-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 29 April 2025
Refleksi Jelang Muswil PAN Sulsel
PAN: Antara
Idealisme dan Pragmatisme
Oleh: Usman Lonta
Partai Amanat Nasional (PAN) di
deklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998. Lahir dari rahim reformasi, saat
bangsa Indonesia tengah mencari arah baru pasca kejatuhan rezim Orde Baru.
Sebagai salah satu partai yang didirikan
dengan semangat perubahan, Partai Amanat Nasional membawa idealisme besar,
yaitu memperjuangkan demokrasi, pluralisme, kesetaraan manusia, keadilan
sosial, dan pemerintahan yang bersih.
Namun seiring berjalannya waktu, realitas
politik nasional yang keras dan dinamis menuntut adaptasi. Di sinilah PAN
dihadapkan pada pilihan yang sulit - tetap teguh dalam idealisme atau
menyesuaikan diri secara pragmatis demi kelangsungan politik.
Partai Amanat Nasioanal didirikan pada
tahun 1998 dengan tokoh sentral seperti Amien Rais, PAN mengusung semangat
reformasi yang kuat. Partai ini menawarkan alternatif politik baru, yakni
berkomitmen pada demokrasi, pluralisme, keadilan sosial, etika politik dan
supremasi hukum.
Platform PAN pada masa awal penuh dengan
janji pembaruan dan perubahan yang bersandar pada nilai moral dan etika
politik. Para pendiri PAN membayangkan sebuah partai modern yang tidak hanya
mengejar kekuasaan, tetapi juga memperjuangkan nilai.
Namun idealisme, betapapun mulianya, kerap
berhadapan dengan realitas politik yang kompleks. Sistem multipartai di
Indonesia, kebutuhan untuk berkoalisi, serta tekanan elektoral memaksa PAN
untuk bersikap lebih pragmatis.
Tidak sedikit keputusan PAN dalam
perjalanan politiknya yang mencerminkan kompromi-kompromi strategis. Misalnya,
dalam beberapa kontestasi nasional dan daerah, PAN memilih bergabung dalam
pemerintahan atau mendukung kandidat presiden/kepala Daerah, bukan semata-mata
atas dasar kesamaan visi, ideologis, melainkan pertimbangan peluang politik.
Ini mencerminkan upaya PAN untuk tetap
relevan dan mempertahankan posisi dalam peta kekuasaan. PAN mendayung di antara
dua kutub, kutub pragmatisme dan kutub idealisme. Dalam posisi demikian
pertanyaan yang acapkali muncul adalah, apakah PAN telah mengkhianati
idealismenya? Atau justru, PAN tengah mencari keseimbangan antara prinsip dan
realitas?
Dalam politik, idealisme murni tanpa
fleksibilitas kerap membuat partai terpinggirkan, sementara pragmatisme tanpa
batas dapat menggerus identitas. Bagi PAN, menjaga keseimbangan ini menjadi
tantangan besar.
Basis pemilih, khususnya yang masih
mengingat semangat awal reformasi, mengharapkan PAN tetap teguh pada
nilai-nilainya. Di sisi lain, generasi pemilih baru menuntut efektivitas
politik yang kadang membutuhkan kompromi.
Terakhir, perjalanan PAN menunjukkan bahwa
politik adalah arena penuh dinamika antara idealisme dan pragmatisme.
Tantangannya bukan sekadar bertahan, tetapi juga mempertahankan identitas dalam
perubahan zaman.
Muswil PAN kali ini perlu melakukan
refleksi mendalam: memperbarui komitmennya pada nilai dasar reformasi, sambil
tetap lincah membaca realitas politik. Sebuah partai besar bukan hanya mampu
memenangkan kekuasaan, tetapi juga menjaga jiwa dari mana ia dilahirkan.
Wallau ‘a’lam bishshawab.
Sungguminasa, 27 Mei 2025