Sydney menjadi saksi antusiasnya ribuan warga dan diaspora Indonesia yang datang untuk mendukung Garuda. Terdiri atas pelajar, pekerja, maupun permanent resident serta mereka yang sudah menjadi warga negara Australia yang memiliki darah Ibu Pertiwi. Dengan mengenakan atribut merah putih, mereka dengan semangat mengumandangkan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dan melambaikan bendera kebanggaan.

Hal ini dapat kita lihat sebagai sebuah kebanggaan penuh. Bukan sekadar dukungan untuk tim sepak bola, tetapi juga boleh dikatakan sebagai pengejawantahan kecintaan terhadap Tanah Air, sebagaimana digelorakan para pahlawan saat mengusir penjajah pada masa mempertahankan kemerdekaan bangsa kita. 

Semangat perjuangan yang dulu ditunjukkan di medan perang, kini tercermin dalam kebanggaan saat mendukung tim nasional. Sepak bola menjadi simbol persatuan yang menyatukan masyarakat dari berbagai latar belakang untuk bersatu dalam satu tujuan: membela nama bangsa di kancah internasional.

Dukungan terhadap tim nasional tidak hanya sebatas sorakan di stadion, tetapi juga menjadi cerminan identitas dan solidaritas sebagai bangsa. Saat lagu kebangsaan berkumandang dan bendera merah putih berkibar, ada rasa haru dan kebanggaan yang menyatukan seluruh pendukung di manapun mereka berada. 

Boleh jadi inilah bentuk nasionalisme modern, di mana semangat perjuangan para pahlawan yang telah gugur membela bangsa diteruskan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk melalui olahraga yang mampu menyatukan seluruh elemen anak bangsa.  

Tidak sedikit di antara mereka bahkan melakukan perjalanan jauh dari berbagai kota di Australia, termasuk dari Melbourne yang berjarak hampir 1.000 km ke Sydney. Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa identitas ke-Indonesia-an tetap terpatri erat di hati para perantau, meskipun mereka tinggal jauh dari kampung halaman. Mereka datang ke stadion dengan membawa bekal untuk berbuka puasa dan berbuka ketika magrib telah tiba.

Saya mendapat laporan dari putraku yang kini sedang kuliah dalam bidang Aid Care di Sunderland, pinggiran Kota Sydney, ikut bergembira di dalam stadion. Kehadirannya bersama ribuan warga Indonesia lainnya semakin menegaskan bahwa pertandingan ini bukan hanya tentang sepak bola, tetapi juga tentang kebersamaan dan solidaritas nasional.

Dalam teori komunikasi antarbudaya, kata  Gudykunst dan Kim (2003), individu yang berada di lingkungan budaya berbeda kerap mengalami proses adaptasi, tetapi juga tetap mempertahankan identitinya. Kehadiran diaspora Indonesia di stadion ini menjadi bukti bahwa meskipun mereka tinggal di negeri orang, rasa nasionalisme dan kebersamaan tetap padu.

Konsep imagined communities yang dikemukakan oleh Benedict Anderson (1991) pun berhubungan dalam konteks ini. Anderson berkata, komunitas nasional tetap eksis meskipun anggotanya tidak selalu bertatap muka. Solidaritas yang terlihat di Stadion Allianz menunjukkan bahwa diaspora Indonesia tetap merasa menjadi bagian dari komunitas bangsa, meski berada jauh di negeri seberang.

Dulu, biasanya kami sering berkumpul sesama masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang organisas kika ada acara-acara keagamaan atau memenuhi undangan pejabat yang datang dari tanah air di Kantor KJRI, serta masjid-masjid yang dikelola oleh warga Indonesia. atau dalam acara buka puasa bersama atau pengajian di rumah warga Indonesia. Namun jumlahnya tentu terbatas. 

Tidak sebanyak yang hadir di stadion kemarin. Oleh karena itu, pertandingan ini menjadi kesempatan langka di mana warga Indonesia bisa berkumpul dalam jumlah yang sangat besar dan merasakan kebersamaan yang lebih luas.

Sepak bola bukanlah sekadar permainan, tetapi juga memiliki dampak sosial yang signifikan. Berdasarkan teori sport and identity yang dikemukakan oleh Maguire (1999), olahraga berperan dalam memperkuat identiti kolektif serta membangun rasa kebersamaan dalam suatu komunitas. Dalam konteks ini, sepak bola menjadi sarana yang menyatukan dan mempererat hubungan di antara warga Indonesia yang tinggal di Australia.

Pada akhirnya, meskipun Timnas Indonesia belum berhasil meraih kemenangan, semangat yang ditunjukkan oleh para pendukung di Australia merupakan kemenangan tersendiri yang patut diapresiasi. Solidaritas dan kebersamaan yang terjalin di Stadion Allianz menunjukkan bahwa rasa nasionalisme tetap membara, meskipun seseorang berada jauh dari Tanah Air.***


-----

Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar / Ketua PRIM NSW Australia 2021/2022


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama