-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 13 April 2025
CERPEN
Terang Bulan Keberuntungan
Karya: Asnawin Aminuddin
Pulang dari masjid shalat isya, suamiku
langsung tertawa begitu membuka pintu rumah. Tawa yang tidak biasa, seperti
habis menang undian motor, padahal yang dimenangi cuma bebas dari rapat. Ia
lalu mengajakku keluar rumah, dengan semangat seperti anak remaja ngajak
pacaran.
“Ma, ayo kita keluar,” ajaknya sambil
senyum-senyum penuh misteri.
“Keluar ke mana? Kenapa ketawa sendiri
kayak orang baru dapet warisan?” tanya saya sambil curiga, tapi ikut tersenyum.
“Sebenarnya sekarang ini ada rapat
pengurus RT, RW, dan warga kompleks di masjid. Tapi saya... melarikan diri,”
katanya sambil menurunkan suara, seolah ini misi rahasia tingkat tinggi.
“Kenapa?” tanya saya sambil membayangkan
ada konflik antardepartemen warga.
“Rapatnya akan bahas laporan keuangan RW.
Katanya ada pengeluaran yang ganjil—kayak beli karpet masjid tapi harganya
mirip cicilan kulkas dua pintu. Warga mulai curiga. Aura-aura keributan sudah
terasa sejak pengumuman agenda. Saya nggak mau ikut terlibat. Mendingan saya
kabur,” tutur suamiku.
“Terus kamu bilang ke orang-orang mau ke
mana?” tanya saya, penasaran.
“Saya bilang mau ngantar istri keluar.
Katanya ada urusan penting. Jadi sekarang kamu harus punya urusan penting, Ma.
Kita harus segera keluar biar alibi saya kuat!” katanya penuh semangat seperti
agen rahasia yang sedang menghindari radar musuh.
Saya pura-pura mikir sebentar lalu
berkata, “Saya mau keluar, tapi harus ada sesuatu yang saya bawa pulang.
Minimal yang bisa dimakan.”
Anak saya, Wahyu, yang sedang duduk di
depan komputernya dan tampaknya jadi pendengar diam-diam, langsung nyeletuk
tanpa menoleh, “Beli terang bulan aja. Topping keju coklat, jangan pelit!”
Kami tertawa. Wahyu memang ahli dalam
membaca situasi dan memanfaatkan peluang. Kami pun berangkat naik sepeda motor.
Angin malam menyambut kami seperti tahu kami sedang ‘kabur terhormat’.
“Anginnya enak ya, Ma. Udara malam tuh
beda. Kayak lebih jujur, lebih tenang. Nggak kayak suasana rapat RW,” kata
suamiku sambil mengarahkan motor ke jalan yang agak sepi.
“Kalau tiap rapat bikin stres, mungkin
harus ada tradisi baru: wajib bawa terang bulan dulu sebelum rapat,” saya
menimpali.
Di jalan, suamiku masih mengoceh soal
rapat yang mungkin sudah mulai ricuh. “Bisa kubayangkan Pak RW sudah mulai
ngeluarin data dari flashdisk, lalu ada yang nyeletuk: 'Lho, ini anggaran beli
galon kenapa sampe dua juta?' Habis itu suasana jadi kayak debat capres,”
katanya sambil tertawa sendiri.
Saya ikut membayangkan. Wajah-wajah warga
yang biasanya ramah saat bertemu di jalan, berubah jadi penuh kecurigaan saat
bicara anggaran. Bahkan mungkin ada yang sudah diam-diam siap merekam dengan
ponsel untuk bukti jika suasana makin panas.
Kami membeli kue terang bulan di gerobak
langganan. Penjualnya bahkan heran melihat wajah kami yang penuh semangat
seperti habis menang doorprize.
“Wah, kelihatannya malam ini istimewa
sekali, ya, Pak, Bu?” tanya si penjual sambil menuang adonan.
“Iya, malam ini kami merayakan kebebasan,”
jawab suamiku, membuat penjual itu tertawa tanpa paham maksud sebenarnya.
Setelah dapat kue terang bulan favorit,
kami pulang dengan perasaan lega dan perut sedikit lebih bahagia.
Sesampainya di rumah, Wahyu langsung
menyambut seperti satpam komplek yang menanti laporan.
“Ada buktinya, kan?” tanyanya sambil
melirik kantong plastik.
Kami mengangguk. Ia mengangguk kembali,
puas.
“Wahyu, kamu bisa jadi juri investigasi.
Tajam instingmu,” kata suamiku sambil menyerahkan plastik ke meja makan.
Kami duduk bertiga, membagi terang bulan,
sambil tertawa pelan. Di luar, suara nyamuk malam mulai terdengar bersahutan,
tapi kami tak peduli.
Malam itu, kue terang bulan tak hanya jadi
camilan. Ia menjelma jadi simbol kemenangan kecil atas situasi yang membebani.
Simbol dari sebuah keputusan sederhana yang menyelamatkan kami dari drama warga
dan adu data.
Kami pun sepakat: malam ini, kue itu resmi
kami beri nama “terang bulan keberuntungan”. Karena selain enak, ia juga
penyelamat dari suasana panas, sekaligus tiket lolos dari konflik tak perlu.
Dan siapa sangka, dari sepotong kue, bisa lahir sepotong kedamaian.***