-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 10 April 2025
Kain Merah Bara Api
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Jas merah maronku ini, masih awet cerah
dengan tulen, memang patut jadi rona kenangan indah nan menawan dalam
mencerahkan logika batin Bertuhan. Jasku ini hingga kini masih bersemi di dalam
lemari pakaian dengan warna keasliannya nan tulen merah maron.
Sementara kain merah menyala yang lain
telah dibentangkan, demi bersemi di dalam kemungkaran, kini telah membara jadi
debu tak bermakna apapun juga ampunan.
Memang Tuhan telah berfirman antara
kebenaran dan kebatilan memang berbeda tak akan berpadu, sekalipun direkayasa
dengan kesan polesan seakan berwarna merah maron sami mawon.
Sebagaimana di dalam QS Al-Baqarah: 42,
telah dinukilkan dengan tajam yang berarti;
“Jangan kalian mencampur kebenaran yang
diturunkan kepada kalian dengan kebatilan yang kalian rekayasa dan
menyembunyikan kebenaran tersebut sehingga keduanya tidak dapat dibedakan.”
Dan QS Al-Isra: 81; “Dan katakanlah: ‘Yang
benar telah datang dan yang batil telah lenyap'. Sesungguhnya yang batil itu
adalah sesuatu yang pasti lenyap’.”
Ayat 81 di dalam QS Al-Isra ini,
mungkin menjadi landasan Ibu Kita Kartini yang berdiksi: “habis gelap
terbitlah terang.”
Diksi ini, pada awalnya ditulis dengan
bahasa Belanda: “Door Duisternis Tot Licht” menjadi judul bukunya merupakan
kumpulan surat dari Ibu Kartini.
Terlepas, diksi sirat tersebut, hingga
kini tak lekang sepanjang jaman, namun berbeda dengan esensi bentangan kain
merah telah jadi bara api menjadi risiko kemungkaran membara tanpa ampunan.
Risiko Membara
Berani main bara api, tentu sudah
pasti akan bersalaman dengan risiko di hadapan mata_ membara dan tidak
terkecuali hingga maut kematian pun mesti terjadi Berani main binatang
buas atau gulita lain pun akan demikian.
Eloknya, kita santai saja guna menikmati
kehidupan ini tanpa bermain bara api membencanakan diri juga komponen yang
lainnya.
Bah kini bukan lagi api membara seperti
warna kain merah maron, tetapi lebih membara jadi risiko mesti dinikmati bila
telah mendatanginnya.
Mendatangimu
Kalaulah Aku mendatangi bah cermin terang,
bahkan melebihi keverbanian bulan purnama, bukan berarti menantang perang. Dan
tak perlu kedap kedipin matamu nan berkunang-kunang bah silau melihat api
membara membangkari kain merah yang dibentangin!
Aku mendatangimu dengan bening, tidak lain
hanya untuk bersalaman guna menyambung ingatan akan durasi saham depositomu
yang dikenang merah membara.
Mungkin saja terlupakan akan luapannya,
memang telah lama, dikau simpan berkala mesti diambil kembali agar bunganya
segera berkalang! Dikarenakan jatuh tempo mesti ditempuh terhitung tujuh hari
lagi dari sekarang akan berkarang jadi debu.
Tanpa antara dan juga tenggang, memang
akan lebih terang benderang mengiang!
Semoga, setelah itu dikau berliang akan
lebih tenang berbaring_ dan tak lagi mesti didatangi guna dikenang membara
untuk saling bermaafan pula.
Maaf Lahir Batin
Sembari guna menyuburkan diksi ucapan “Minal
'Aidin wal Faizin” maaf lahir batin, di dalam meraih kemenangan sejati yang
penuh rahmat dan diberkahi.
Tentu, dengan niat tulus semata yang
berjiwa batin bermata tulen lillahi Ta'ala.
Semoga ini bukan jua, sekedar aksesoris
kain merah api menjadi ruas ucapan sensasi yang berdimensi gincuan lebaran an
sich doang,memang patut dihindari
“Taqabbalallahu
minna wa minkum minal aidin wal faizin; Semoga Allah menerima puasa kita dan
puasa kalian.”
Maaf Lahir Batin dengan penuh hormat dari
kami semoga jauh dari kain merah terbentang jadi bara jahanam berkalam.
Walahu'alam