![]() |
Aspar Paturusi bersama istri, Sulasmiwati. Puisi-puisi karya Aspar Paturusi yang ikonik, antara lain “LakekomaE”, “Badik”, dan “Makassar”. (ist) |
------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 29 April 2025
LakekomaE: Aspar
Paturusi dan Jejak Karya yang Tertulis dan Terekam
Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator Perkumpulan Penulis SATUPENA
Sulawesi Selatan)
Saya baru saja menyeduh kopi, ketika pesan
pribadi dari Goenawan Monoharto masuk. Dia mengabarkan bahwa buku kiriman dari
Bapak Aspar Paturusi sudah tiba.
Saya sampaikan, sebentar akan ke kantornya
untuk menjemput buku itu. Buku yang dikirim oleh Lasmy Aspar (istri Aspar
Paturusi) dengan alamat Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, itu memang
ditujukan untuk saya, tapi menggunakan alamat Jalan Borong Raya, yang merupakan
kantor Penerbit de La Macca.
Om Goen, biasa saya menyapanya begitu,
merupakan teman diskusi banyak hal, mulai seni, fotografi, sastra, perbukuan,
teater, literasi, dan lain sebagainya. Dia merupakan Ketua Ikatan Penerbit
Indonesia (IKAPI) Sulawesi Selatan.
Dialah yang mengabarkan bahwa Aspar
Paturusi punya buku kumpulan puisi baru, dan merekomendasikan saya membaca buku
tersebut. Bahkan dia sempat meminjamkan buku yang dimaksud untuk saya.
Buku berjudul “Dari Yaya Papa Nek Aya
Kakek Puang, Jejak Cintaku yang Tertulis dan Terekam”, terbit tahun 2025.
Sepertinya, buku yang diterbitkan untuk kalangan terbatas itu, sebagai penanda
ulang tahun Aspar Paturisi yang ke-82 tahun.
Tokoh yang jadi pokok tulisan saya ini,
lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 10 April 1943. Buku ini menjadi
istimewa karena saya dikasi tepat di Hari Buku Sedunia, 23 April 2025.
Setelah pulang dari Om Goen, saya kemudian
berfoto dengan buku itu di depan rumah, dan menyertakan buku Aspar Paturusi
lainnya untuk keperluan foto itu.
Sebelumnya, saya pernah dikirimi tiga buku
langsung oleh Aspar Paturusi, masing-masing “Badik: Puisi Untukmu” (Garis Warna
Indonesia, Jakarta, 2011), “Secangkir Harapan” (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2012),
dan “Perahu Badik: Membaca Laut” (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2015).
Buku “Perahu Badik: Membaca Laut”, yang
merupakan 100 puisi pilihan yang diterbitkan dalam dwi bahasa
(Indonesia-Inggris), telah mencatatkan pencapaian penting seorang Aspar
Paturusi.
Buku itu ditetapkan sebagai salah satu
dari 5 Buku Pilihan Sayembara Buku Puisi HPI 2015 oleh Yayasan Hari Puisi
Indonesia.
Buku yang sama juga mendapat Penghargaan
Sastra 2015 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Lelaki yang punya nama lengkap Andi Sofyan
Paturusi ini, bukan cuma penyair, beliau juga novelis dan penulis naskah drama.
Beliau aktor dan dramawan. Beliau menulis naskah drama sejak tahun 1957, saat
usianya baru 14 tahun!
Kepenyairannya ditahbiskan lewat puisi
berjudul “Mereka Tercinta” dan “O, Anak, ke Mana Kau” (Mimbar Indonesia, 1960).
Aspar Paturusi segenerasi dengan Rahman Arge, Sinansari ecip, Husni
Djamaluddin, dan Arsal Al-Habsyi.
Ibarat perahu Pinisi, beliau telah
menaklukkan badai samudra dan membuat prasasti dengan tinta emas bertuliskan
namanya.
Sebagai pengingat, saya menukilkan
beberapa di antaranya, yakni Pemenang Sayembara Mengarang Roman, DKJ, 1974,
lewat “Arus”, Pemenang Sayembara Naskah Sandiwara, DKJ, 1980, lewat “Duta
Perdamaian”, Pemenang Sayembara Mengarang Naskah Sandiwara, DKJ, 1981, lewat
“Samindara”, dan Aktor Terbaik Festival Sinetron Indonesia (1992).
Aspar Paturusi, yang pernah mengajar di
salah satu Sekolah Dasar di Makassar (1961-1964) dan pernah pula jadi wartawan
ini, menerima penghargaan dari kampus maupun pemerintah daerah.
Beliau diganjar sebagai Alumni Berprestasi
Nasional pada HUT ke-40 UNHAS. Beliau merupakan meraih Bachelor of Arts (BA)
dari Fakultas Sastra dan Filsafat, Jurusan Paedagogik, saat kampus UNHAS masih
di Baraya.
Beliau dinobatkan sebagai Warga Kota
Makassar Berprestasi, tahun 1978. Beliau juga mendapat penghargaan dari
Gubernur Sulawesi Selatan, tahun 2011, atas kontribusinya mengaktualisasikan
nilai-nilai budaya melalui perfilman.
Film dan sinetron yang diperankannya
beberapa bertema budaya Sulawesi Selatan, seperti “Latando di Toraja” (1970),
“Sanrego” (1972), dan “Badik Tititpan Ayah” (2010).
Maka tepat bila penyair Taufiq Ismail
memberi komentar, Aspar sudah menggenggam semuanya: puisi, novel, film,
sinetron teater. Kepadanya tidak ditanyakan lagi lakekomaE.
Sementara Mochtar Pabottingi, penulis dan
peneliti utama LIPI, menyebut Aspar adalah tombak yang pantang rebah, adalah
hati yang mengasah gundah, adalah dahi yang kian merapat ke tanah.
Kritikus sastra, Maman S Mahayana,
mengemukakan bahwa Aspar sudah sampai pada maqam-nya sebagai penyair.
Menurutnya, Aspar telah sampai pada apa yang dikatakan Chairil Anwar sebagai:
‘menggali kata hingga ke putih tulang’ (“Perahu Badik”, halaman 260).
Tulisan-tulisan pendiri Dewan Kesenian
Makassar (DKM) itu memang relatif mudah dimaknai. Puisinya sederhana, dengan
gaya repetisi bila hendak menekankan suatu pesan.
Beliau banyak berkisah tentang kampung
halamannya: Bira, Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan. Lingkungan
sosio-kulturalnya digambarkan secara apik, ekspresif, dan estetik dalam puisi,
novel, dan naskah dramanya.
Aspar Paturusi memahami betul keluruhan
nilai-nilai, kearifan, dan filosofi budaya Bugis-Makassar. Laut, arus, ombak,
pulau, layar, kemudi, perahu pinisi, pantai Losari, badik, dan diksi-diksi yang
dapat ditarik ke akar tradisinya.
Dalam buku puisi “Perahu Badik: Membaca
Laut”, Sapardi Djoko Damono memberi kata pengantar dengan menulis bahwa Aspar
Paturusi meyakinkan kita bahwa dirinya laut, tak lain tak bukan. Asal-muasal,
nasib, cinta, petualangan, kematian—semuanya memanfaatkan laut sebagai citraan
dan acuan (halaman 14).
Laut bukan saja simbol, tapi pengamalan
penulis yang ikut membentuk karakter dirinya dan kebudayaan leluhurnya.
Itu pula yang disampaikan Maman S.
Mahayana, dalam buku “Badik” (Aspar Paturusi, 2011). Bahwa anak lahir dari
rahim ibu budaya dan ibu budaya itu yang akan mengantar dan melindungi si anak
menuju kehidupan mahaluas. Ulasan ini sebagai catatan tafsir atas puisi
“Tidurlah Tidur” yang biasa dibawakan secara duet oleh Pak Aspar dan Bu Lasmy,
istrinya.
Puisi yang menggambarkan kasih sayang
orang tua kepada anaknya dengan segenap doa dan petuahnya ini, merujuk pada
dongeng pengantar tidur, yabe lale, atau lagu ninabobo ala Bugis.
Puisi, tulis Maman S. Mahayana untuk
pengantar buku “Secangkir Harapan” (Aspar Paturusi, 2012), adalah dunia kecil
yang tidak jarang menyimpan peristiwa besar. Seolah-olah penulisnya bercerita
tentang hal kecil yang remeh-temeh.
Namun, lantaran cantelannya berkaitan
dengan persoalan kemanusiaan, maka ia menjadi peristiwa universal dalam
pengertian sebagai problem manusia sejagat. Maka puisi bagai wadah kecil yang
kenyal dan elastis, yang di dalamnya bisa memuat apa saja.
Semua catatan yang saya himpun dari
buku-buku yang lebih dahulu diterbitkan itu, seolah “tertulis dan terekam”
kembali dalam buku teranyarnya “Dari Yaya Papa Nek Aya Kakek Puang, Jejak
Cintaku yang Tertulis dan Terekam”.
Buku yang dipenuhi foto-foto keluarga ini
tidak sekadar album kenangan, tapi juga merekam peristiwa dan momen-momen
memorable Asdar Paturusi di atas panggung, sebagai penyair dan aktor, saat
menerima Piala Vidia, dan dalam interaksi kesehariannya bersama anak-anak,
cucu-cucu, dan cicit-cicitnya.
Buku yang berisi lebih 60-an puisi ini,
dimulai dengan puisi “Rindu yang Kukirim” dan beberapa puisi tentang dan kepada
ibundanya.
Foto Aspar dan ibunya, dengan caption “Si
bungsu nakal bersama ibu. Foto sekitar 44 tahun silam. Ibu berpulang di
usia hampir 100 tahun”, mempertegas kerinduannya.
Sejumlah puisi lamanya, yang ikonik dimuat
kembali dalam buku ini, di antaranya “LakekomaE”, “Badik”, dan “Makassar”.
Konon, tanda-tanda orang sudah tua itu kalau suka bernostalgia hehehe.
Dalam puisi berjudul “Duh Lutut”, ditulis
di Cisarua, 16 April 2016, pengakuan akan usia senja itu tersiratkan. Saya
membaca bagian akhir puisi ini sembari tersenyum karena terasa komikalnya:
Kota demi kota kau jelajahi
kau seret aku menikmati indahnya negeri
bahkan negeri-negeri yang jauh
kau bagi senyum bahkan cinta
pada perempuan yang rupawan
betapa manis dan indahnya masa jejaka
tetapi kudengar kini keluhmu:
“Duh lutut!”
Refleksi akan usia dan eksistensi diri
tergambarkan pula dalam puisi-puisinya. Puisi berjudul “Lingkaran Senja Usia”,
“Senja Usia”, “Lelaki Tua”, “Kakek Oh Kakek”, “Ada ke Tiada”, “Tak Punya
Apa-Apa”, “Gerbang Kematian”, dan puisi-puisi dengan aku lirik yang menyiratkan
tabungan umur yang sudah berbilang, sarat dengan perenungan, kebijaksanaan, dan
pesan-pesan religius.
Kesemuanya berfokus pada pesan agar kita
memanfaatkan waktu dengan karya dan kebaikan. Demi masa, jarum jam tak bisa
diputar ulang!
Nasihat-nasihat itu secara teks memang
ditujukan kepada anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicitnya, tapi secara
kontekstual, gema dan resonansinya sampai pada kesadaran kita.
badik iman berpamor takwa / cabut dari
hati segera/ bila ada duka musibah (puisi “Badik”, Jakarta, 13 Juli 2010)
biarlah sejarah bercerita untukmu (puisi
“Biarlah Sejarah Cerita”, Jakarta, 7 Februari 2011)
seniman/ hanja kiamat sanggup membunuhnja
(puisi “Mereka Tertjinta”, Makassar, 13 Djuni 1960)
Dan di abad digital ini, kita bisa
menapaki jejak karya Aspar Paturusi lewat berbagai platform digital. Kita
bahkan bisa mendengar langsung apa yang disampaikannya dalam buku ini lewat
channel YouTube: Aspar Paturusi, dengan men-scan barcode yang terdapat dalam
halaman-halaman bukunya.
Beliau termasuk generasi old school yang
cepat bertransformasi. Beliau orang yang open minded, bisa menerima hal-hal
baru. Beliau tidak menabukan sastra digital, dengan memposting puisi-puisinya
di akun Facebook-nya.
Beliau juga tidak menolak genre puisi
esai, yang digagas Denny JA. Lewat puisi esai-lah, awal mula kami
berkomunikasi.***
Makassar, 28 April 2025