------
PEDOMAN
KARYA
Kamis,
06 Maret 2025
Catatan
Ringan:
Wittgenstein, Murid yang
Membangkang
Oleh:
Andi Afdal Abdullah
(Dokter / Direktur SDM dan Umum BPJS Kesehatan)
“Wovon man nicht sprechen kann, darüber muss man schweigen”. Apa saja yang tidak bisa jelaskan dengan logis, maka harus lewatkan dengan diam. (Wittgenstein, 1921)
Ini
adalah kisah perjuangan, pergulatan pemikiran dan pembangkangan. Ini kisah
seorang filsuf muda kelahiran Austria yang terus berkutat sepanjang hidupnya
dengan pergolakan pemikiran, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang
lain, termasuk gurunya sendiri. Dari dirinya kita mengerti tentang perubahan
yang tak pernah berhenti serta manusia yang beradaptasi terhadap perubahan.
Bertrand
Russell mungkin tidak pernah membayangkan bahwa murid kesayangannya suatu hari
akan menghancurkan banyak gagasan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Ludwig
Josef Johann Wittgenstein datang ke Cambridge sebagai seorang pemuda brilian
yang haus akan filsafat logis. Namun, ia pergi sebagai seorang filsuf yang
telah melampaui gurunya—membawa revolusi dalam cara manusia memahami bahasa,
makna, dan realitas.
Wittgenstein
memulai perjalanannya sebagai seorang pemikir yang percaya bahwa bahasa
memiliki struktur logis yang ketat. Tractatus Logico-Philosophicus (1921),
karya pertamanya, mencoba merumuskan bagaimana bahasa bisa secara sempurna
mencerminkan dunia.
Kalimat-kalimatnya
singkat, padat, dan terdengar seperti kitab suci: “Dunia adalah totalitas dari
fakta, bukan benda-benda”. “Apa yang tidak dapat dikatakan harus dilewatkan
dalam diam”. Di matanya, filsafat adalah soal membangun sistem yang bersih dan
bebas dari kebingungan linguistik.
Russell
mendukungnya dengan penuh antusiasme. Ia melihat Wittgenstein sebagai pewaris
tradisi logika yang telah ia rintis. Dalam suratnya kepada rekan-rekan
akademisi, ia bahkan menyebut Wittgenstein sebagai seseorang yang “terlalu
jenius untuk tetap menjadi murid”. Namun, kegeniusan itu memiliki sisi lain:
ketidaksabaran dan ketidakpuasan.
Wittgenstein
percaya bahwa Tractatus telah menyelesaikan seluruh masalah filsafat, sehingga
ia meninggalkan dunia akademik, mengajar di desa, dan nyaris menghilang dari
dunia intelektual.
Ketika
ia kembali ke Cambridge pada tahun 1929, ia adalah orang yang berbeda. Kini, ia
mulai meragukan kesimpulan dalam Tractatus. Bahasa, yang dulu ia anggap sebagai
sistem logis, sekarang ia lihat sebagai sesuatu yang cair, fleksibel, dan
bergantung pada konteks sosial.
Inilah
awal mula gagasan language games—bahwa makna bukan berasal dari struktur bahasa
itu sendiri, tetapi dari cara bahasa digunakan dalam kehidupan manusia. Apa
yang benar dalam matematika tidak sama dengan apa yang benar dalam percakapan
sehari-hari atau dalam puisi. Bahasa tidak memiliki esensi tetap, melainkan
berubah sesuai dengan penggunaannya.
Russell
tidak senang dengan perubahan ini. Baginya, Wittgenstein telah beralih dari
filsafat yang berbasis rasionalitas menjadi sesuatu yang terlalu subjektif dan
sulit diverifikasi. Hubungan mereka yang dulu begitu erat mulai renggang.
Russell
ingin membangun sistem filsafat yang objektif dan berbasis logika, sementara
Wittgenstein semakin yakin bahwa filsafat harus memahami bahasa dalam konteks
sosialnya, bukan dalam bentuk struktur kaku yang dirancang di atas kertas.
Konflik
itu mencapai puncaknya dalam berbagai diskusi di Cambridge. Russell mencoba
menantang gagasan baru Wittgenstein, tetapi ia justru mendapatkan respons yang
tidak biasa.
Dalam
satu pertemuan, Wittgenstein hanya duduk diam, menatap Russell tanpa mengatakan
sepatah kata pun. Russell, yang biasanya fasih dalam debat, akhirnya frustrasi.
Ia berkata, “Saya tidak lagi mengerti dia. Dia telah berkembang melampaui saya
atau tersesat dalam kebingungan.”
Namun,
sejarah mencatat bahwa Wittgenstein tidak tersesat. Filsafatnya menjadi dasar
bagi banyak kajian modern tentang bahasa, makna, dan bahkan kecerdasan buatan.
Sementara Russell tetap dihormati sebagai tokoh besar filsafat analitik,
Wittgenstein dikenal sebagai seorang revolusioner yang membongkar asumsi-asumsi
lama tentang bagaimana manusia berpikir dan berkomunikasi.
Setiap
zaman memiliki pertempurannya sendiri, dan kisah Russell-Wittgenstein adalah
pelajaran bagi siapa pun yang berkecimpung dalam dunia pemikiran, inovasi, dan
kepemimpinan. Ada dua pesan penting dari peristiwa ini,
Pertama,
gagasan besar tidak pernah selesai. Setiap teori yang tampak sempurna hari ini
bisa jadi hanya jembatan menuju pemikiran yang lebih dalam esok hari. Apa yang
kita yakini sebagai kebenaran sering kali tidak lebih dari hasil kesepakatan
sementara. Mereka yang berani mempertanyakan—bahkan menentang pemikiran
sebelumnya—adalah mereka yang menggerakkan peradaban ke depan.
Kedua,
seorang guru yang hebat harus siap melihat muridnya melampaui dirinya. Russell
mungkin kecewa dengan Wittgenstein, tetapi dalam sejarah, ia tetap dikenang
sebagai seseorang yang membuka jalan bagi pemikiran besar.
Dalam
dunia bisnis, akademik, atau kepemimpinan, keberhasilan seorang mentor bukan
hanya diukur dari seberapa banyak ia mengajar, tetapi dari seberapa jauh
murid-muridnya bisa melampaui dirinya.
Kisah
Wittgenstein dan Russell mengingatkan kita bahwa tidak ada teori, sistem, atau
ideologi buatan manusia yang boleh dianggap abadi. Kebenaran bergerak, dan
hanya mereka yang cukup rendah hati untuk mempertanyakan serta cukup berani
untuk menemukan jawabannya yang akan bertahan.
Al
Quran mengingatkan kita untuk selalu rendah hati dalam pencarian ilmu,
menyadari keterbatasan kita, dan senantiasa bergantung kepada Allah yang Maha
Mengetahui.
“Mereka
menjawab, ‘Mahasuci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami selain yang telah
Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (QS. 2:32)***