------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 18 April 2025
Kisah Nabi Muhammad SAW (9):
Abdullah Menikah
dengan Aminah
Penulis: Abu Hasan Ali An-Nadwi
Allah sudah menentukan bahwa jodoh yang
paling tepat untuk Abdullah adalah Aminah binti Wahb. Aminah adalah gadis yang
paling baik keturunan dan kedudukannya di kalangan Suku Quraisy.
Musim semi tahun 570 Masehi pun tiba.
Batang-batang gandum di Yaman tumbuh menjulang tinggi. Dedaunan kurma di Kota
Tha’if kembali bersemi. Sementara itu, padang-padang rumput dipenuhi harum
bunga-bunga yang tumbuh di kebun-kebun.
Bagi penduduk Mekah, musim semi adalah
tanda kebebasan dan dimulainya lagi perdagangan musim panas ke Syiria. Abdullah
pun berniat pergi musim ini.
“Kanda, sebenarnya hatiku sangat berat
melepas kepergianmu. Entah mengapa hatiku diliputi kekhawatiran dan
kegelisahan. Aku bahkan berharap dapat menemukan suatu alasan untuk menahan
kepergianmu,” keluh Aminah kepada suaminya.
Abdullah tersenyum menentramkan, “Hatiku
pun terasa tertinggal di sini, dinda. Aku tahu begitu besar rasa sayangmu
kepadaku sehingga engkau berharap dapat terus berada di sisiku.”
“Bukan cuma itu, damai rasanya berada di
sampingmu, kanda” kata Aminah.
Abdullah mengangguk, “Tetapi dinda, kini
di dalam perutmu ada bayi kita. Kau tahu aku adalah pemuda tak berada. Saat
ini, kita hanya mempunyai lima ekor kambing perah. Selain itu, tak ada lagi
kekayaan yang dapat menghidupi kita berdua selain sedikit kurma dan daging
kering. Karena itu, inilah saatnya bagiku untuk pergi berniaga dan menambah
penghasilan kita.”
Aminah terpaksa mengangguk menerima
kenyataan itu. Ia memandang kepergian Abdullah dengan sendu, seolah itu adalah
detik-detik terakhir ia dapat melihat wajah suaminya.
Hamzah bin Abdul Muthalib
Pada hari pernikahan Abdullah dengan
Aminah, Abdul Muthalib pun menikahi sepupunya yang bernama Hala. Dari
perkawinan ini, lahirlah Hamzah, paman Rasulullah yang seusia dengan beliau.
Abdullah Meninggal
Bersama kafilah dagang, Abdullah tiba di
Gaza. Kemudian, dalam perjalanan pulang, ia singgah di Yatsrib. Di sana, ia
tinggal bersama saudara-saudara ibunya. Namun, ketika kawan-kawannya dari Mekah
hendak mengajaknya pulang, Abdullah jatuh sakit.
“Rasanya, aku takkan kuat menempuh
perjalanan pulang. Kalian berangkatlah dan sampaikan pesan kepada ayahku bahwa
aku jatuh sakit,” kata Abdullah kepada kawan-kawannya.
Kawan-kawannya mengangguk, “Akan kami
sampaikan pesanmu. Baik-baiklah engkau di sini.”
Kafilah Mekah pun beranjak pulang. Ketika
tiba di rumah, mereka menyampaikan pesan Abdullah kepada Abdul Muthalib.
“Harits!” panggil Abdul Muthalib kepada
putra sulungnya.
Dia kemudian melanjutkan, “Pergilah ke
Yatsrib. Lihatlah keadaan adikmu. Jika sudah sembuh, jemputlah ia pulang.”
Harits pun segera berangkat. Ketika tiba
di rumah paman-pamannya di Yatsrib, yang ditemuinya adalah wajah-wajah duka.
“Abdullah telah meninggal. Mari, kami
antar engkau ke pusaranya,” kata mereka kepada Harits.
Harits pun menyampaikan berita sedih itu
ke Mekah. Melelehlah air mata di pipi Abdul Muthalib. Namun, kesedihan yang
paling berat dirasakan oleh Aminah. Apalagi di saat itu ia tengah menantikan
kelahiran bayinya.
“Selamat jalan, kanda,” isak Aminah,
“hilanglah seluruh kebahagiaan hidupku bersamamu. Kini, tinggallah aku yang
hidup untuk membesarkan bayi kita.”
Tidak lama lagi, bayi Aminah akan lahir.
Bayi yang kelak ditakdirkan Allah menjadi orang besar yang mengubah jalannya
sejarah dunia.
Peninggalan Abdullah
Saat meninggal, Abdullah meninggalkan lima
ekor unta, sekelompok ternak kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu
Aiman yang kelak menjadi pengasuh Rasulullah. Nama aslinya adalah Barokah. Ia
berasal dari Habasyah. (bersambung)