-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 19 April 2025
Kisah Nabi Muhammad SAW (10):
Cucunya Lahir, Abdul Muthalib Berikan
Nama Muhammad
Penulis: Abu Hasan Ali An-Nadwi
Pada hari Senin pagi, tanggal 12 Rabiul
Awwal, pada tahun yang sama dengan penyerbuan Abrahah (tahun gajah), Aminah
melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat itu bertepatan dengan bulan Agustus
tahun 570 Masehi. (Sebagian pendapat mengatakan bahwa Aminah melahirkan pada
tanggal 20 atau 21 April tahun 571 Masehi).
Aminah mengutus seseorang sambil berkata,
“Pergilah kepada Abdul Muthalib dan katakan, sesungguhnya telah lahir bayi
untukmu. Oleh karena itu, datang dan lihatlah.”
Abdul Muthalib bergegas datang. Ketika
mengambil bayi itu dari pelukan Aminah, dadanya bergemuruh dipenuhi rasa
sayang.
“Kehadiranmu mengingatkan aku kepada
ayahmu. Sungguh, di hatiku kini dirimu hadir sebagai pengganti Abdullah,” kata
Abdul Muthalib.
Dengan penuh rasa syukur, orangtua itu
menggendong cucunya berthawaf, mengelilingi Ka’bah. Kali ini tidak kepada
berhala, tetapi kepada Allah. Abdul Muthalib berdoa dan bersyukur.
“Aku memberimu nama Muhammad,” kata Abdul
Muthalib.
Muhammad berarti terpuji, sebuah nama yang
tidak umum di kalangan masyarakat Arab, tetapi cukup dikenal. Kemudian, ia
memerintahkan orang untuk menyembelih unta dan mengundang makan masyarakat
Quraisy.
“Siapa nama putra Abdullah, cucumu itu?”
tanya seseorang kepada Abdul Muthalib.
“Muhammad,” jawab Abdul Muthalib.
“Mengapa tidak engkau beri nama dengan
nama nenek moyang kita?” tanya mereka.
“Kuinginkan ia menjadi orang yang terpuji,
bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi,” jawab Abdul Muthalib.
Cahaya Aminah
Ketika Aminah mengandung Nabi Muhammad, ia
melihat seberkas sinar keluar dari perutnya dan dengan sinar tersebut ia
melihat istana-istana Busra di Syam.
Saat itu, di kalangan bangsawan Arab sudah
berlaku tradisi yang baik, yakni mereka mencari wanita-wanita desa yang bisa
menyusui anak-anaknya.
Anak-anak disusukan di pedalaman agar
terhindar dari penyakit, memiliki tubuh yang kuat dan agar dapat belajar bahasa
Arab yang murni di daerah pedesaan.
Tidak lama kemudian, datanglah serombongan
wanita dari kabilah Bani Sa’ad ke Mekah mencari bayi untuk disusui. Di antara
mereka ada seorang ibu bernama Halimah binti Abu Dzu’aib.
“Suamiku,” panggil Halimah, “tahun ini
sungguh tahun kering tak ada tersisa sedikit pun hasil panen di kampung halaman
kita. Lihat, unta tua kita tidak lagi menghasilkan susu sehingga anak-anak
menangis pada malam hari karena lapar.”
“Semoga kita mendapat bayi seorang
bangsawan kaya yang dapat memberi kita upah yang layak untuk menanggulangi
kesengsaraan ini,” jawab sang suami.
Namun harapan mereka tak terkabul, hampir
semua bayi bangsawan kaya telah diambil oleh teman-teman serombongan mereka.
Hanya ada satu bayi dalam gendongan ibunya yang mereka temui.
“Namanya Muhammad,” kata Aminah kepada
pasangan tersebut.
Aminah melanjutkan, “Ia anak yatim,
tinggal aku dan kakeknya yang merawatnya.” Mendengar penjelasan tersebut,
Halimah dan suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza, saling berpandangan.
Mereka enggan menerima anak yatim karena
tidak ada ayah yang dapat memberi mereka upah yang layak. Pasangan tersebut
menggeleng dan pergi mencari bayi lain, Aminah memandangi bayi dalam dekapannya
dengan sendu. Setiap wanita Bani Saad yang mendapat tawaran untuk menyusui
Muhammad, selalu menolaknya karena anak yatim.
Tsuwaibah
Sebelum kedatangan para wanita Bani sa'ad, Muhammad disusui Tsuwaibah budak perempuan Abu Lahab. Hanya beberapa hari Muhammad disusui oleh Tsuwaibah. Akan tetapi, di kemudian hari, di sepanjang hidupnya, Muhammad selalu memperlakukan Tsuwaibah dengan baik. (bersambung)
.....
Abdullah Menikah dengan Aminah