------
PEDOMAN KARYA
Senin, 21 April 2025
Kartini 4.0:
Empowerment atau Eksploitasi
Oleh: Naidah Naing
“Habis gelap, terbitlah terang”. Kutipan
legendaris Kartini ini menjadi mantra perjuangan perempuan Indonesia sejak awal
abad ke-20. Perkembangan perempuan di abad ke-21, tepatnya di era digital 4.0,
perempuan tampak begitu dominan: mereka tampil sebagai influencer, content
creator, pemilik bisnis daring, hingga penggerak sosial.
Teknologi memberi ruang baru yang dahulu
mungkin hanya bisa dibayangkan Kartini. Namun, apakah semangat Kartini masih
relevan dalam era digital, saat perempuan mengambil peran besar di berbagai
platform media sosial? Ataukah perjuangan emansipasi kini dibayangi bentuk baru
dari eksploitasi?
Perempuan dan Panggung Digital. Di
era digital 4.0, muncul gelombang besar perempuan muda, di kota dan di desa,
yang menjadikan media sosial sebagai panggung utama.
Instagram, TikTok, Facebook dan YouTube
kini bukan hanya ruang hiburan, melainkan ladang kerja dan ekspresi. Mereka
membagikan tips kecantikan, edukasi keuangan, parenting, kesehatan mental,
daily activity di rumah, tempat kerja bahkan aktivisme gender.
Profesi sebagai content creator memang
membuka peluang ekonomi dan ruang ekspresi baru bagi perempuan di era AI ini.
Data dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa 53,8% pengguna aktif media
sosial di Indonesia adalah perempuan, dengan kelompok usia terbanyak antara
18–34 tahun. Ini adalah kelompok usia produktif yang juga dominan dalam
ekosistem kreator digital.
Namun, menjadi content creator perempuan
tidak selalu berarti merdeka. Banyak di antaranya terjebak dalam tuntutan
algoritma dan ekspektasi pasar yang menuntut tampilan ideal, konsistensi
produksi konten, dan respons cepat terhadap tren—semuanya sering kali berbasis
pada estetika dan performativitas.
Dilema Representasi: Empowerment atau
Eksploitasi? Di permukaan, menjadi content creator
terlihat sebagai bentuk pemberdayaan bagi perempuan. Namun jika dicermati lebih
dalam, sering kali konten yang dihasilkan perempuan harus mengikuti selera
pasar yang patriarkis. Perempuan kerap dihadapkan pada narasi-narasi “self-love”,
“boss babe”, atau “perempuan mandiri” yang pada kenyataannya dijadikan kemasan
komersial oleh industri kecantikan, fashion, dan gaya hidup.
Sarah Banet-Weiser, dalam bukunya
Empowered: Popular Feminism and Popular Misogyny (2018), menyebut fenomena ini
sebagai “brand feminism” yaitu feminisme yang telah dijinakkan dan
dikomodifikasi.
Dalam konteks ini, empowerment bagi
perempuan menjadi label yang menguntungkan brand, tetapi belum tentu
membebaskan perempuan dari tekanan performatif.
Perempuan yang berani bicara soal isu-isu
kritis seperti kekerasan seksual, pelecehan di ruang publik, atau kesehatan
mental sering kali mengalami backlash di komentar, kehilangan follower, bahkan
di-report. Ironisnya, semakin perempuan berani bersuara di ruang digital,
semakin besar pula risiko diserang secara personal.
Data dari SAFEnet (2024) menunjukkan
lonjakan drastis Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dalam triwulan
pertama 2024 saja, tercatat 480 kasus KBGO, dengan mayoritas korban adalah
perempuan muda usia 18–25 tahun. Banyak dari mereka adalah content creator yang
kerap menerima DM ancaman, komentar seksual, bahkan ancaman penyebaran konten
palsu berbasis deepfake.
Jenis kekerasan yang dilaporkan mencakup
penyebaran konten intim tanpa izin (73 kasus), pemerasan seksual (90 kasus),
dan ancaman berbasis gambar atau video hasil manipulasi (deepfake). Modus ini
banyak menyasar perempuan yang memiliki audiens besar dan ironisnya, justru
mereka yang dianggap paling “berdaya” adalah yang paling rentan.
Perlindungan Masih Lemah, Literasi Masih
Rendah
Meski Indonesia telah memiliki UU Tindak
Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) No. 12 tahun 2022 yang secara khusus mengatur
tentang pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban
kekerasan seksual di Indonesia, namun perlindungan korban KBGO masih belum
maksimal. Banyak korban merasa takut melapor, khawatir dicap “lebay” atau malah
disalahkan karena penampilannya di media sosial.
Di sisi lain, literasi digital dan gender
masih belum menjadi bagian kuat dari pendidikan formal maupun pelatihan
komunitas kreator. Padahal, memahami bagaimana algoritma bekerja, bagaimana
data personal dapat dimanipulasi, dan bagaimana mengelola komunitas yang aman
adalah bagian integral dari pemberdayaan di era digital 4.0 bagi perempuan
Indonesia.
Kartini 4.0: Kritis, Kreatif, dan Kolektif.
Perempuan yang berprofesi sebagai content
creator bukan hanya representasi Kartini masa kini, tetapi juga pewaris
tantangan baru. Mereka bukan hanya pencipta konten, tetapi juga pencipta narasi
tentang perempuan, suara, dan peran sosial.
Kartini 4.0 adalah perempuan yang tidak
sekadar ikut tren, tetapi kritis terhadap sistem yang membentuknya. Di balik
kemudahan mengekspresikan diri di media sosial, perempuan menyadari bahwa
platform digital tidak sepenuhnya netral.
Mereka harus peka terhadap bagaimana
perempuan diposisikan dalam ruang digital yang sering kali sebagai objek
visual, bukan subjek yang berpikir.
Contoh Awkarin, salah satu content creator
terkenal di Indonesia, sempat menuai kontroversi karena gaya hidup glamor dan
ekspresi bebasnya. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ia mengubah citra dan
mulai menggunakan platform-nya untuk isu-isu sosial: dari advokasi kesehatan
mental, bantuan bencana alam, hingga membuka lowongan kerja untuk tim produksi
yang ramah gender.
Sikap ini mencerminkan bagaimana seorang
content creator bisa mengubah cara berpikir publik, dari sekadar konsumsi
visual menjadi refleksi kritis.
Selain itu, Kartini 4.0 tidak hanya
kritis, tetapi juga kreatif dalam membangun narasi tandingan. Kreator perempuan
berdaya menciptakan konten yang memperlihatkan sisi lain: edukasi, inspirasi,
dan transformasi.
Mereka menulis buku, membuat podcast,
mengadakan webinar, dan membuat konten serial edukatif di TikTok, Instagram,
facebook, thread atau YouTube. Contoh Nadira Azzahra, content creator asal
Makassar, secara konsisten membahas tentang kesehatan reproduksi, menstruasi,
dan seksualitas perempuan dengan cara yang ringan dan edukatif di TikTok.
Kontennya menjadi jembatan informasi yang selama ini tabu, khususnya bagi
perempuan muda di daerah.
Secara kolektif dalam konteks lokal
Makassar, muncul berbagai komunitas perempuan kreatif yang patut diapresiasi,
seperti forum kreator lokal, kelas literasi digital, dan gerakan kampus yang
mengangkat isu KBGO.
Juga ada Komunitas seperti Perempuan
Berkisah Sulsel, Komunitas Bersuara, dan beberapa kreator lokal yang
menggunakan platform mereka untuk mengangkat isu-isu perempuan Sulsel: dari
pernikahan anak, akses pendidikan, hingga kesehatan reproduksi di daerah
pinggiran. Namun sinergi dengan pemerintah daerah, media, dan institusi
pendidikan masih perlu ditingkatkan agar gerakan ini tidak hanya sesaat.
Kartini Ada Di Sekitar Kita
Kartini tidak lagi berselendang dan
berkebaya, tapi mungkin mengenakan hoodie sambil mengetik naskah konten,
menyusun video edukasi, atau menyuarakan keadilan gender lewat Twitter,
Instagram, Facebook, thread, TikTok dan youtube. Mereka adalah Kartini 4.0 yang
kritis terhadap struktur yang menindas, kreatif dalam menyampaikan pesan, dan
kolektif dalam memperjuangkan ruang aman.
Kartini modern bukan hanya mereka yang
viral. Kartini adalah perempuan yang berani berbicara di ruang keluarga,
mengadvokasi teman yang jadi korban pelecehan, atau mengedukasi satu orang
lewat satu konten kecil. Satu suara bisa menyulut ribuan perubahan.
Hari Kartini yang diperingati setiap
tanggal 21 April, seharusnya menjadi pengingat bahwa ruang digital yang tampak
bebas sebenarnya juga penuh jebakan. Ruang digital harus diupayakan agar
menjadi ruang aman dan setara. Tanpa itu, “pemberdayaan” hanya akan jadi topeng
dari “eksploitasi” baru yang membungkus tekanan lama dalam bentuk baru: lebih
canggih, lebih halus, tapi tetap menindas.
Selamat Hari Kartini. Perjuangan belum
selesai, tapi semakin banyak yang ikut serta.***
.....
Penulis: Prof. Dr. Ir. Naidah Naing, ST.,
MS., IAI., IPU adalah Dosen Prodi Arsitektur Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Makassar